Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006
(Isi, Implikasi, dan Masa Depan Komisi Yudisial)
Oleh Saldi Isra[1]
Pendahuluan
Dalam pidato penutupan Sidang Tahunan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tahun 2002, Ketua MPR Amien Rais mengatakan: “Reformasi konstitusi yang telah dilakukan merupakan suatu langkah besar demokrasi dalam upaya menyempurnakan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjadi konstitusi yang demokratis, konstitusi yang sesuai dengan semangat zaman, konstitusi yang mampu mewadahi dinamika bangsa dan perubahan zaman pada masa yang akan datang. Dengan UUD yang telah diamendir, dihadapan kita telah terbentang suatu era Indonesia baru yang lebih demokratis dan lebih maju”.[2]
Terlepas dari berbagai pandangan terhadap pidato Ketua MPR di atas, tidak dapat dipungkiri, salah satu langkah besar yang dimaksud adalah perubahan terhadap kekuasaan kehakiman. Perubahan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Tidak hanya itu, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Bahkan bagi seorang hakim, Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menentukan, hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Khusus untuk menjaga kemandirian dan integritas hakim, hasil perubahan UUD 1945 juga memunculkan sebuah lembaga baru, yaitu Komisi Yudisial (KY).
Resistensi Hakim Agung
Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, calon hakim agung diusulkan KY kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden. Kemudian, Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan ketentuan itu, hubungan KY dengan MA terjadi dalam proses pengusulan calon hakim agung; menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Menindaklanjuti hasil hasil perubahan UUD 1945, pada tanggal 13 Agustus 2004 Presiden mengesahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU No 22/2004). Sesuai dengan Pasal 24B UUD Ayat (1) 1945, Pasal 13 UU No 24/2004 menyatakan Komisi Yudisial mempunyai wewenang: (a) mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan (b) menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Elaborasi lebih jauh penggunaan kedua kewenangan KY dapat dibaca dalam Pasal 14-25 UU No 22/2004.
Pada tahap awal pembentukan KY mendapat sambutan positif dari kalangan Mahkamah Agung. Buktinya: dalam Sambutan Rakernas MA, Peradilan Tingkat Banding, Pengadilan Tingkat Pertama Kelas IA Seluruh Indonesia di Denpasar, Bali 19-22 September 2005, Ketua MA Bagir Manan mengatakan:
“Sekarang kita mempunyai KY yang saya yakin akan lebih memperkuat upaya membenahi tingkah laku tidak terpuji dari hakim. Meskipun KY tidak berwenang meneliti dan memeriksa putusan hakim dan tindakan-tindakan teknis yustisial lainnya, tetapi kewenangan yang ada disertai kerjasama yang erat dengan MA, akan sangat memberdayakan (empowering) usaha kita menghapus secara tuntas perbuatan tercela para hakim atau petugas pengadilan lainnya. Saya berjanji akan memanfaatkan semaksimal mungkin temuan KY mengenai perbuatan tidak terpuji para hakim dan lain-lain pejabat pengadilan“.
Namun ketengangan mulai muncul ketika KY merespon kejanggalan yang terjadi dalam kasus sengketa penetapan hasil pemilihan Walikota-Wakil Walikota Depok. Sebagaimana diketahui, Pengadilan Tinggi Jawa Barat membatalkan hasil pemilihan Walikota-Wakil Walikota Depok.[3] Karena menilai terjadi kejanggalan dalam penyelesaian kasus Depok, KY memeriksa hakim yang menangani kasus sengketa hasil pemilihan Walikota Depok. Kemudian, KY merekomendasikan kepada MA untuk pemberhentian sementara selama satu tahun Ketua PT Jawa Barat Nana Juwana. Dalam rekomendasi itu, KY memberikan tenggat waktu satu bulan supaya MA memberikan tanggapan atas rekomendasi KY.[4] Tidak hanya pada kasus Depok, KY menenggarai terjadi misconduct dalam putusan illegal logging Potianak[5] dan vonis kasus dugaan korupsi dana perumahan DPRD Banten[6]. Bahkan dalam kasus Edwar C.W. Neloe KY juga memeriksa anggota dan ketua majelis hakim perkara tersebut karena memutus Neloe dengan putusan bebas.[7]
Sepak-terjang KY dalam melakukan pengawasan mendapat perlawana terbuka dari kalangan hakim. Perlawan itu dimulai dalam bentuk mempersoalkan kewenangan KY dalam melakukan pengawasan, pengabaian beberapa rekomendasi KY oleh Mahkamah Agung, dan beberapa tindakan lain yang menunjukan pembangkangan terhadap KY. Puncak dari itu semua, mayoritas Hakim Agung (31 orang) mengajukan permohonan hak menguji materiil pasal-pasal tentang Hakim Agung (dan juga Hakim Konstitusi), serta pasal-pasal pelaksanaan pengawasan KY kepada hakim.
Sumber pokok yang menjadi keberatan ke-31 orang Hakim Agung adalah menyangkut kata makna “Hakim” frasa “mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” yang terdapat dalam Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945. Berikut ini pasal-pasal yang didalilkan oleh 31 orang Hakim Agung bertentangan dengan UUD 1945.
1. Pasal 1 angka 5 UU KY
Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pasal 20 UU KY
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, KY mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
3. Pasal 22 ayat (1) huruf e UU KY
Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial (5) membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
4. Pasal 22 ayat (4) UU KY
Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta.
5. Pasal 23 Ayat (2) UU KY
Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a[8] beserta alasan kesalahannya bersifat mengikat, disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.
6. Pasal 23 Ayat (3)
Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c[9] diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.
7. Pasal 23 Ayat (5)
Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pembelaan diri ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim.
8. Pasal 24 Ayat (1)
Komisi Yudisial dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
9. Pasal 25 Ayat (3)
Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sah apabila rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 5 (lima) orang Anggota Komisi Yudisial, kecuali keputusan mengenai pengusulan calon Hakim Agung ke DPR dan pengusulan pemberhentian Hakim Agung dan/atau Hakim Mahkamah Konstitusi dengan dihadiri seluruh anggota Komisi Yudisial.
10. Pasal 25 Ayat (4)
Dalam hal terjadi penundaan 3 (tiga) kali berturut-turut atas keputusan mengenai pengusulan calon Hakim Agung ke DPR dan pengusulan pemberhentian hakim agung dan/atau hakim Mahkamah Konstitusi maka keputusan dianggap sah apabila dihadiri oleh 5 (lima) orang anggota.
Putusan MK[10]
Membaca permohonan yang diajukan oleh pemohon, MK mempunyai wewenang untuk memeriksa permohonan tersebut. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahhwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Karena Pemohon mengajukan permohonan untuk menguji UU No 22/2004 (dan UU No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) terhadap UUD 1945, maka permohonan tersebut berada dalam lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi. Namun ada beberapa poin penting yang harus dibahas dan didiskusikan lebih lanjut.
Pertama, asas seorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa). Sebagai salah satu asas dalam hukum acara, MK tidak boleh menyimpanginya. Artinya, alasan bahwa berpekara di MK tidak sama dengan berperkara di pengadilan biasa, tidak dijadikan argumentasi untuk mengabaikan prinsip nemo judex idoneus in propria causa. Sampai saat ini, MK sudah beberapa kali menggunakan argumentasi bahwa berpekara di MK tidak sama dengan berperkara di pengadilan biasa, namun belum ada argumentasi yang dapat menjelaskan hal ini secara tuntas.
Dalam kasus yang sedang kita bahas ini, MA berupaya “menarik” MK sebagai pihak yang dirugikan kepentingan konstitusionalnya oleh UU No 22/ 2004. Celakanya, sadar atau tidak, MK terjebak membangun argumentasi untuk tidak masuk dalam ranah pengawasan KY. Untuk kepentingan ini, MK berani menyimpangi dan menyatakan tidak berlaku asas bahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam kepentingan perkaranya sendiri dalam permohonan uji materiil UU No 22/2004.
Secara universal, asas hanya dapat disimpangi kalau ditentukan secara tertulis. Di luar itu, penyimpangan tidak diperbolehkan. Secara normatif, Pasal 29 ayat (5) dan (6) UU No 4/2004 menyatakan:
(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
(6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Kedua, legal standing. Membaca permohonan Pemohon, sulit untuk mencarikan dalil bahwa Pemohon tidak mempunyai legal standing. Pasal 51 Ayat (1) UU No 22/2003 tentang MK menyatakan, Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
Namun kalau dibaca dengan teliti Putusan No. 005/PUU-IV/2006 akan diketahi bahwa salah seorang hakim konstitusi menolak legal standing Pemohon terutama yang menyangkut sepanjang hakim konstitusi. Penolakan salah seorang Hakim Konstitusi dapat dibaca dalam Putusan MK (hal. 157) yang menyatakan:
Mahkamah Konstitusi berpendapat para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing, legitima persona standi in judicio) untuk mengajukan permohonan a quo, dengan seorang Hakim Konstitusi berpendapat lain bahwa, sepanjang menyangkut ketentuan yang berkaitan dengan Hakim Konstitusi, para Pemohon tidak mempunyai legal standing karena tidak ada kerugian hak atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik yang dialami oleh para Pemohon, selaku Hakim Agung, sebagai akibat dari berlakunya ketentuan yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi dan Hakim Konstitusi dalam UUKY.
Pertanyaan mendasar yang harus dikemukakan: mengapa tidak dimunculkan nama dan argumentasi hakim konstitusi yang tidak menerima legal standing tersebut. Tidak hanya itu, sekalipun hakim yang bersangkutan hanya menolak legal standing pemohon sepanjang menyangkut hakim konstitusi, itu berarti dia menolak legal standing secara keseluruhan. Dalam proses beracara, lazimya tidak dikenal pemisahan legal standing.[11] Artinya, kalau hakim konstitusi yang menolak legal standing tersebut konsisten maka komposisi putusan hakim No. 005/PUU-IV/2006 adalah 8:1 bukan 9:0.
Ketiga, hakim konstitusi tidak masuk dalam pengertian hakim. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kalau UUD 1945 tidak memisahkan pengertian hakim berdasarkan ruang lingkup, maka semua hakim dalam ranah kekuasaan negara harus dimaksudkan sebagai hakim. Karena kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh hakim dalam semua lingkungan peradilan, maka tidak tepat mengatakan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim.
Tambah lagi, dalam risalah amandemen UUD 1945, tidak pernah disebutkan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim. Artinya, dengan tidak dibahas dan disebutkan bahwa Hakim Konstitusi masuk dalam ranah pengawasan KY tidak berarti bahwa Hakim Konstitusi dapat ditafsirkan tidak masuk dalam wilayah pengawasan KY. Dalam hal ini menarik menyimak pendapat Rifqi S. Assegaf berikut ini:
Dengan menggunakan penafsiran historis, penulis sepakat dengan putusan MK bahwa tidak maksud dan tujuan dari penyusun UUD 1945 menjadikan Hakim Konstitusi sebagai obyek pengawasan KY. Namun penggunaan metode panfsiran historis an sich dalam Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 dapat diperdebatkan karena tidak ada ancaman atau konstitusional yang terlanggar jika Hakim Konstitusi diawasi oleh KY. Bahkan mengingat pentingnya prinsip akuntabilitas dalam negara hukum yang demokratis sebagai penyeimbang prinsip independensi peradilan (yang diartikan sebagai diperlukannya lembaga pengawas, termasuk pengawas eksternal terhadap hakim), maka sewajarnya MK menggunakan penafsiran teleologis dalam memutus hal ini.[12]
Dengan penjelasan itu, Rifqi S. Assegaf mengajukan fakta lain bahwa sebenarnya dalam Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 alasan serta metode teleologis ini pula yang dipakai MK saat memutus bahwa Hakim Agung dapat menjadi obyek pengawasan KY.[13] Lalu, tambah Rifqi, mengapa MK memilih metode penafsiran lain saat menilai dapat tidaknya KY mengawasi Hakim Konstitusi.[14] Alasan ini juga yang digunakan untuk membangun argumen tambahan Majelis Eksaminasi Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa dengan menghindari pengawasan KY, Hakim Konstitusi dapat dikatakan anti akuntabilitas.[15]
Keempat, checks and balances lembaga negara. Sejak selesainya Perubahan UUD 1945 Generasi Pertama (1999-2002), pembedaan lembaga-lembaga negara tidak lagi didasarkan kepada pembagian hierarkis berupa lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Setelah perubahan, lembaga-lembaga negara dibedakan sesuai dengan fungsi dan kewenangan konstitusional masing-masing. Namun, pertimbangan hukum Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 kembali “menghidupkan” pola hubungan antarlembaga negara yang hierarkis. Misalnya, dalam halaman 178-179 Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 secara eksplisit dinyatakan:
...menurut Mahkamah Konstitusi, UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs). Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga oleh karenanya lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state institutions) yang hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip “checks and balances”.
Dengan demikian, prinsip “checks and balances” itu terkait erat dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara (separation of powers), dan tidak dapat dikaitkan dengan persoalan pola hubungan antarsemua jenis lembaga negara, seperti misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Oleh karena itu, memahami hubungan antara lembaga negara dalam perspektif “checks and balances” di luar konteks pemisahan fungsi-fungsi kekuasaan negara (separation of powers), seperti dalam hubungan antara Mahkamah Agung dan KY, adalah tidak tepat. Walaupun benar bahwa KY dapat diberi peran pengawasan, maka pengawasan itu bukanlah dalam rangka checks and balances dan juga bukan pengawasan terhadap fungsi kekuasaan peradilan, melainkan hanya pengawasan terhadap perilaku individu-individu hakim.
Kalau dibaca dengan teliti pertimbangan hukum di atas, Hakim Konstitusi merancukan begitu saja antara separation of power dengan checks and balances. Dalam separation of powers, pembagian secara kaku atas tiga cabang kekuasaan menjadi benar adanya, sedangkan dalam checks and balances pembagian seperti itu bukan menjadi hal yang mutlak.[16] Oleh karenanya, ada pernyataan agak “berbahaya” bagi diskursus ilmu hukum bila interpretasi MK ini dijadikan patokan dalam kontekstualisasi prinsip checks and balances di Indonesia. Dikatakan “berbahaya” karena pertimbangan itu menyempitkan pemahaman cheks and balances pada teks konstitusi, bukan pada prinsip-prinsip.[17]
Dalam hal ini, John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff menjelaskan bahwa memang ada tiga pendekatan yang digunakan untuk memahami tempat dan hubungan lembaga-lembaga negara, yaitu (1) “separation of powers”, (2) “separation of functions”, dan (3) “checks and balances”.[18] Terkait dengan pendekatan tersebut, Peter L. Strauss (1984) dalam tulisannya “The Place of Agencies in Government: Separation of Powers and Fourth Branch” menjelaskan bahwa unlike the separation of powers, the checks and balances idea does not suppose a radical division of government into three parts, with particular functions neatly parceled out among them. Rather, focus is on relationship and interconnections, on maintaining the conditions in which the intended struggle at the apex may continue.[19]
Kelima, independensi kekuasaan kehakiman. Prinsip ini termasuk salah satu poin yang cukup luas dipaparkan dalam Putusan No 005/PUU-IV/2006. Pemaparan itu dapat dipahami karena kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak lain di luar peradilan. Sehingga Hakim dalam memutus perkara hanya demi kadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.[20] Dalam pandangan Hakim Agung Artidjo Alkostar, tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya pengadilan yang merdeka dan bermartabat. Fungsi pengadilan merupakan salah satu tiang tegaknya negara yang berdaulat. Salah satu elemen pengadilan adalah menyangkut faktor adanya pengadilan yang merdeka.[21]
Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting dalam negara demokrasi. Shimon Shetreet dalam Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges membagi independence of the judiciary menjadi empat hal yaitu substantive independence (independensi dalam memutus perkara), personal independence [misalnya adanya jaminan masa kerja dan jabatan (term of office and tenure)], internal independence (misalnya independensi dari atasan dan rekan kerja) dan collective independence (misalnya adanya partisipai pengadilan dalam administrasi pengadilan, termasuk dalam penentuan budget pengadilan).[22]
Erhard Blankenburg mengatakan bahwa independensi peradilan dapat diuji melalui dua hal, yaitu ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik (political insularity).[23] Imparsialitas terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara. Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan jika hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang berperkara. Karenanya, hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika ia melihat ada potensi imparsialitas[24] Sementara itu, pemutusan relasi dengan dunia politik penting bagi seorang hakim agar ia tidak menjadi alat untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik.[25]
Namun, independensi tidak tepat dijadikan sebagai alasan untuk menghindari pengawasan terhadap hakim. Kalau digunakan teori Shimon Shetreet, barangkali, independensi hakim yang tidak dapat disentuh adalah independensi dalam memutus perkara (substantive independence). Tambah lagi, sebagai sebuah lembaga, hakim dan kekuasaan kehakiman mesti memahami filosofi pengawasan bahwa tidak ada satupun kekuasaan tanpa pengawasan.
Keenam, makna bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kemudian, Pasal 56 Ayat (3) UU MK menyatakan, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pertanyaannya: apakah yang dimaksudkan dengan bertentangan dengan UUD?
Pertanyaan tersebut begitu penting untuk dikaji dan dijelaskan secara tepat karena beberapa pasal-pasal dalam undang-undang (termasuk UU KY) yang lebih bersifat menjelaskan atau mengelaborasi lebih jauh pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945 dinyatakan bertentangan dengan UUD oleh MK. Misalanya, dalam halaman 194 Putusan No 006/PUU-IV/2006 secara eksplisit dinyatakan bahwa Pasal 20, 21, 22, 23, sepanjang mengenai pengawasan, Pasal 24 ayat (1) sepanjang yang menyangkut hakim konstitusi, dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) UUKY serta Pasal 34 ayat (3) UUKK bertentangan dengan Pasal 24, Pasal 24A, dan Pasal 24B UUD 1945.
Implikasi Putusan MK
Terlepas dari berbagai catatan di atas, masalah lain yang perlu dikaji lebih lanjut yaitu implikasi Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 terhadap reformasi kekuasaan kekuasaan kehakiman. Setidaknya, ada tiga implikasi yang perlu dicatatan khusus.
Pertama[26], judicial corruption. Salah satu kekawatiran banyak kalangan yang concern terhadap dunia peradilan adalah Putusan MK tersebut akan semakin menyuburkan praktik korupsi dalam proses peradilan (judicial corruption). Dalam bahasa Denny Indrayana, Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 akan menumbuh-kembangkan praktik mafia peradilan.[27] Bahkan, muncul juga penilaian bahwa hakim konstitusi tidak jauh berbeda dengan hakim lain (hakim konstitusi juga hakim).[28]
Sudah menjadi rahasia umum, dalam penyelesaian sebuah perkara, permainan uang dapat dikatakan terjadi dari hulu sampai ke hilir. Tegasnya, jual-beli hukum sudah mulai terjadi sejak dari proses penyelidikan sampai ke tahap pelaksanaan putusan hakim. Misalnya, dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, permainan uang sering mengalahkan logika dan rasa keadilan masyarakat. Banyak kasus yang sudah seharusnya dilimpahkan ke pengadilan, tetapi karena ada permainan uang, kasus tersebut dihentikan penyidikannya. Alasan yang sering dikemukakan, tidak terdapat cukup bukti untuk melimpahkan perkara ke pengadilan. Padahal, dalam proses-proses awal, penyidik sudah menahan tersangka. Logikanya, kalau dilakukan penahanan, penyidik sudah punya keyakinan kuat bahwa tersangka memang melakukan tindak pidana.
Dalam pengungkapan kasus korupsi, logika-logika hukum bisa jungkir-balik karena adanya faktor uang yang mengiringi perjalanan sebuah kasus. Sudah menjadi rahasia umum, penanganan kasus korupsi justru membuka ruang terjadinya praktik korupsi baru. Laporan masyarakat atas indikasi korupsi tidak jarang digunakan sebagai lahan untuk melakukan pemerasan. Penyidik yang biasanya sangat galak di tahap-tahap awal terkuaknya sebuah kasus, tiba-tiba merasa kekurangan bukti untuk meneruskan kasus ke meja hijau. Kegalakan itu bisa dimengerti karena penyidik menunggu ‘setoran’ terlebih dulu sebelum mempertimbangakn melanjutkan atau tidak melanjutkan sebuah kasus. Terkait dengan soal ini menarik menyimak pandangan Prof Machfud MD (2005), orang-orang yang terindikasi melakukan korupsi sering dijadikan sebagai automated teller machine (ATM) bagi aparat penegak hukum.
Kasus yang sampai ke pengadilan, pola permainan uang bisa jauh lebih rumit. Kerumitan muncul karena pihak yang terkait dengan penanganan perkara di pengadilan lebih banyak dibandingkan dengan di tingkat penyidikan seperti pengacara, jaksa, panitera dan hakim. Bagi pengacara yang punya kontak langsung dengan hakim, persoalan bisa menjadi lebih mudah karena pengacara bisa merundingkan vonis yang akan dijatuhkan tanpa perlu menghiraukan tututan jaksa. Beberapa kasus membuktikan, sekalipun jaksa menuntut maksimal, hakim dapat saja membebaskan terdakwa.
Berbeda halnya dengan pengacara yang tidak mempunyai kontak langsung dengan hakim, diperlukan pihak ketiga untuk menghubungi hakim. Biasanya, peran pihak ketiga lebih praktis dan aman dilakukan oleh panitera. Inisiatif mempertemukan atau menyambungkan komunikasi antara hakim dan pengacara bisa datang dari hakim sendiri, bisa pula dari pengacara terdakwa, namun tidak tertutup kemungkinkan berasal dari penitera sendiri. Dari penjelasan itu, panitera bisa memainkan peran penting dalam proses suap-menyuap di pengadilan.
Tidak hanya itu, peran panitera dalam suatu perkara begitu luar biasanya sampai menyebabkan para pengacara tidak perlu bekerja susah-susah. Misalnya, dari informasi mereka yang biasa berpraktik di pengadilan atau para pemantau peradilan, panitera kerap membuatkan jawaban-jawaban untuk proses persidangan bagi para pengacara. Dengan mengerti betul isi kepala hakim –dalam banyak kasus paniteralah sebenarnya yang mengerjakan draf pertimbangan hukum putusan-- sangat mudah bagi panitera untuk menyusun suatu jawaban yang dapat diterima oleh logika hakim. Dalam posisi demikian, bagi pengacara, “memegang” panitera tidak hanya bisa memegang seorang hakim tetapi juga bisa memegang seluruh hakim yang menangani perkara.
Kedua, kekosongan hukum (di tingkat undang-undang) mengenai pelaksanaan fungsi pengawasan KY. Implikasi lain dari Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 munculnya kekosongan hukum mengenai pelaksanaan pengawasan hakim oleh KY. Dengan kejadian ini, pengawasan hakim kembali mengandalkan pengawasan internal. Padahal, selama ini, pengawasan internal dianggap tidak optimal dalam mengawasi praktik menyimpang hakim. Pada halaman 201 Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 dinyatakan:
Untuk mengatasi akibat kekosongan hukum yang terlalu lama berkaitan dengan tugas KY, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai pengawasan perilaku hakim, UUKY segera harus disempurnakan melalui proses perubahan undang-undang sebagaimana mestinya. Keinginan untuk mengadakan perubahan undang-undang ini telah pula dikemukakan berkali-kali secara terbuka baik oleh MA maupun oleh KY sendiri. Karena itu, Mahkamah Konstitusi juga merekomendasikan kepada DPR dan Presiden untuk segera mengambil langkah-langkah penyempurnaan UUKY. Bahkan, DPR dan Presiden dianjurkan pula untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas UUKK, UUMA, UUMK, dan undang-undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu. Tugas legislasi ini adalah tugas DPR bersama dengan pemerintah. MA, KY, dan juga MK merupakan lembaga pelaksana undang-undang, sehingga oleh karenanya harus menyerahkan segala urusan legislasi itu kepada pembentuk undang-undang. Bahwa MA, KY, dan juga MK dapat diikutsertakan dalam proses pembuatan sesuatu undang-undang yang akan mengatur dirinya, tentu saja merupakan sesuatu yang logis dan tepat. Akan tetapi, bukanlah tugas konstitusional MA, KY, dan juga MK untuk mengambil prakarsa yang bersifat terbuka untuk mengadakan perubahan undang-undang seperti dimaksud. Setiap lembaga negara sudah seharusnya membatasi dirinya masing-masing untuk tidak mengerjakan pekerjaan yang bukan menjadi tugas pokoknya, kecuali apabila hal itu dimaksudkan hanya sebagai pendukung.
Pada salah satu sisi, gagasan untuk menyusun dan menata kembali model pengawasan hakim dengan melakukan sinkronisasi semua peraturan perundang-undangan yang berada di ranah kekuasaan kehakiman memang diperlukan. Namun, di sisi lain, gagasan ini seolah-olah menempatkan MK sebagai legislator.[29] Tidak hanya itu, berdasarkan pengalaman penggunaan fungsi legislasi DPR selama ini, perubahan undang-undang akan memerlukan waktu yang cukup lama. Apalagi, kalau paket itu terdiri dari delapan undang-undang.
Ketiga, menguatnya krisis kepercayaan kepada MK. Dampak lain, timbulnya krisis kepercayaan publik kepada MK. Banyak kalangan menilai, dalam beberapa waktu terakhir, mulai kelihatan putusan semakin menjauhi gagasan pembaruan hukum. Salah satu putusan MK yang mendapat sorotan tajam adalah pernyataan tidak punya kekuatan mengikat sebagian penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam bahasa yang agak sinis, Teten Masduki mengatakan bahwa mulai terlihat kecenderungan MK “membunuh anak-anak reformasi”.
Keempat, menguatnya wacana untuk meninjau ulang kewenangan MK. Wacana ini dikembangkan oleh sebagian anggota DPR. Berdasarkan hasil penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (2005), banyak catatan atau ketidaksukaan yang nyata dari anggota DPR. Argumentasi yang dikembangkan sebagian anggota DPR tersebut: “bagaimana mungkin putusan sembilan orang bisa mengalahkan produk 550 orang?”[30] Meski hampir tidak mungkin mengurangi kewenangan MK di tingkat undang-undang, menguatnya wacana ini di kalangan legislator harus tetap dijadikan catatan tersendiri. Bagaimanapun, kalau ini terjadi, negeri ini akan kehilangan arti kehadiran MK sebagai the guardian of the constitution.
Catatan Penutup: Masa Depan KY
Pertanyaan mendasar yang sering dikemukan paska Putusan MK No 005/PUU-IV/2006, bagaimanakah masa depan KY? Pertanyaan ini wajar muncul karena berdasarkan Pasal Pasal 24C Ayat (1) menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
Sekalipun Mahkamah Konstitusi mengabulkan hampir semua permohonan yang diajukan oleh 31 orang Hakim Agung, KY tetap mempunyai basis konstitusional untuk berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Yang perlu dicatat, Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 tidak menghilangkan kewenangan KY untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Putusan tersebut hanya menyatakan tidak punya kekuatan mengikat pasal-pasal pengawasan yang terdapat dalam UU No 22/2004.
Dalam melaksanakan kewenangan pengawasan, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 Ayat (1) Komisi Yudisial masih dapat: (a) menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim; (b) meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim; (c) melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim; dan (d) memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim. Namun paska putusan MK, semua pelaksanaan kewenangan pengawasan tidak lagi dapat berujung pada penjatuhan sanksi berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian hakim yang melakukan misconduct.
Namun, tentunya kerja KY dengan senjata yang cukup terbatas tidak akan sia-sia belaka. Sebab, semua kerja KY diatas dapat berujung kepada sanksi moral kepada hakim yang bersangkutan kelak. Sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UU No 22/2004, sanksi moral ini apat dibingkai dalam bentuk laporan tahunan yang disampaikan kepada DPR sebagai bentuk pertangungjawaban KY kepada publik. Laporan ini sifatnya terbuka dan memberi akses informasi lengkap dan akurat dengan salah satu fokus laporannya adalah data yang berkaitan dengan fungsi pengawasan terhadap penyimpangan perilaku hakim dalam menangani perkara.[31]
Kepustakaan
Buku
A Muhammad Asrun, (2004), Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, ELSAM, Jakarta.
Denny Indrayana, Saldi Isra dll, (2005), Kepala Daerah Pilihan Hakim: Membongkar Kontroversi Pilkada Depok, Harakatuna Publishing, Bandung.
John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, (1994), Modern Constitutional Theory, West Publishing Co.
Mahkamah Agung RI, (2003), Cetak Biru Mahkamah Agung RI.
Shimon Shetreet, (1995), Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes (eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe, Netherlands. 1985).
Jurnal dan Artikel Ilmiah
Artidjo Alkostar, (2005), Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta.
Denny Indrayana, (2006), Mahkamah Mafia Peradilan, dalam Kompas, Jakarta
Saldi Isra, (2005), Penangkapan Pengacara Puteh, dalam Kompas, Jakarta.
Saldi Isra, (2006), Hakim Konstitusi Juga Hakim, dalam Kompas, Jakarta.
Makalah
A. Irmanputra Sidin, (2006), KY vs. Mafia, ”Pendekar Tanggung atau Tangguh?’, makalah disampaikan dalam Diskusi Publik “Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006: Lonceng Kematian Gerakan Antikorupsi?, diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 28 September.
Bivitri Susanti, (2006), Hakim atau Legislator: Menyoal Putusan MK tentang Undang-Undang Komisi Yudisial, makalah disampaikan dalam Diskusi Publik “Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006: Lonceng Kematian Gerakan Antikorupsi?, diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 28 September.
Rifqi S. Assegaf, (2006), Putusan Mahkamah Konstitusi atas Hak Uji Materiil UU KY: Momentum Penguatan Gerakan Anti ”Mafia Peradilan”, makalah disampaikan dalam Diskusi Publik “Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006: Lonceng Kematian Gerakan Antikorupsi?, diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 28 September.
Saldi Isra, (2006), Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006: Beberapa Catatan dan Implikasinya terhadap Reformasi Peradilan, makalah disampaikan dalam Diskusi Publik “Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006: Lonceng Kematian Gerakan Antikorupsi?, diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 28 September 2006.
Zainal Arifin Mochtar, (2006), Hikayat ’Lupa’ di Putusan MK, makalah disampaikan dalam Diskusi Publik “Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006: Lonceng Kematian Gerakan Antikorupsi?, diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 28 September.
Dokumen
Hasil Eksaminiasi Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 Pengujian Undang-Undang No 22 Tahun 2004 tentang KY dan UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Putusan MK No 005/PUU-IV/2006 perihal Pengujian Undang-Undang No 22 Tahun 2004 tentang KY dan UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
[1] Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas.
[2] Baca, misalnya berita utama Kompas 12 Agustus 2002.
[3] Beragam pandangan tentang kisruh sengketa hasil pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok dapat dibaca dalam Denny Indrayana, Saldi Isra dll, (2005), Kepala Daerah Pilihan Hakim: Membongkar Kontroversi Pilkada Depok, Harakatuna Publishing, Bandung.
[4] Kompas 08/09-2005.
[5] Dalam kasus ini, salah seorang anggota KY, Irawadi Joenoes menyatakan: ”Kita akan segera memanggil hakimnya dan saya sudah meminta berkas perkaranya. Kita sangat menyesalkan perkara ini bebas” (Sinar Harapan, 29/10-2005).
[6] Dalam kasus ini, Irawadi Joenoes, menyatakan bahwa Hakim telah bertindak tidak profesional karena memvonis kurang dari ketentuan minimum yang terdapat dalam undang-undang (Republika, 02/12-2005).
[7] Lihat Putusan MK No 005/PUU-IV/2006, hal. 187-188.
[8] Pasal 23 ayat (1) huruf a menyatakan, sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, usul penjatuhan sanksi terhadap hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dapat berupa teguran tertulis.
[9] Pasal 23 ayat (1) huruf a dan b menyatakan, sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, usul penjatuhan sanksi terhadap hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dapat berupa (b) pemberhentian sementara, dan (c) pemberhentian.
[10] Ide dasar bagian ini berasal dari Saldi Isra, (2006), Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006: Beberapa Catatan dan Implikasinya terhadap Reformasi Peradilan, makalah disampaikan dalam Diskusi Publik “Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006: Lonceng Kematian Gerakan Antikorupsi?, diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 28 September 2006.
[11] Kelaziman ini dijelaskan dengan panjang lebar oleh Bapak Sahlan Said, mantan hakim yang menjadi salah seorang eksaminator dalam Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 26-27 September 2006.
[12] Rifqi S. Assegaf, (2006), Putusan Mahkamah Konstitusi atas Hak Uji Materiil UU KY: Momentum Penguatan Gerakan Anti ”Mafia Peradilan”, makalah disampaikan dalam Diskusi Publik “Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006: Lonceng Kematian Gerakan Antikorupsi?, diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 28 September 2006, hal. 5.
[13] Ibid., hal. 6
[14] Ibid.
[15] Lihat hasil Eksaminasi Putusan No 006/PUU-IV/2006 yang diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 26-27 September 2006, hal. 5.
[16] Zainal Arifin Mochtar, (2006), Hikayat ’Lupa’ di Putusan MK, makalah disampaikan dalam Diskusi Publik “Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006: Lonceng Kematian Gerakan Antikorupsi?, diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 28 September 2006, hal. 4.
[17] Bivitri Susanti, (2006), Hakim atau Legislator: Menyoal Putusan MK tentang Undang-Undang Komisi Yudisial, , makalah disampaikan dalam Diskusi Publik “Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006: Lonceng Kematian Gerakan Antikorupsi?, diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 28 September 2006, hal. 2.
[18] John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, (1994), Modern Constitutional Theory, West Publishing Co, hal. 296-297.
[19] Zainal Arifin Mochtar, (2006), Hikayat ’Lupa’…, hal. 4.
[20] Bandingkan dengan Mahkamah Agung RI, (2003), Cetak Biru Mahkamah Agung RI, hal 7.
[21] Artidjo Alkostar, (2005), Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta.
[22] Shimon Shetreet, (1995), Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes (eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe, Netherlands. 1985). Dikutip dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, (2003), Mahkamah Agung Republik Indonesia.
[23] A. Muhammad Asrun, (2004), Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Elsam, Jakarta.
[24] Ibid.
Pendapat ini dapat juga menjadi argumentasi lain bahwa hakim tidak boleh menyimpangi asas nemo judex idoneus in propria causa
[25] Ibid.
[26] Penjelasan bagian ini berasal dari Saldi Isra, (2005), Penangkapan Pengacara Puteh, dalam Kompas, Jakarta, hal. 6.
[27] Denny Indrayana, (2006), Mahkamah Mafia Peradilan, dalam Kompas, Jakarta, hal.6.
[28] Saldi Isra, (2006), Hakim Konstitusi Juga Hakim, dalam Kompas, Jakarta, hal.6.
[29] Penjelasan lebih lanjut mengenai isu ini dapat dibaca dalam Bivitri Susanti, (2006), Hakim atau Legislator: Menyoal...
[30] Bivitri Susanti, (2006), Hakim atau Legislator: Menyoal..., hal. 5.
[31] Bandingkan dengan A. Irmanputra Sidin, (2006), KY vs. Mafia, ”Pendekar Tanggung atau Tangguh?’, makalah disampaikan dalam Diskusi Publik “Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006: Lonceng Kematian Gerakan Antikorupsi?, diadakan oleh Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Indonesian Court Monitoring, di Universitas Gadjah Mada, 28 September.