Kompas 07 Desember 2001.
“Buloggate” dan “Tommygate”
Oleh Saldi Isra
(Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)
Pada tanggal 28 November yang lalu banyak orang berharap akan mendengar khabar “baik” dari hasil rapat Badan Musyawarah (Bamus) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyepakati pengusulan pembentukan pansus Buloggate II yang terkait dengan Akbar Tanjung dalam Sidang Paripurna DPR. Ketika “pertarungan” masih berlangsung di Bamus DPR, tiba-tiba kita dikejutkan oleh berita tertangkapnya buronan terpidana kasus ruislag (tukar guling) tanah Bulog-PT Goro Batara Sakti, Tommy Hutomo Mandala Putra Soeharto alias Tommy. Sontak, semua perhatian “berpindah” dari gedung DPR ke Mapolda Metro Jaya.
Berbagai spekulasi bermunculan mengiringi tertangkapnya Tommy, misalnya skenario happy ending. Spekulasi ini muncul karena penagkapan ini bertepatan dengan detik-detik terakhir masa jabatan Kapolri Jenderal Bimantoro. Bagi Bimantoro keberhasilan mengkap Tommy, diharapkan, dapat menutupi segala persoalan dan kontroversial yang pernah terjadi selama ia memegang komando tertinggi di jajaran kepolisian.
Spekulasi lain yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan “skenario” happy ending itu adalah timing penangkapan Tommy yang bertepatan dengan pembicaraan pembentukan rapat Pansus Buloggate II di Bamus DPR. Adakah ini sebuah rekayasa atau hanya sebuah kebetulan belaka? Dapatkah kedua kejadian ini diselesaikan secara tuntas, atau barangkali penangkapan Tommy akan mempengaruhi posisi Akbar Tanjung (juga Golkar) dalam penyelesaian dugaan peneyelewengan penggunaan dana nonbudgeter Bulog? Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan ini tidak mudah untuk dijelaskan karena kedua kejadian itu mempunyai implikasi hukum dan politik yang amat luas.
Menguntungkan Golkar
Mencermati perkembangan pasca-penangkapan Tommy, banyak kalangan menilai bahwa peristiwa ini akan memberikan keuntungan kepada Akbar Tanjung (dan Golkar) karena perhatian publik akan lebih terfokus pada penanganan dan kelanjutan pengkapan Tommy.
Upaya membangun opini, untuk meberikan perhatian yang lebih besar terhadap penangkapan Tommy, sudah mulai dilakukan oleh beberapa tokoh Golkar. Paling tidak ini dapat dilihat dari pernyataan Akbar Tanjung agar dengan segera mengungkap segala peristiwa-peristiwa besar sebelum dan saat Tommy melarikan diri. Misalnya, pertemuan Tommy dengan Presiden Abdurrahman Wahid sampai kasus pembunuhan terhadap Hakim Agung syafiuddin Kartasasmita, kasus penggunaan senjata api, dan peledakan di Taman Mini. Dengan mem-blow up semua peristiwa itu, diharapkan, tekanan untuk membentuk Pansus Buloggate II akan berkurang.
Selain membangun opini atas tertangkapnya Tommy, Golkar juga sedang berusaha mempengaruhi Bamus untuk tidak membawa kasus Bulog ke dalam Sidang Paripurna DPR. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberhasilan Golkar melakukan buying time dengan alasan-alasan yang amat legalistik-formal. Meskipun sudah dua kali pertemuan, Bamus DPR tetap belum berhasil mengusulkan pembentukan Pansus Buloggate II. Jika dibandingkan dengan proses pembentukan pansus penggunaan Dana Yantera Bulog dan Dana Bantuan Sultan Brunei, maka Pansus Buloggate II jauh lebih rumit karena intrik dan kalkulasi politik yang melingkupinya.
Melihat kejadian itu, menghambat pembentukan pansus merupakan target penting Golkar karena mereka menyadari sepenuhnya bahwa pembentukan pansus dapat memberikan citra buruk terhadap masa depan partai berlambang pohon beringin ini. Kalau pansus ini terbentuk, tidak tertutup kemungkinan akan dimanfaatkan oleh beberapa kekuatan politik di DPR untuk “menyerang” Golkar sebagai salah satu partai politik yang amat diperhitungkan dalam pemilihan umum 2004.
Oleh karena itu, Golkar akan melakukan upaya maksimal untuk menghalangi pembentukan Pansus Buloggate II. Penagkapan Tommy akan menjadi media bagi Golkar untuk memindahkan perhatian publik dari kemungkinan untuk menuntaskan penyelewengan penggunaan dana nonbudgeter Bulog kepada penuntasan kasus-kasus besar yang diduga dilakukan Tommy (Tommygate) selama menjadi buronan.
Berkaca dari pengalaman, kemampuan Golkar untuk menggagalkan pembentukan pansus penggunaan dana nonbudgeter Bulog sudah pernah dibuktikan dalam rapat Paripurna DPR pada tanggal 28 Agustus 2000. Pada masa itu, dari 358 orang yang menghadiri rapat paripurna, mayoritas anggota DPR menolak untuk membentuk pansus. Dari hasil voting juga diketahui, empat fraksi menolak pembentukan pansus yaitu Golkar, PPP, Reformasi dan PBB. Sementara itu, fraksi yang setuju adalah PDI Perjuangan, PKB, KKI, dan PDKB. Sedangkan TNI/Polri dan PDU memperlihatkan sikap yang tidak jelas (abstain) (lihat tabel).
Hasil Penghitungan Suara
Usulan Pembentukan Pansus Dana Nonbudgeter Bulog
dalan Rapat Paripurna DPR, 28 Agustus 2000
No.
Fraksi
Setuju
Menolak
Abstain
Jumlah
1
PDI Perjuangan
109
-
-
109
2
Partai Golkar
-
88
-
88
3
PPP
-
34
4
38
4
KB
32
-
-
32
5
Reformasi
-
33
-
33
6
TNI/Polri
-
-
35
35
7
PBB
-
6
-
6
8
KKI
8
-
-
8
9
PDU
-
-
5
5
10
PDKB
3
-
-
3
11
Nonfraksi
-
1
-
1
J u m l a h
152
162
44
358
Sumber : Kompas 23/11-2001
Logika publik
Dalam menghadapi perkembangan Buloggate dan Tommygate, banyak kalangan menyadari bahwa kedua kasus yang sedang dihadapi hanya dapat diselesaikan kalau ada sikap konsistensi dari DPR dan kepolisian sehingga proses penyelesaiannya tidak bertentangan dengan logika publik.
Untuk kasus penyelewengan penggunaan dana nonbudgeter Bulog, disadari bahwa perjuangan untuk membentuk pansus jauh lebih rumit dan serius dibandingkan dengan ketika membentuk pansus penggunaan Dana Yanatera Bulog dan Bantuan Sultan Brunei yang dialami oleh Abdurrahman Wahid. Karena intrik dan kalkulasi politik akan sangat menentukan perkembangan selanjutnya. Meskipun demikian, apapun kalkulasi yang dilakukan oleh berbagai kekuatan politik di DPR, konsistensi DPR memenuhi rasionalitas publik menjadi sebuah keharusan.
Konsistensi DPR diperlukan karena dua pertimbangan mendasar. Pertama, untuk membuktikan bahwa DPR mempunyai sikap politik yang sama untuk semua tindakan yang mempunyai unsur-unsur yang hampir bersamaan. Kalau dulu terhadap Abdurrahman Wahid, lembaga ini mempergunakan hak untuk melakukan penyelidikan dalam menyelesaikan kasus penyimpangan dana Yanatera Bulog dan Bantuan Sultan Brunei. Logika yang dikembangkan oleh sebagian kekuatan politik di DPR, lembaga-lembaga hukum tidak tidak akan dapat bekerja sesuai dengan logika publik. Oleh karena itu, penyelesaian di tingkat lembaga politik (baca: DPR) merupakan keharusan. Sekarang pun DPR tidak boleh muncul dengan sikap yang berbeda karena kondisi lembaga hukum tidak lebih baik dibandingkan dengan waktu itu.
Kedua, kasus penyelewengan penggunaan dana nonbudgeter Bulog telah menyentuh ranah publik yang amat luas. Oleh karena itu, menjadi keharusan DPR untuk melaksanakan rekomendasi Sidang Tahunan (ST) MPR 2001, terutama untuk dua hal pokok yaitu (1) menindaklanjuti pendapat umum sesuai dengan fungsi pengawasan DPR, dan (2) DPR perlu aktif dan pro-aktif mendorong penyelesaian kasus-kasus KKN, baik yang baru maupun yang lama, dengan memperhatikan prioritas.
Sebagai representasi rasionalitas publik, DPR terikat dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) huruf h Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 bahwa DPR berkewajiban menindaklanjuti aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat. Mencermati perkembangan, pada saat ini publik sedang menunggu penyelesaian secara transparan kasus penyelewengan penggunaan dana nonbudgeter Bulog. Jika DPR menafikan perkembangan ini berarti lembaga legislatif sedang melawan rasionalitas publik.
Untuk penangkapan Tommy, polisi harus bekerja ekstra-ketat membuktikan empat kasus besar yang diduga telah dilakukan oleh putra bungsu mantan penguasa Orde Baru ini. Kalau seandainya polisi mengalami kegagalan untuk mengungkap semua misteri yang terjadi selama masa raibnya Tommy, maka skenario happy ending yang dilansir oleh berbagai kalangan, benar adanya. Boleh jadi, proses pelarian dan hilangnya Tommy sejak tanggal 3 November 2000 juga diketahui oleh beberapa pihak di kepolisian.
Pada tahap awal, beberapa saat setalah Tommy ditangkap, sudah kelihatan apa yang disinyalir oleh Munir bahwa bahwa penagkapan Tommy hanya sandiwara belaka. Sebagai seorang buronan kakap, terasa aneh ketika Tommy dibawa dari lokasi penagkapan menuju Mapolda Metro Jaya tanpa diborgol dan pengawalan senjata lengkap. Mengapa polisi bisa begitu haqqul yaqin bahwa Tommy tidak akan melakukan perlawanan?
Keanehan semakin bertambah ketika sampai di Mapolda Tommy langsung berangkulan dengan Kapolda Metro Jaya Sjofjan Jacoeb. Dua kejadian ini memperlihatkan bahwa polisi telah melakukan selected law enforcement dalam proses penangkapan Tommy.
Untuk menghindari nada-nada miring yang menyertai penangkapan Tommy, polisi perlu memperlihatkan sikap yang benar dan jujur sebagai salah satu lembaga penegak hukum. Ini hanya dapat dilakukan jika polisi secara profesional mampu membongkar semua kasus yang disebut-sebut punya indikasi kuat terkait dengan Tommy Soeharto selama anak kesayangan mantan Presiden Soeharto ini dalam masa pelarian. Pengungkapan ini harus dilakukan dengan transparan sehingga hasil dicapai dapat memenuhi logika publik.
Kita percaya apa yang dilansir oleh banyak kalangan bahwa kedua kasus (Buloggate dan Tommygate) adalah kasus konkret yang tidak hanya murni hukum tetapi bersentuhan langsung dengan kepentingan politik. Oleh karena itu, yang diperlukan lebih dari sekedar kontrol politik tetapi juga dukungan politik agar satu kasus tidak menisbikan kasus yang lain. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, masing-masing kasus akan saling mengambil keuntungan untuk mengaburkan proses penyelesaian secara benar. Kalau ini yang terjadi, kedua kasus akan ini mempecundangi dan menzalimi logika publik.
No.
Fraksi
Setuju
Menolak
Abstain
Jumlah
1
PDI Perjuangan
109
-
-
109
2
Partai Golkar
-
88
-
88
3
PPP
-
34
4
38
4
KB
32
-
-
32
5
Reformasi
-
33
-
33
6
TNI/Polri
-
-
35
35
7
PBB
-
6
-
6
8
KKI
8
-
-
8
9
PDU
-
-
5
5
10
PDKB
3
-
-
3
11
Nonfraksi
-
1
-
1
J u m l a h
152
162
44
358