Kompas 6 November 2001
Oleh Saldi Isra (Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang) Jika dibandingkan dengan beberapa negara yang pernah terlepas dari cengkeraman penguasa otoriter, Indonesia tidak dapat memanfaatkan momen strategis untuk melakukan reformasi total terhadap UUD 1945. Misalnya Flilipina, ketika people power berhasil menggulingkan Ferdinand Marcos dengan naiknya Corazon Aquino menjadi Presiden, langkah pertama yang dilakukan adalah membentuk Komisi Konstitusi (Constitutional Commission) untuk membuat konstitusi baru. Hal yang sama juga dilakukan oleh Afrika Selatan. Setelah negara ini terbebas dari rezim apartheid dengan terpilihnya Nelson Mandela, mereka segera membentuk Majelis Konstitusi (Constitutional Assembly) untuk menggantikan konstitusi sebelumnya yang telah memberikan ruang yang luas bagi munculnya pemerintahan diktator kulit putih. Sayangnya, pengalaman keberhasilan kedua negara di atas memanfaatkan euforia reformasi untuk membentuk konstitusi baru tidak terjadi di negara kita karena keberhasilan menumbangkan Soeharto tidak diikuti dengan melakukan reformasi total terhadap UUD 1945 (total constitutional reform). Langkah yang kita lakukan adalah mempercepat pemilihan umum untuk mengisi dan memperbaharui lembaga legislatif. Pada masa itu, diharapkan, lembaga legislatif (DPR dan MPR) yang akan melakukan reformasi total terhadap UUD 1945. Lembaga legislatif yang terbentuk dari hasil pemilihan umum 1999 tidak melakukan upaya optimal untuk melakukan perubahan mendasar dalam pelaksanaan sistem ketatanegaraan. Malahan yang kita rasakan adalah sebaliknya, lembaga ini memperpanjang masa transisi yang telah menimbulkan berbagai ketidakpastian dalam proses penyelenggaraan negara. Meskipun demikian, momen strategis untuk membuat konstitusi baru dengan sebuah Komisi Konstitusi yang independen tidak menjadi hilang sama sekali. Bahkan sekarang momen itu muncul kembali karena dua perkembangan. Pertama, amandemen yang telah dilakukan masih jauh dari harapan --yang terkesan tambal sulam-- untuk dapat mengakhiri masa transisi menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis. Kedua, besar kemungkinan, rencana untuk melanjutkan amandemen UUD 1945 dalam Sidang Tahunan (ST) MPR sekarang akan mengalami kebuntuan (deadlock) karena adanya perbedaan yang tajam dan tarik menarik antara beberapa fraksi besar di MPR mengenai substansi Amandemen Ketiga. Paling tidak, pendapat yang disampaikan oleh Rully Chaerul Azwar --angggota Panitian Ad Hoc (PAH) I BP MPR-- bahwa sulit untuk terjadi perubahan UUD 1945 dalam ST MPR (Kompas, 27/10-2001) dapat menjelaskan pertarungan tersebut. Alasan mendasar Berkaca pada pengalaman Filipina dan Afrika Selatan, setelah mencermati secara mendalam pengalaman kita dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945 melalui PAH I MPR dalam dua tahun terakhir, ada tiga alasan mendasar yang mendorong pembentukan Komisi Konstitusi dalam membuat konstitusi baru. Pertama, dua kali amandemen yang telah dilakukan terhadap UUD 1945 tidak memperlihatkan hasil kerja yang optimal dari PAH I karena hampir kesemua anggota PAH I yang diberi tugas untuk mempersiapkan amandemen tidak mungkin bekerja secara purnawaktu. Misalnya, seorang anggota PAH I yang berasal dari anggota DPR ia harus memainkan tiga peran sekaligus yaitu sebagai anggota DPR, anggota MPR, dan sebagai anggota PAH I. Logika sederhananya, satu tangan tidak mungkin dapat menagkap tiga bola. Apalagi kalau bolanya adalah reformasi konstitusi. Kedua, rawan agenda politik. Pertarungan antara berbagai kekuatan politik di PAH dalam perumusan amandemen UUD 1945 tidak mungkin dihindarkan karena orang-orang yang duduk di PAH adalah perwakilan fraksi, sedangkan fraksi adalah perpanjangan tangan partai politik. Dengan demikian, anggota PAH akan memberikan perhatian lebih kepada kepentingan partai ketimbang kepentingan negara yang lebih luas. Secara sederhana, konstitusi dengan partai politik berada pada dua kutub yang berbeda. Konstitusi bertujuan untuk memberikan pembatasan-pembatasan terhadap institusi kelengkapan negara sedangkan partai politik bertujuan untuk meraih kekuasaan secara lebih luas. Dengan posisi yang berbeda seperti itu, apakah mungkin dapat diharapkan lahirnya konstitusi yang terbebas dari kepentingan politik jika dalam perumusannya dilakukan oleh partai politik. Di samping itu, kalau terjadi pertarungan antara berbagai kekuatan politik dalam merumuskan norma-norma tertentu, maka langkah yang selalu ditempuh adalah membuat rumusan-rumusan kompromi untuk menyelesaikan kepentingan politik sesaat. Kompromi seperti ini dapat mengakibatkan dua hal (1) norma yang dibuat tidak dapat dipergunakan untuk kebutuhan ketatanegaraan dalam jangka panjang, dan (2) amandemen yang dilakukan berpotensi besar menjadi tambal-sulam. Kalau hal ini tidak dicegah, benturan-benturan antara berbagai lembaga menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan. Ketiga, tingkat keterwakilan yang tidak representatif. Karena jumlah anggota yang terbatas, derajat keterwakilan menjadi gugatan yang tidak mungkin dihindarkan. Di samping itu, orang-orang yang terlibat di PAH sebagian besar adalah perwakilan partai politik. Lalu, dimana wakil-wakil daerah dalam pengertian sesungguhnya? Kalaupun ada wakil partai yang berasal dari daerah, itu tidak dapat dikatakan riil wakil daerah karena keberadaannya dalam PAH adalah atas nama partai politik. Adalah kurang pada tempatnya kalau proses perumusan konstitusi yang menyangkut nasib dan masa depan seluruh rakyat Indonesia hanya dikerjakan oleh sekelompok kecil orang. Dengan demikian, representasi daerah sudah menjadi kebutuhan sehingga tercipta pola perumusan konstitusi yang partisipatif. Kalau ini dilakukan, maka sense of ownership terhadap konstitusi baru akan muncul dengan sendirinya. Sebagai contoh, Thailand berhasil melahirkan konstitusi baru pada tahun 1997 yang pada akhirnya disebut oleh rakyat Thailand sebagai The People Constitution karena daerah mempunyai wakil dalam menyusun konstitusi baru dan partisipasi publik amat maksimal dalam proses penyusunannya. Dengan demikian, pilihan untuk membuat Komisi Konstitusi yang independen menjadi kebutuhan yang tidak mungkin lagi ditunda. Karena secara obyektif, kelemahan-kelemahan amandemen dengan pola PAH hanya dapat diselesaikan dengan sebuah Komisi Konstitusi yang terbebas dari kepentingan politik sesaat. Peran MPR Pembentukan Komisi Konstitusi tidak akan menghilangkan hak konstitusional MPR. Peranan penting MPR sebagai lembaga tertinggi negara akan tetap ada dalam dua hal. Pertama, melakukan amandemen terhadap ketentuan Pasal 37 UUD 1945 dengan menambah ayat baru yang menegaskan bahwa perubahan dan pembentukan konstitusi baru akan dilakukan oleh sebuah Komisi Konstitusi yang independen. Kedua, menetapkan konstitusi baru yang dihasilkan oleh Komisi Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UUD 1945. Kalau hal ini dilakukan, maka dalam ST sekarang MPR tidak perlu lagi melanjutkan perubahan dengan dengan pola Amandemen Pertama dan Amandemen Kedua karena (1) untuk menghindari kesan tambal sulam dan pertentangan substansi yang mungkin timbul antara hasil Amandemen Pertama dan Amandemen Kedua dengan hasil Amandemen Ketiga, (2) untuk menghindari potensi deadlock yang tidak mungkin dihindari dalam ST sekarang. Saatnya Membentuk Komisi Konstitusi