Kompas, 26 November 2001
MENGUJI PERDA BERMASALAH Oleh Saldi Isra (Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang) Sidang Tahunan Majelis Pernusyawaratan Rakyat (ST MPR) yang berakhir pada tanggal 9 November lalu mengeluarkan rekomendasi terhadap Lembaga Tinggi Negara, termasuk kepada Mahkamah Agung (MA). Salah satu dari enam rekomendasi yang disampaikan kepada MA adalah menyangkut judicial review terhadap Peraturan Daerah (Perda) “bermasalah” yang menyalahi sinkronisasi vertikal karena secara substansi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Rekomendasi MPR itu dengan tegas menyatakan : “dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah, Mahkamah Agung (MA) sesuai dengan kewenangannya, perlu segera melakukan penanganan khusus untuk uji materil (judicial review) terhadap semua peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tanpa melalui proses peradilan kasasi”. Kalau dicermati lebih jauh, lahirnya rekomendasi ini tidak terlepas dari adanya sinyalemen bahwa penerapan Otonomi Daerah secara penuh sejak Januari 2001 telah menimbulkan semangat yang berlebihan di daerah yaitu dengan membuat Perda untuk kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan tanpa mempedulikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sinyalemen ini pernah dilontarkan oleh Ketua Umum Kadin usai bertemu Presiden Megawati pada tanggal 5 September yang lalu. Dalam keterangannya kepada pers, Aburizal Bakri menyebutkan ada 1.006 Perda yang menghambat dan merugikan dunia usaha (Kompas, 06/09-2001). Meskipun jumlah itu dibantah oleh Dirjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negari (Depdagri) Soedarsono, ini tidak berarti bahwa semua Perda yang lahir telah memenuhi asas sinkronisasi vertikal. Paling tidak, berdasarkan data Depdagri, sampai 8 September 2001 sudah ada 105 Perda mengenai pajak dan retribusi yang bermasalah (Kompas, 10/09-2001). Sebenarnya, kalau lebih jeli melihat perkembangan di daerah, Perda bermasalah tidak hanya terjadi dalam pengaturan pajak dan retribusi tetapi juga pada Perda lain. Misalnya, di beberapa daerah muncul gugatan dari kelompok masyarakat dan LSM terhadap Perda APBD yang tidak memperhatikan Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Eksistensi Perda Salah satu alasan mengganti Ketetapan (Tap) MPRS Nomor XX/ MPRS/ 1966 tentang “Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan” dengan Tap MPR Nomor III/ MPR/ 2000 tentang “Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan” adalah untuk memantapkan perwujudan otonomi daerah sehingga perlu menempatkan Perda dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Alasan ini muncul karena dalam Tap MPRS Nomor XX/ MPRS/ 1966 eksistensi Perda tidak dicantumkan dan hanya dibuat berdasarkan klausul “peraturan pelaksana lainnya” dan klausul “dan lain-lain”. Perubahan ini dapat dilihat dalam Pasal 2 Tap MPR No. III/ MPR/ 2000 yang menentukan secara tegas bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan adalah (1) Undang-undang Dasar 1945, (2) Ketetapan MPR, (3) Undang-undang, (4) Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu), (5) Peraturan Pemerintah, (6) Keputusan Presiden, dan (7) Peraturan Daerah. Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (7) ditegaskan bahwa Perda merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Sebenarnya, pengakuan terhadap Perda merupakan kelanjutan pengaturan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang “Pemerintahan Daerah”. Dalam Pasal 69 dinyatakan bahwa Kepala Daerah menetapkan Perda atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Menguji Perda Meskipun Perda sudah mendapatkan posisi yang jelas dalam hierarki peraturan perundang-undangan yaitu untuk menampung karakter khas yang dimiliki daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah, namun eksistensi itu harus tetap dalam kerangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Tap MPR Nomor III/ MPR/ 2000 yang menyatakan bahwa sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Ketentuan ini sejalan dengan asas lex superior derogat legi inferiori. Prinsip ini menjadi kewajiban untuk dipatuhi dalam melahirkan setiap produk hukum untuk menghindari proses pembatalan oleh MA melalui gugatan judicial review. Kewenangan MA untuk melakukan judicial review ditentukan dalam Pasal 5 Tap MPR Nomor III/ MPR/ 2000 yang secara tegas menyatakan (1) MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, (2) pengujian itu bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi, dan (3) keputusan MA mengenai pengujian bersifat mengikat. Meskipun sudah ada pengaturan dan rekomendasi MPR untuk melakukan pengujian, tetapi untuk melaksanakannya tidak semudah membalik telapak tangan karena terdapat beberapa persoalan yang mendasar. Pertama, adanya dualisme pengaturan penilaian terhadap Perda. Pada salah satu sisi, sesuai dengan Tap MPR Nomor III/ MPR/ 2000 pengujian terhadap peraturan yang berada di bawah undang-undang adalah kewenangan MA. Di sisi lain adanya ketentuan Pasal 114 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 bahwa pemerintah pusat dapat membatalkan Perda dan keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/ atau peraturan perundang-undangan lainnya. Kondisi ini akan bertambah rumit dengan adanya ketentuan Pasal 7 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang “Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah” yang memberikan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk melakukan pengawasan represif terhadap semua produk hukum di daerah. Kewenangan ini diperluas lagi dengan adanya ketentuan dalam Pasal 3 huruf k Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2001 tentang “Penyelenggaraan Dekonsentrasi” yang melimpahkan kewenangan kepada Gubernur untuk melakukan pengawasan represif terhadap semua produk hukum yang dilahirkan oleh Kabupaten dan Kota. Kedua, adanya keharusan MA untuk melakukan judicial review secara aktif “tanpa melalui proses peradilan kasasi”. Bagi MA “perintah” ini tidak mudah karena adanya pertentangan antara rekomendasi MPR dengan ketentuan Pasal 5 ayat (3) Tap MPR No. III/ MPR/ 2000 bahwa “pengujian itu bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi”. Kata “dapat” dalam pasal itu hanya bersifat fakultatif, sedangkan rekomendasi MPR bersifat imperatif untuk melakukan pengujian terhadap Perda bermasalah. Ketiga, dikaitkan dengan semakin bertambahnya jumlah perkara di MA, rekomendasi MPR ini menjadi kontraproduktif dengan kuatnya desakan dari berbagai kalangan (termasuk MPR) untuk mengurangi tumpukan perkara. Menurut catatan harian ini, jumlah tumpukan perkara yang ada di MA pada tahun 2001 sudah melebihi angka 16.000 (Kompas, 09/11-2001). Bukankah rekomendasi ini akan semakin menyulitkan MA untuk mengurangi tumpukan perkaran yang ada. Malahan, tidak tertutup kemungkinan yang akan terjadi adalah sebaliknya, jumlah perkara akan semakin menggunung di lembaga pemegang kekuasaan peradilan tertinggi tersebut. Memperhatikan rekomendasi MPR untuk melakukan pengujian terhadap Perda bermasalah dikaitkan dengan ketentuan pengawasan terhadap Perda yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2001, rekomendasi ini dapat menimbulkan konflik antara pemerintah dengan MA. Pemerintah merasa mempunyai kewenangan untuk melakukan penilaian untuk mengawasi semua Perda. Sementara itu, MA merasa terikat untuk melaksanakan rekomendasi MPR karena akan “dinilai” oleh MPR dalam ST tahun 2002. Bermasalah Di luar persoalan di atas, rekomendasi MPR dapat menimbulkan kecurigaan bagi daerah karena rekomendasi ini hanya melihat Perda sebagai produk hukum bermasalah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Padahal, daerah juga punya penilaian bahwa ada produk hukum yang dibuat oleh pemerintah pusat (seperti PP dan Keppres) tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah. Bagi daerah, akan menjadi lebih fair jika rekomendasi MPR juga ditujukan kepada PP dan Keppres yang dibuat untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Oleh karena itu, akan lebih tepat jika penilaian terhadap Perda bermasalah dilakukan oleh pemerintah pusat. Mahkamah Agung baru melakukan perannya kalau daerah mengajukan keberatan terhadap penilaian (misalnya, dalam bentuk pembatalan) yang dilakukan pemerintah pusat. Langkah ini dilakukan untuk menghindari konflik yang mungkin timbul dalam menilai Perda bermasalah. Lebih jauh dari itu semua, MA diharapkan tetap berkonsentrasi melakukan pembenahan untuk meningkatkan kinerjanya dalam penegakan hukum (law enforcement) dengan mengurangi tunggakan perkara, menerapkan asas integrated judiciary system dan persoalan-persoalan internal lainnya. Tanpa ini semua, kewibawaan MA sebagai benteng keadilan tertinggi akan tetap menjadi sesuatu yang utopis.