Kompas, 2 Agustus 2001
Masalah Departemen dan Pengisian Kabinet
Oleh Saldi Isra
Ada dua agenda penting pascapenetapan Megawati sebagai Presiden yang menjadi pusat perhatian masyarakat, yaitu pemilihan Wakil Presiden dan pengumuman susunan kabinet. Salah satu diantara agenda tersebut telah dilewati melalui proses politik dalam Sidang Istimewa (SI) MPR pada tanggal 26 Juli yang lalu. Kalau pada awalnya ada kekhawatiran bahwa pengisian jabatan Wakil Presiden akan menjadi perpecahan awal koalisi pendukung Megawati, tetapi dengan terpilihnya Hamzah Haz mendampingi Megawati kekawatiran tersebut berubah menjadi optimisme. Banyak yang percaya bahwa duet Megawati-Hamzah adalah pencerminan riil politik Indonesia.
Meskipun pemilihan Wakil Presiden telah dilalui dengan baik, ini tidak begitu saja menghentikan pembicaraan tentang masa depan pemerintahan Megawati karena masih ada agenda krusial lain yang sedang ditunggu, yaitu pengumuman susunan kabinet. Hal ini menjadi wacana publik dalam beberapa hari terakhir karena adanya penundaan pengumuman nama-nama anggota kabinet. Keterlambatan ini telah menimbulkan berbagai spekulasi di tengah masyarakat terutama menyangkut jumlah departemen dan nama-nama personil yang akan mengisi departemen tersebut.
Departemen
Pergantian Presiden dengan serta merta memunculkan perdebatan lain yang amat substantif yaitu berkenaan dengan “nasib” beberapa departemen yang pernah dibubarkan oleh Abdurrahman Wahid seperti Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Paling tidak ada tiga alasan mendasar yang mendorong munculnya perdebatan untuk menghidupkan kembali departemen tersebut.
Pertama, adanya kondisi yang memaksa Megawati menambah jumlah departemen (dan non-departemen) untuk mengakomodasi semua kekuatan politik. Kalau tetap dengan jumlah yang ada sekarang, kemungkinan tidak akan dapat menampung semua kekuatan yang mendukung langkah Megawati menjadi Presiden. Dapat dipastikan bahwa Megawati tidak akan berani meninggalkan beberapa koalisinya untuk tidak dimasukkan dalam kabinet karena dapat mengganggu stabilitas pemerintahannya sampai tahun 2004.
Kedua, ada kondisi riil dalam penyelenggaraan pemerintahan yang belum terselesaikan sampai sekarang yaitu menyangkut jumlah pegawai yang “menganggur” karena pembubaran departemen tersebut. Meskipun sudah ada kebijakan untuk memindahkan pegawai ke beberapa departemen dan ke daerah tetapi dalam kenyataannya tidak berjalan lancar karena tidak sedikit departemen yang keberatan dengan kebijakan ini. Bahkan banyak daerah yang menolak pengalihan pegawai ke daerah.
Ketiga, sampai sekarang masih ada beberapa kalangan berpendapat bahwa pembubaran tersebut dinilai sebagai langkah yang keliru sehingga perlu dilakukan koreksi terhadap langkah kontroversial Abdurrahman Wahid tersebut.
Terlepas dari beberapa kondisi di atas, kita berharap agar Megawati tidak berfikir untuk kepentingan politik sesaat. Kalau dilakukan penambahan jumlah departemen (dan juga non-departemen) secara signifikan untuk mengakomodasi kepentingan politik sesaat dan setelah kepentingan ini selesai akan dilakukan lagi penataan, maka langkah ini dapat merusak administrasi penyelenggaraan pemerintahan dalam jangka panjang. Di samping itu, harus disadari bahwa UUD 1945 hanya memberikan kewenangan kepada Presiden untuk mengisi keanggotaan kabinet, bukan untuk menambah jumlah departemen. Artinya, kewenangan (hak prerogatif ?) yang diberikan oleh Pasal 17 UUD 1945 tidak mutatis mutandis memberikan keleluasaan kepada Presiden dalam menentukan jumlah departemen.
Penyusunan kabinet
Pasal 17 UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa (1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, (2) menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, dan (3) setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 17 juga dinyatakan bahwa Menteri Negara adalah pembantu Presiden yang kedudukannya tergantung dari Presiden.
Mencermati ketentuan tersebut, secara konstitusional dapat dikatakan bahwa pengisian jabatan menteri “sepenuhnya” berada di tangan Presiden. Tetapi dalam kondisi sekarang, kewenangan tersebut tidak mungkin sepenuhnya ada di tangan Presiden karena adanya fakta politik yang mengharuskan Megawati melibatkan pihak lain dalam menentukan anggota kabinet. Meskipun demikian, diharapkan, hal ini jangan sampai mengamputasi hak konstitusional yang dimiliki Presiden karena adanya tekanan dari berbagai kekuatan. Kalau ini terjadi, maka kekuatan-kekuatan politik tersebut dengan sadar telah melakukan pembusukan secara sistematis terhadap UUD 1945.
Kalau memang ada keinginan untuk membangun kehidupan ketatanegaraan yang lebih baik sembari menghindarkan Megawati dari posisi sulit dalam menentukan kabinet, maka akan lebih baik kalau ada beberapa partai yang mengambil inisiatif untuk tidak bergabung dalam kabinet Megawati. Jika ini dilakukan akan ada beberapa manfaat langsung akan diperoleh seperti (1) memberikan kemudahan kepada Megawati untuk menyusun kabinet karena sudah ada beberapa partai tidak perlu lagi dipertimbangkan di kabinet, dan (2) dapat menepis anggapan di tingkat grass-root bahwa partai-partai mengadakan SI MPR hanya untuk bagi-bagi kekuasaan.
Dengan adanya pemahaman seperti ini, Megawati tidak perlu merangkul seluruh kekuatan politik untuk duduk di jajaran kabinet. Ini penting dilakukan untuk tetap menyisakan kekuatan politik yang akan menjalankan fungsi oposisi di parlemen. Kalau semua kekuatan dirangkul ke dalam kabinet, ini akan mematikan benih-benih demokrasi yang telah tumbuh selama ini di DPR. Kita percaya, dengan menyisakan sekitar 20-30% kekuatan politik menjadi “oposisi” pemerintahan yang stabil tetap dapat diwujudkan sedangkan suasana demokratis yang telah tumbuh selama ini tetap terpelihara.
Mengubah paradigma
Mencermati masalah departeman dan pengisian kabinet di atas, maka untuk kebutuhan ke depan diperlukan political will untuk melakukan perubahan paradigma (paradigm shift) dalam penyelenggaraan proses ketatanegaraan.
Pertama, sudah waktunya dirumuskan ketentuan perundang-undangan tentang departemen sehingga Presiden tidak dapat seenaknya melakukan penghapusan atau penambahan jumlah departemen. Paling tidak, ketentuan tersebut menentukan departemen-departemen yang permanen yang tidak boleh dirubah begitu saja oleh seorang Presiden. Ini perlu dilakukan agar pergantian pemerintahan tidak menimbulkan rasa cemas bagi departemen yang ada terutama yang jumlah pegawainya tergolong banyak. Ketentuan ini akan mempertegas bahwa Presiden hanya mempunyai kewenangan mengisi personil kabinet bukan kewenangan menentukan departemen.
Kedua, segera memulai proses yang lebih transparans dengan nilai objektifitas yang lebih dapat dipertanggungjawabkan dalam pengisian anggota kabinet dengan perubahan paradigma sebagai berikut, pertama, membuka kemungkinan agar Presiden melakukan konfirmasi kepada DPR atas nama-nama yang akan dijadikan menteri. Barangkali sebagai langkah pertama, cukup mengkonfirmasikan nama-nama menteri yang akan menempati pos-pos penting sesuai dengan kebutuhan keadaan negara kita. Misalnya, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman, dan Jaksa Agung.
Ada dua keuntungan yang akan diperoleh Presiden untuk setiap proses politik yang terkait dengan DPR, yaitu (1) Presiden akan lebih awal mengetahui persepsi anggota DPR terhadap jajaran kabinetnya, dan (2) akan ada dukungan politik yang lebih luas dari DPR karena DPR secara tidak langsung akan mempunyai tanggungjawab moral terhadap kabinet yang disusun. Dilihat dari sudut konstitusi, kalau upaya seperti ini dilakukan secara terus menerus maka ia akan menjadi convention untuk melengkapi aturan dasar penyelenggaraan negara. Sehingga pada gilirannya cara ini akan menjadi kewajiban konstitusional bagi Presiden untuk melakukan konfirmasi dalam setiap penyusunan kabinet.
Kedua, sudah saatnya Presiden secara transparans menyampaikan kepada publik alasan-alasan pemilihan seseorang untuk menduduki posisi-posisi tertentu dalam kabinet. Selama ini kita selalu dihadapkan kepada nama-nama tanpa adanya raison d’etre menempatkan nama tertentu untuk posisi menteri dalam kabinet. Tidaklah berlebihan, pada saat pengumuman kabinet banyak masyarakat yang terkaget-kaget karena ada nama --yang entah dari mana asal dan latar belakangnya-- tiba-tiba muncul sebagai menteri. Meskipun ada menteri yang berasal dari hasil konsensi politik, Presiden harus tetap dapat megetahui track record-nya sehingga dapat menjelaskan nama tersebut kepada publik. Masyarakat hanya tahu bahwa menteri adalah pembantu Presiden tanpa peduli berasal dari partai mana karena pertanggungjawaban kabinet tetap berada di tangan Presiden tidak di tangan (ketua) partai yang memberikan rekomendasi.
Kita menyadari, adalah tidak mudah merubah paradigma yang telah ada selama ini. Kecuali, kalau memang ada niat baik untuk membangun negeri ini.