Kompas 18 Septeber 2001.

Menyoal Resistensi MPR

Membentuk Komisi Konstitusi

Oleh Saldi Isra

(Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)

Gagasan besar untuk melakukan “reformasi total” dalam proses penyelenggaraan negara yang digaungkan sejak awal reformasi sedang menghadapi hambatan yang amat serius. Gejala ini dapat dicermati berdasarkan perkembangan situasi politik terkini di MPR dengan adanya keberatan beberapa fraksi di Panitia Ad Hoc (PAH) I terhadap usulan PDI Perjuangan untuk membentuk Komisi Konstitusi.

Menurut harian ini, penolakan ini terjadi terjadi karenaa fraksi-fraksi di MPR beranggapan bahwa Komisi Konstitusi yang diusulkan untuk dibentuk tidak berbeda dengan Tim Ahli Badan Pekerja (BP) MPR yang sudah menghasilkan rancangan konstitusi (Kompas, 5/09-2001).

Kalau kecenderungan ini tidak mengalami perubahan, maka perkembangan yang terjadi di MPR akan bertolak belakang dengan ajakan Presiden Megawati Soekarnoputri membentuk Komisi Konstitusi.

Seperti diketahui, dalam Piadato Kenegaraan di hadapan DPR pada tanggal 16 Agustus yang lalu, Presiden Megawati menginginkan dilakukan amandemen yang lebih bersifat komprehensif dan lebih konseptual terhadap tatanan kenegaraan berdasar Undang-Undang Dasar 1945.

Menurut Megawati, wacana perubahan yang sedang berkembang dapat dimanfaatkan untuk dikristalisasikan dan dirumuskan secara komprehensif, sistematis, dan berkeahlian oleh suatu Komisi Konstitusi.

Gagasan Megawati untuk membentuk Komisi Konstitusi ini semestinya disikapi secara objektif bahwa telah terjadi perkembangan sikap Megawati ke arah yang lebih maju terutama jika dibandingkan dengan waktu menjelang dan sesudah pemilihan umum 1999. Pada masa itu, Megawati dan PDI Perjuangan dikenal sangat konservatif dalam pemikiran ke arah perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan, ketika itu secara terbuka Megawati dan PDI Perjuangan tidak berkeinginan untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Sikap inilah yang dijadikan salah satu “sasaran tembak” lawan-lawan politik Megawati untuk menghambat langkah Ketua Umum PDI Perjuangan ini menuju puncak kekuasaan.

Sekarang, ketika kesadaran untuk melakukan perubahan secara mendasar dan konseptual terhadap UUD 1945 itu muncul dari Megawati (dan juga PDI Perjuangan) yang terjadi justeru sebaliknya, hampir semua kekuatan di MPR menjadi resistensi terhadap gagasan tersebut.

Jika MPR masih tetap keberatan menerima kehadiran Komisi Konstitusi, tuduhan bahwa lembaga tertinggi ini memelihara status quo tidak mungkin dihindari. Disamping itu ada hal mendasar yang mesti dipahami oleh MPR bahwa hasil duakali amandemen yang dilakukan oleh lembaga ini telah menimbulkan beberapa persoalan yang sangat elementer.

Pertama, berdasarkan ketentuan Pasal 90 ayat (2) Tap MPR No. II/ MPR/ 2000 yang menyatakan bahwa Amandemen UUD 1945 dilakukan dengan putusan MPR dalam bentuk Perubahan UUD dengan ketentuan (1) keputusan itu mempunyai kekuatan hukum sebagai UUD, dan (2) tidak menggunakan nomor putusan MPR. Bentuk hukum penetapan hasil amandemen yang dilakukan dengan Keputusan MPR dapat mengurangi kewibawaaan UUD sebagai hukum dasar (basics law) karena dapat saja dinilai posisinya akan sederajat dengan ketetapan MPR yang lain. Persoalan ini dapat menimbulkan krisis legitimasi dalam waktu yang amat panjang.

Kedua, ada kesulitan dalam memahami hasil amandemen oleh sebagian besar masyarakat. Kesulitan ini muncul karena adanya sejumlah pasal baru yang tidak lazim untuk dapat dimengerti dan dipahami oleh kalangan yang tidak mempunyai pengetahuan legal drafting (ilmu perundang-undangan) yang memadai.

Ketiga, adanya kecenderungan bias politik terhadap hasil dua kali amandemen yang telah dilakukan. Hal ini terjadi karena kerasnya pertarungan politik dari berbagai kekuatan yang ada di MPR. Biasanya, apabila terjadi tarik menarik antara berbagai kekuatan maka jalan keluar yang ditempuh adalah dengan membuat rumusan kompromi sebagai alternatif untuk menghindari deadlock. Sepanjang dapat dipahami, rumusan normatif yang berasal dari hasil kompromi lebih merupakan pemenuhan kebutuhan politik jangka pendek.

Dengan kelemahan yang amat elementer itu semestinya ada “kesadaran baru” di kalangan MPR dalam menerima gagasan pembentukan Komisi Konstitusi untuk menindaklanjuti amandemen dan perumusan konstitusi baru.

Resistensi MPR

Kalau dicermati secara mendalam hasil dari dua kali perubahan terhadap UUD 1945, melalui Amandemen Pertama yang dilakukan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Amandemen Kedua pada tahun 2000, akan kelihatan bahwa perubahan yang dilakukan MPR masih sangat parsial. Ini dapat dibuktikan dari substansi yang telah dirubah tidak menyentuh keseluruhan bagian yang telah lama diperdebatkan dalam proses penyelenggaraan negara kita. Bagian yang tidak pernah disentuh oleh perubahan yang dilakukan terutama menyangkut keberadaan MPR sendiri sebagai lembaga yang diberikan kewenangan konstitusional untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945.

Dengan perubahan parsial seperti ini, dapat dikatakan bahwa MPR tidak berkeinginan untuk mereformasi posisinya strategisnya sebagai lembaga tertinggi negara dalam sistem ketatanegaraan kita.

Tidak adanya perubahan terhadap posisi konstitusional MPR dari dua kali amandemen yang telah dilakukan, tidak terlepas dari pemikiran oleh sebagian kalangan di MPR yang menyadari sepenuhnya, jika seandainya dilakukan perubahan secara komprehensif dan mendasar terhadap UUD 1945 dengan melakukan restrukturisasi yang elementer terhadap lembaga-lembaga negara yang ada, salah satu lembaga yang akan “dibongkar” adalah MPR.

Hal ini dapat diamati dari perkembangan wacana politik ketatanegaraan dalam beberapa waktu terkhir bahwa posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara telah menimbulkan persoalan tersendiri dalam sistem ketatanegaraan kita. Apabila perubahan diserahkan kepada Komisi Konstitusi, besar kemungkinan, MPR akan muncul dengan sosok yang jauh berbeda dengan apa yang kita pahami saat ini. Bahkan tidak tertutup kemungkinan akan terjadi perubahan yang radikal dengan menghapus MPR dalam konstitusi baru hasil perubahan. Jika ini terjadi, meminjam istilah Munir, MPR akan kehilangan otoritas politiknya sebagai pemegang komando tunggal kekuasaan.

Oleh karena bebrapa alsan dan petimbangan diatas, beberapa kalangan sangat berkepentingan untuk menjaga eksistensi MPR. Selama perubahan masih bermuara di MPR, maka prinsip yang terdapat dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan oleh MPR tetap akan dipertahankan.

Sebuah keharusan

Melihat besarnya kritik dan kecurigaan terhadap proses amandemen yang telah dan sedang dilakukan, semestinya MPR melihat ajakan Megawati membentuk Komisi Konstitusi sebagai suatu keharusan terutama oleh kekuatan politik yang mendukung Megawati menjadi presiden menggantikan Abdurrahman Wahid.

Semestinya, sikap kekuatan politik itu adalah berbanding lurus dengan keinginan Megawati. Dengan demikian akan ada pemahaman di tingkat grassroot bahwa perubahan politik pada Sidang Istimewa yang lalu juga bermuara pada perbaikan proses politik ketatanegaraan untuk jangka panjang. Kalau ini disadari sepenuhnya oleh berbagai kekuatan politik yang ada di MPR, maka ada perubahan dan perumusan konstitusi baru peranan lembaga ini hanya terbatas dalam dua hal saja.

Pertama, membidani proses kelahiran Komisi Konstitusi. Ini dapat dilakukan MPR dengan hanya mengamandemen ketentuan Pasal 37 UUD 1945 untuk memberikan landasan konstitusional kehadiran Komisi Konstitusi dalam Sidang Tahunan MPR yang akan datang.

Kedua, memberikan prinsip-prinsip dasar atau batasan-batasan umum dalam melakukan perubahan. Misalnya memberikan ketentuan hanya dapat dilakukan dengan ketentuan (1) tetap mempertahankan Pembukaan UUD 1945, (2) tetap dalam bingkai negara kesatuan, (3) tetap dengan sistem pemerintahan presidensial. Prinsip dan batasan inilah yang dipegang oleh komisi konstitusi dalam melakukan perubahan.

Kalau MPR masih memaksakan kehendaknya agar perubahan tetap dilakukan di lembaga tertinggi negara ini, maka sinyalemern Mochtar Pabottinggi bahwa unsur-unsur Orde Baru masih sangat dominan di MPR, ada benarnya.