Kompas 14 Januari 2002.

SETELAH KETUA DPR JADI TERSANGKA

Oleh Saldi Isra

(Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)

Kejaksaan Agung meningkatkan status Akbar Tandjung dari saksi menjadi tersangka dalam kasus dugaan penyelewengana dana non-budgeter Bulog sebesar Rp. 40 milyar terhitung mulai tanggal 05 Januari 2002. Perubahan status Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Ketua Umum Partai Golkar ini diketahui dari Jaksa Agung MA Rahman.

Berdasarkan keterangan Jaksa Agung MA Rahman, status tersangka ini diberikan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (14) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa seseorang dapat menjadi tersangka adalah karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan yang cukup patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Bukti permulaan yang dipakai dalam mengganti status Tandjung adalah didasarkan pada hasil pemeriksaan Winfried Simatupang –kontaktor yang menyediakan dan mendistribusikan sembako dari Yayasan Raudhatul Jannah— bahwa sebayak 1,7 juta sembako telah disebarkan di lima propinsi di Pulau Jawa. Setelah keterangan ini ditelusuri, tidak ditemukan pembagian sembako itu.

Meski sudah banyak yang menduga bahwa status Tandjung dapat berubah menjadi tersangka dan adanya bukti permulaan yang cukup oleh pihak kejaksaan, ini tidak akan berarti jika tidak didukung dengan pemberian izin tertulis dari Presiden untuk melakukan pemeriksaan terhadap Tandjung sebagai tersangka.

Setelah Tandjung dijadikan tersangka, pertanyaan-pertanyaan mendasar terkait dengan kelanjutan penyelesaian kasus dugaan penyelewengan dana non-budgeter Bulog tetap bergulir bagaikan bola salju. Paling tidak ada dua pertanyaan yang muncul ke permukaan.

Pertama, apakah Tandjung akan tetap aktif atau lebih baik menon-aktifkan diri sebagai Ketua DPR? Pertanyaan ini menjadi amat penting karena dua hal (1) untuk kepentingan proses penyidikan dalam mempercepat proses penyelesaian kasus ini yang telah menyita perhatian dengan amat luas, (2) status “baru” yang diberikan kepada Tandjung, baik langsung ataupun tidak langsung, akan mempengaruhi kinerja DPR.

Kedua, apakah dengan perubahan status Akbara Tanjung ini akan berpengaruh terhadap upaya pembentukan Pansus Buloggate yang telah disetujui oleh Badan Musyarah (Bamus) untuk dibawa ke Sidang Paripurna DPR pada masa sidang ketiga sekarang ini? Pertanyaan ini menjadi amat penting karena adanya pemikiran kalau sudah ada penyelesaian dengan jalur hukum, maka penyelesaian melalui DPR tidak diperlukan lagi sehingga harus dihentikan.

Pengulangan

Jika ditelusuri lebih jauh pemberian status tersangka kepada pejabat negara dan pejabat politik, kejadian yang dialami oleh Tandjung bukanlah kasus yang pertama. Status seperti ini telah terjadi berulang kali, tetapi mereka tetap bisa menjalankan aktifitasnya. Budiman Tanuredjo (Kompas, 03/11-2001) mengambil contoh beberapa kasus, misalnya Syahril Syabirin terdakwa dalam kasus Bank Bali tetap memimpin Bank Indonesia. Ginanjar Kartasasmita tersangka dalam kasus korupsi yang perkaranya masih di Mahkamah Agung tetap aktif sebagai Wakil Ketua MPR. Begitu juga Setya Novanto, anggota DPR yang status tersangkanya belum dicabut dalam kasus Bank Bali tetap aktif sebagai anggota DPR, bahkan ikut hadir dalam proses seleksi calon hakim agung. Arifin Panigoro masih saja aktif sebagai Ketua Fraksi PDI Perjuangan, sebelum digantikan oleh Roy BB. Janis.

Berkaca pada pengalaman itu, adalah menjadi sangat sulit untuk mendesak agar Tandjung untuk dinon-aktifkan sebagai Ketua DPR. Kecuali Tandjung mempunyai kesadaran untuk menon-aktifkan dirinya dalam mempercepat proses penyidikan. Barangkali, dalam situasi seperti sekarang Tandjung punya niat baik untuk menjadi contoh bahwa seorang tokoh politik puncak akan dengan sukarela non-aktif sampai adanya penyelesaian hukum secara tuntas.

Bila kejadian ini kita kaitkan dengan Ketetapan MPR Nomor VIII/ MPR/ 2001 tentang “Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme” memang tidak ada keharusan bagi Tandjung untuk non-aktif. Dalam Pasal 2 ayat (1) Tap MPR ini hanya ditemukan ketentuan bahwa penyelenggara negara yang diduga melakukan KKN dapat dilakukan tindakan administratif untuk mempelancar proses hukum. Ketentuan yang terdapat dalam ayat ini tidak berlaku bagi Tandjung karena yang bersangkutan adalah pejabat politik yang tidak mempunyai atasan yang dapat memberikan tindakan administratif.

Sebenarnya, upaya untuk menghindari agar negara tidak dipimpin oleh pejabat negara dan pejabat politik yang dalam status tersangka pernah diusahakan menjadi norma hukum dalam Sidang Tahunan (ST) MPR 2001. Hal ini ditandai dengan adanya desakan untuk memsukan satu ayat untuk menegaskan bahwa penyelenggara negara dan pejabat politik yang jadi tersangka kasus KKN dibebastugaskan untuk sementara. Dalam draft awal, keinginan ini diakomodasi. Tetapi dalam pembicaraan lebih lanjut dalam ST MPR 2001 bunyi ayat tersebut raib tak tentu rimbanya, menghilang dari pembicaraan di tingkat paripurna. Dengan kejadian itu, dirasakan Ketetapan MPR Nomor VIII/ MPR/ 2001 menjadi kehilangan “roh” dalam usaha pemberantasan KKN. Padahal, pada bagian konsiderans ketetapan ini sudah secara tegas dinyatakan bahwa KKN merupakan kejahatan yang luar biasa dan dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan pengalaman dan melihat perkembangan yang ada, kita amat merasakan bahwa penon-aktifan merupakan sebuah kebutuhan dan gambaran itikad baik untuk memberantas KKN. Kalau seandainya gagasan ayat di atas tidak lenyap, maka perdebatan non-aktif tidak diperlukan karena sudah dapat dipastikan bahwa Tandjung akan dinon-aktifkan sebagai Ketua DPR. Lalu, apakah lenyapnya rumusan ayat tersebut punya kaitan dengan status tersangka Tandjung saat ini?

Pansus Buloggate

Perubahan status Tandjung menjadi tersangka, akan membawa perdebatan lain yaitu terkait dengan kelanjutan rencana pembentukan Pansus Buloggate yang telah diputuskan untuk dibawa ke Sidang Paripurna pada pertengahan bulan Desember tahun lalu. Banyak yang berharap perubahan status Tandjung hendaknya tidak menyurutkan keingian DPR untuk membentuk Pansus Buloggate. Dalam situasi seperti sekarang, akan menjadi lebih baik kalau penyelesaian hukum berjalan berbarengan dengan pembentukan pansus.

Pembentukan pansus diperlukan karena beberapa kemungkinan dan pertimbangan. Pertama, tidak tertutup kemungkinan bahwa kasus ini akan ditutup oleh kejaksaan apabila dalam proses lebih lanjut tidak terdapat cukup bukti untuk melimpahkan kasus ini ke pengadilan. Dalam proses penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia, penutupan perkara tanpa alasan jelas yang dapat dipertanggungjawabakan telah menjadi rahasia umum. Apalagi, proses hukum pada tahap-tahap awal cenderung tertutup. Logika publik tidak pernah menjadi pertimbangan penting dalam penyelesaian sebuah kasus. Penerimaan Peninjauan Kembali (PK) Tommy Soeharto adalah contoh yang paling tepat untuk hal ini.

Kedua, ketertutupan pembicaraan di lembaga hukum dapat ditutupi dengan pembicaraan yang lebih terbuka di DPR. Dengan cara seperti ini, publik akan mendapatkan pencerahan sehingga dapat memberikan penilaian sendiri terhadap kasus yang sedang dibicarakan. Di samping itu, publik dapat pula menilai kekuatan politik yang benar-benar mempunyai keinginan untuk memberantas KKN.

Ketiga, diperlukan konsistensi DPR untuk menyelesaikan kasus-kasus yang menyentuh ranah publik yang luas. Apalagi DPR terikat dengan rekomendasi Sidang Tahunan (ST) MPR 2001 untuk (1) menindaklanjuti pendapat umum sesuai dengan fungsi pengawasan DPR, dan (2) dengan pro-aktif mendorong penyelesaian kasus-kasus KKN, baik yang baru maupun yang lama.

Terlepas dari hal di atas, persoalan tersangka bagi pejabat publik dan pejabat politik adalah masalah yang telah terjadi berulang. Tetapi kita tidak pernah mau mengambil pelajaran sehingga penyelesaian kasus-kasus KKN hangatnya hanya di tingkat wacana. Penyelesaian secara tuntas tetap menjadi sesuatu yang jauh dari harapan. Apalagi kalau kasus yang muncul bersentuhan langsung dengan kepentingan politik. Oleh karena itu diperlukan keberanian, termasuk menonaktifkan sementara setiap pejabat publik dan pejabat politik yang dijadikan tersangka.