Kompas 24 September 2001.

Pemilihan Presiden Langsung

Oleh Saldi Isra

(Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)

Diskursus untuk melakukan pemilihan Presiden (dan Wakil Presiden) langsung kembali mengemuka dalam beberapa hari terakhir. Ini dapat dicermati dari perdebatan-perdebatan yang terjadi di Panitia Ad Hoc (PAH) I MPR yang sedang melakukan kajian dalam mempersiapkan materi Amandemen Ketiga UUD 1945 pada Sidang Tahunan (ST) MPR yang akan datang. Pembicaraan ke arah ini mencuat pada saat PAH I MPR membahas materi pasal-pasal tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Sebenarnya, gagasan untuk melakukan pemilihan Presiden langsung adalah kelanjutan perdebatan yang pernah muncul pada paruh pertama tahun 2000. Pada masa itu, pengalaman “pahit” yang terjadi pada proses pemilihan Presiden dalam Sidang Umum (SU) MPR tahun 1999 sangat membekas dalam ingatan hampir sebagai besar masyarakat. Ini mendorong banyak kalangan untuk mengkaji ulang pola pemilihan Presiden yang telah ada.

Alasan mendasar

Berkaca pada pengalaman pemilihan Presiden pada Era Orde Baru dan pemilihan Presiden dalam SU MPR tahun 1999, ada beberapa raison d’etre yang sangat mendasar untuk melakukan pemilihan Presiden langsung.

Pertama, Presiden yang terpilih melalui pemilihan langsung akan mendapat mandat dan dukungan yang lebih riil rakyat sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih dengan tokoh yang dipilih. Kemauan orang-orang yang memilih (volonte generale) akan menjadi pegangan bagi Presiden dalam melaksanakan kekuasaannya.

Kedua, pemilihan Presiden langsung secara otomatis akan menghindari intrik-intrik politik dalam proses pemilihan dengan sistem perwakilan. Intrik politik akan dengan mudah terjadi dalam sistem multipartai. Apalagi kalau pemilihan umum tidak menghasilkan partai pemenang mayoritas, maka tawar-tawar yang mengarah kepada politik dagang sapi menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan.

Sekadar contoh, kegagalan Megawati menjadi Presiden pada SU MPR tahun 1999 memberikan “kesadaran baru” kepada kita bahwa sistem perwakilan dalam pengisian Presiden memberikan peluang yang sangat besar kepada kekuatan-kekuatan politik di MPR untuk mengkhianati keinginan sebagian besar rakyat Indonesia. Kemenangan PDI Perjuangan dalam pemilihan umum tahun 1999 dapat berarti bahwa sebagian besar volonte generale sudah “mendaulat” PDI Perjuangan (baca:Megawati) untuk memimpin negeri ini. Tetapi karena adanya pertimbangan-pertimbangan politik sesaat oleh sebuah “mesin politik’” yang bernama Poros Tengah, dukungan suara terbanyak dari rakyat menjadi tidak berarti. Secara jujur kita harus mengakui bahwa proses dan hasil pemilihan presiden pada tahun 1999 menjadi sebuah tragedi politik dalam proses demokratisasi di Indonesia.

Ketiga, pemilihan Presiden langsung akan memberikan kesempatan yang luas kepada rakyat untuk menentukan pilihan secara langsung tanpa mewakilkan kepada orang lain. Kecenderungan dalam sistem perwakilan adalah terjadinya penyimpangan antara aspirasi rakyat dengan wakilnya. Ini semakin diperparah oleh dominannya pengaruh partai politik yang telah mengubah fungsi wakil rakyat menjadi wakil partai politik (political party representation).

Keempat, pemilihan langsung dapat menciptakan perimbangan antara berbagai kekuatan dalam penyelenggaraan negara terutama dalam menciptakan mekanisme checks and balances antara Presiden dengan lembaga perwakilan karena sama-sama dipilih oleh rakyat. Selama ini, yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan kita, MPR menjadi sumber kekuasaan dalam negara karena adanya ketentuan bahwa lembaga ini adalah pemegang kedaulatan rakyat. Kekuasaan inilah yang dibagi-bagikan secara vertikal kepada lembaga-lembaga tinggi negara lain termasuk kepada Presiden. Akibatnya, kelangsungan kedudukan Presiden sangat tergantung kepada MPR.

Dengan adanya pemilihan langsung, Presiden secara politik tidak akan bertanggung jawab lagi kepada MPR melainkan akan bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilih Presiden.

Memilih model

Perdebatan tentang pemilihan Presiden langsung di PAH I MPR masih akan berlanjut terutama dalam mencari atau menentukan model pemilihan Presiden langsung. Kecenderungan yang ada di MPR mengarah kepada pola “pemilihan langsung plus” yang tetap memberikan peranan signifikan kepada MPR dengan dua alternatif, yaitu (1) calon Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih dulu di MPR baru kemudian diserahkan kepada rakyat untuk memilih di antara calon-calon yang telah dipilih dalam proses politik di MPR, dan (2) calon Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih terlebih dulu oleh rakyat kemudian dipilih lagi oleh MPR (Kompas, 11/09-2001).

Mencermati kecenderungan yang ada di PAH I MPR, kita dapat menilai bahwa lembaga tertinggi negara ini tidak ingin kehilangan otoritas politiknya dalam proses penyelenggaraan negara terutama dalam proses pengisian jabatan Presiden. Hal ini disadari betul oleh kekuatan politik di MPR tanpa adanya keterlibatan MPR dalam proses pemilihan Presiden, lembaga tertinggi ini akan kehilangan eksistensi secara signifikan. Kalau kecenderungan ini tetap dipertahankan, perubahan sistem pemilihan Presiden hanyalah perubahan setengah hati yang dapat membuka kemungkinan untuk menimbulkan persoalan ketatanegaraan yang jauh lebih serius. Misalnya, jika calon sudah terpilih dengan suara mayoritas oleh rakyat kemudian kalah dalam proses politik di MPR maka dapat dipastikan bahwa Presiden terpilih akan kehilangan legitimasi politik di mata rakyat.

Oleh karena itu, untuk menghindari persoalan yang mungkin timbul dari pola “pemilihan langsung plus” dan sekaligus untuk memperlihatkan kesungguhan MPR dalam melakukan perubahan, pemilihan Presiden langsung harus dikembalikan kepada makna hakikinya bahwa proses pemilihan di tingkat rakyatlah yang menjadi kata-putus dalam menentukan Presiden. Untuk keperluan ini kita dapat menoleh kepada beberapa pola pemilihan Presiden langsung yang sudah diterapkan oleh berbagai negara demokrsi modern lainnya di dunia.

Pertama, sistem Electoral College yang dipakai dalam pemilihan langsung di Amerika Serikat (AS). Kedua first-past the post yaitu apabila seorang kandidat memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan langsung menjadi Presiden. Ketiga, Two-round atau Run-off system yaitu proses pemilihan bertingkat. Pada sistem ini, bila tidak ada kandidat yang memperoleh sedikitnya 50% dari keseluruhan suara pada tahap pertama, maka dua kandidat dengan perolehan suara terbanyak harus mengikuti pemilihan tahap kedua beberapa waktu setelah tahap pertama selesai. Keempat, Sistem Nigeria. Pada sistem ini seorang kandidat Presiden dinyatakan sebagai pemenang apabila dapat meraih sedikitnya 30% suara di sedikitnya 2/3 dari jumlah propinsi yang ada.

Barangkali, masih banyak model lain yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan pola yang akan dipakai di negara kita sepanjang kata-putus ada di tangan rakyat. Meskipun demikian, penentuan model pemilihan Presiden langsung harus dengan memperhatikan kondisi riil rakyat Indonesia seperti (1) faktor perimbangan penduduk yang tidak merata untuk seluruh wilayah Indonesia, dan (2) dominannya pemilih “tradisional” dan pemilih “irrasional” dalam komunitas politik kita yang kalau tidak disiasati dengan bijak akan kontraproduktif dengan keinginan untuk memperbaiki proses pemilihan Presiden.

Langkah nyata

Kita berharap keinginan untuk melakukan pemilihan Presiden langsung tidak hanya sekadar wacana di tingkat MPR. Meskipun pemilihan langsung direncanakan baru akan dilaksanakan pada tahun 2004, tetapi sudah harus ada beberapa langkah nyata (action plan) yang dilakukan oleh MPR ke arah ini.

Pertama, menghindarkan monopoli MPR dalam merumuskan segala sesuatu tentang pemilihan Presiden langsung. Kalau ini terjadi, bias politik akan menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan karena kerasnya pertarungan politik dari berbagai kekuatan yang ada di MPR. Biasanya, apabila terjadi tarik menarik, maka jalan keluar yang ditempuh adalah dengan membuat rumusan kompromi sebagai alternatif untuk menghindari deadlock. Sepanjang dapat dipahami, rumusan normatif yang berasal dari hasil kompromi lebih merupakan pemenuhan kebutuhan politik jangka pendek. Oleh karena itu, MPR harus melibatkan banyak orang di luar MPR untuk menghindarkan biaas politik yang mungkin timbul.

Kedua, sebaiknya ada penegasan MPR dalam ST yang akan datang untuk memulai melakukan “pemanasan” menuju pemilihan Presiden langsung. Ini dapat dilakukan dengan memulai pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) secara langsung bagi daerah-daerah yang akan melakukan pergantian Kepala Daerah menjelang pemilihan Presiden langsung pada tahun 2004. Langkah ini dapat juga dijadikan bukti terhadap anggapan yang berkembang di masyarakat selama ini bahwa rakyat Indonesia belum siap untuk melakukan pemilihan langsung.

Kalau langkah nyata sudah dilakukan, baru ada keyakinan bahwa keinginan untuk memilih Presiden langsung tidak hanya sekedar wacana.