Kompas, 11 November 2001

Kasus PT Semen Padang

Pengambilalihan yang tak Beralih

Oleh Saldi Isra

(Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)

“Terhitung sejak tanggal 1 November 2001, menyatakan bahwa untuk sementara waktu PT Semen Padang berada di bawah penguasaan masyarakat Sumatera Barat dan diserahkan kepada Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Barat yang diawasi oleh DPRD Propinsi Sumatera Barat sampai dilaksanakan spin off (pemisahan) PT Semen Padang dari PT Semen Gresik dan PT Semen Padang dikembalikan sebagai BUMN yang berdiri sendiri oleh pemerintah RI”.

(Maklumat Masyarakat Sumatera Barat, 1 November 2001)

Sontak, peristiwa pengambilalihan sementara PT Semen Padang (PT SP) melalui “Maklumat Masyarakat Sumatera Barat” pada tanggal 1 November lalu menjadi berita penting yang menyita perhatian banyak pihak. Bahkan untuk kalangan tertentu, kejadian itu menjadi lebih menarik dibandingkan dengan Sidang Tahunan (ST) MPR di Senayan Jakarta.

Berbagai reaksi muncul ke permukaan untuk menanggapi pengambilalihan PT SP itu. Bank Dunia, misalnya, memperingatkan bahwa kasus pengambilalihan PT SP oleh Pemerintah Daerah Sumatera Barat bisa menjadi preseden buruk dan berisiko memunculkan komplikasi lebih jauh terhadap penjualan aset atau privatisasi di Inodonesia di masa mendatang. Kejadian itu juga akan semakin menjauhkan investor asing dari Indonesia (Kompas, 06/11-2001).

Sementara itu, Frans Seda secara lebih jernih melihat bahwa pengembilalihan PT SP muncul karena kurangnya komunikasi dan sosialisasi dari pemerintah pusat mengenai kebijakan yang akan ditempuh (Kompas, 05/11-2001). Berbeda dengan Frans Seda, Didik J. Rachbini, dengan emosi yang berlebihan, menilai bahwa pengambilalihan itu mirip dengan upaya kaum sosialis ekstrem dalam menentang kapitalisme, antiswasta, dan overestimate pada peran negara dan politisi (Kompas, 06/11-2001).

Pendapat-pendapat seperti di atas dapat dikurangi, kalau ada yang mencoba melihat di luar aspek ekonomi, misalnya dari sudut hukum tata negara atau pemerintahan. Padahal, dalam proses pengambilalihan itu aspek ini cukup kental. Dengan pendekatan ini, paling tidak dapat dijelaskan dua persoalan penting.

Pertama, proses pengambilalihan sementara itu dilakukan dengan bentuk hukum Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ini dilakukan oleh DPRD Provinsi Sumatera Barat dengan Keputusan Nomor 13/ SB/ 2001 tentang “Persetujuan DPRD Provinsi Sumatera Barat terhadap Maklumat Masyarakat Sumatera Barat” karena adanya desakan dalam bentuk “maklumat” yang mengatasnamakan masyarakat Sumatera Barat.

Kedua, adanya keharusan bagi jajaran Komisaris dan Direksi untuk melaporkan secara berkala operasionalisasi PT SP kepada pemerintah daerah (dalam hal ini Gubernur) dengan tetap diawasi oleh DPRD. Penegasan ini menjadi menarik karena pada salah satu sisi Gubernur menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah wakil Pemerintah Pusat di daerah. Sedangkan di sisi lain, Gubernur diserahi tugas untuk “menjaga” selama berlangsungnya pengambilalihan sementara ini. Dengan demikian, dalam kasus ini, Gubernur berada dalam posisi dilematis terutama dalam hubungan Pemerintah Pusat dengan daerah.

Tidak beralih

Mencermati secara mendalam proses pengambilalihan PT SP ada beberapa persoalan mendasar yang dapat dikemukakan.

Pertama, maklumat yang mengatasnamakan rakyat Sumatera Barat ini masih dipertanyakan oleh sebagian masyarakat. Ini dapat dibuktikan dengan adanya suara-suara sumbang yang muncul (walaupun tidak terpublikasi secara luas) sebagai protes terhadap klaim yang mengatasnamakan rakyat Sumatera Barat. Paling tidak, di tingkat lima organisasi --Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, Lembaga Kerapatan Adat Alam Mingangkabau (LKAAM), ICMI Orwil Sumatera Barat, KNPI Suamtera Barat, dan Bundo Kandung) yang menandatangani maklumat masih ada indikasi tidak setuju, kurang dapat menerima penandatanganan itu.

Tidak hanya itu, masyarakat yang tinggal di sekitar PT SP pun tidak begitu peduli dengan perjuangan untuk melakukan spin off dari PT Semen Gresik (PT SG). Bagi sebagian masyarakat, yang terpenting adalah penyelesaian tanah ulayat mereka yang selama ini dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan semen bukan pemisahan PT SP dari PT SG. Bahkan, upaya penyelesaian tanah ulayat ini sudah berlangsung jauh sebelum adanya pejuangan untuk melakukan spin off dari PT SG.

Kedua, secara hukum, Keputusan DPRD yang dijadikan landasan hukum atau alas hak dalam proses pengambilalihan mengandung kelemahan yang amat mendasar karena Keputusan DPRD tidak dikenal dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Pasal 2 Tap MPR Nomor III/ MPR/ 2000. Keberadaannya dapat ditemui dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang secara definitif hanya memberikan kewenangan secara terbatas dalam menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRD. Dengan demikian, Keputusan DPRD hanya dibuat untuk keperluan internal.

Kalaupun ada yang berpendirian bahwa Keputusan DPRD adalah sebuah produk hukum, masih ada penegasan Pasal 4 Tap MPR No. III/ MPR/ 2000 yang harus dijadikan pegangan bahwa aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiori). Sinkronisasi vertikal ini menjadi kewajiban untuk dipatuhi dalam melahirkan setiap produk hukum untuk menghindari proses pembatalan oleh Mahkamah Agung melalui gugatan judicial review.

Ketiga, terkait dengan dua kelemahan di atas, muncul keraguan dalam proses pengambilalihan tersebut. Ini dapat dilihat dari isi maklumat yang secara tegas menyatakan bahwa pengambilalihan dilakukan hanya untuk sementara waktu. Akibat dari keraguan ini pengambilalihan “diserahkan” kepada Gubernur untuk menjaga PT SP selama masih berstatus sementara.

Dengan sikap seperti ini, sebenarnya, tidak terjadi peralihan apa-apa karena Gubernur yang menerima mandat pengambilalihan sementara adalah merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Dengan demikian, maklumat itu hanya menyerahkan kembali secara tidak langsung PT SP kepada pemerintah pusat. Hal ini terbukti dengan adanya pernyataan Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar seusai bertemu dengan Menteri Negara BUMN pada hari Sernin lalu. Dalam keterangannya, Zainal Bakar secara tegas menyatakan bahwa tidak ada pengambilalihan penguasaan PT SP, yang terjadi Pemda dan DPRD membuat maklumat (Kompas, 06/11-2001).

Mencermati keraguan yang ada dalam maklumat dan ditambah dengan penegasan Gubernur Zainal Bakar, dapat dikatakan bahwa Maklumat 1 November itu adalah semacam upaya bargaining “urang awak” terhadap pemerintah pusat yang selama ini tidak begitu mempedulikan kepentingan daerah dalam proses privatisasi PT SP. Dengan upaya ini, diharapkan, akan terjadi perundingan secara lebih serius dan intensif dalam merespon dan mengakomodasi aspirasi yang berkembang secara positif oleh Pemerintah Pusat.

Menyikapi dengan arif

Kalau ada pertanyaan, siapa yang lebih awal harus melakukan koreksi dari kasus PT SP ini? Jawabnya adalah Pemerintah Pusat. Kasus ini tidak perlu terjadi kalau Pemerintah Pusat memperlihatkan sikap yang responsif terhadap perkembangan yang terjadi dalam tiga tahun terakhir untuk menuntut dilakukan spin off. Sejak ada rencana privatisasi PT SP sebagai anak perusahaan PT (SG) pada sekitar pertengahan tahun 1998 upaya melakukan penolakan sudah muncul. Penolakan ini kemudian berkembang menjadi tuntutan untuk melakukan spin off ketika Cemex mulai merambah saham Semen Gresik Group (SGG). Kemudian terlihat pula tanda-tanda bahwa akan dilakukan put-option untuk memperkuat keuangan negara.

Tuntutan ini sudah dimulai sejak Presiden Habibie, kemudian berlanjut pada era Presiden Abdurrahman Wahid tapi tidak pernah mendapat tanggapan yang memuaskan dari pemerintah pusat. Ini mencapai puncaknya pada bulan Oktober 2001 di era pemerintahan Presiden Megawati. Dan ketika suasana memasuki tahap kritis, Pemerintah Pusat masih tetap tidak memberikan perhatian serius. Akibatnya, gejolak masyarakat (meskipun ada yang menilai bahwa dukungan massa tidak spontan) menjadi keharusan untuk untuk direspon sesegera mungkin.

Pada bagian ini, langkah DPRD menerima maklumat itu dapat dianggap sebagai langkah cepat yang cukup strategis untuk menghindari kemungkinan terjadinya kegaduhan dan chaos yang akan dilakukan oleh para pengunjuk rasa. Dengan cara seperti ini, DPRD dan Pemerintah Daerah Sumatera Barat dapat meredam gejolak massa untuk tidak menimbulkan dampak sosial yang lebih luas.

Oleh karena itu, Pemerintah Pusat diharapkan agar lebih arif melihat kejadian ini. Jangan melakukan penafsiran terlalu jauh dan memberikan reaksi yang berlebihan. Belajar dari pengalaman sejarah, reaksi yang demikian pernah ditunjukan Pemerintah Pusat terhadap peritiswa pembentukan Pemerintahan Revolusiner Republik Indonesia (PRRI) pada awal tahun 1958 yang hampir membawa Indonesia pada jurang disintegrasi dan kehancuran. Sampai hari ini, reaksi itu masih tetap meninggalkan bekas yang amat mendalam bagi sebagian besar rakyat Sumatera Barat.

Untuk menyelesaikan persoalan ini secara tuntas, barangkali pemerintah pusat, dapat melakukan pendekatan dengan pola penyelesaian kultural masyarakat Minagkabau. Biasanya dalam menyelesaikan setiap permasalahan, masyarakat mempergunakan prinsip “seperti menarik rambut dalam tepung. Rambut tidak putus, tepung tidak tumpah”. Untuk ini, diperlukan langkah proaktif Pemerintah Pusat dengan berkomunikasi secara intensif dengan semua pihak –baik yang mengiginkan maupun yang menolak spin off-- di daerah ini.

Catatan penutup

Disadari sepenuhnya, penyelesaian kasus PT SP secara tuntas bukanlah pekerjaan ringan. Sebagai warisan pemerintahan sebelumnya, usaha penyelesaian akan menjadi “buah simalakama” bagi pemerintahan sekarang. Pada salah satu sisi, Pemerintah Pusat sedang berusaha menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia agar dapat segera keluar dari krisis ekonomi yang sudah berlangsung lebih dari tiga tahun. Sedangkan di sisi lain, pemerintah pusat harus pula memperhatikan kepentingan daerah untuk mencegah gejolak-gejolak kedaerahan yang dapat memicu disintegrasi bangsa.

Oleh karena itu, akan lebih baik kalau Pemerintah Pusat mencarikan jalan tengah agar “rambut tidak putus, tepung tidak tumpah” untuk keluar dari persoalan ini. Pemerintah Pusat dapat saja menegakkan wibawa tetapi tetap dalam kerangka penyelesaian yang penuh kearifan dengan menempatkan kepentingan masyarakat sebagai tujuan akhir. Kalau prinsip ini yang yang dijadikan pegangan, maka pengambilalihan sementara itu dapat diakhiri dengan segera.

Kampus Limau Manis, November 2001.