MENUJU BIKAMERAL EFEKTIF

DALAM RANGKA

MEMPERKUAT FUNGSI LEGISLASI DPD[1]

Oleh Saldi Isra dan Zainal Arifin Mochtar

A. Pendahuluan

Tidak sedikit harapan terhadap Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ketika keberadaan lembaga ini pertama kali diwacanakan dalam proses perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 generasi pertama (1999-2002). Harapan agar adanya mekanisme checks and balances antarlembaga-lembaga negara yang lebih efektif ketimbang pada masa Orde Baru, adalah salah satu pendorong paling kuat untuk lahirnya pemikiran mengenai bikameralisme yang melahirkan DPD.[2]

Sayang, sejak disepakatinya kehadiran DPD, sudah dapat diduga bahwa ”kamar kedua” dalam lembaga perwakilan rakyat ini tidak akan punya peran signifikan. Jika dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dugaan itu terkait dengan terbatasnya kewenangan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebagai lembaga legislatif, misalnya, DPD hanya dapat mengajukan dan ikut membahas rancangan undang-undang (RUU) tentang otonomi daerah; hubungan pusat-daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lain; serta perimbangan keuangan pusat-daerah.

Dengan kewenangan yang begitu terbatas, DPD tidak dapat mempunyai fungsi legislasi. Bagaimanapun, dalam teori perundang-undangan, fungsi legislasi harus dilihat secara utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai menyetujui sebuah RUU menjadi undang-undang. Ketimpangan fungsi legislasi menjadi semakin nyata dengan adanya Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR. Tidak hanya itu, Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menentukan bahwa fungsi legislasi hanya dimiliki oleh DPR.

Sebetulnya, berkaca pada praktik sejumlah negara, ketimpangan fungsi legislasi antar-kamar dalam lembaga perwakilan bukan sesuatu yang baru. Namun, ketimpangan itu selalu diupayakan dengan memberikan ”kompensasi” kepada kamar lain yang lebih lemah. Sebagaimana dikemukakan Kevin Evans, jika majelis tinggi (upper house) tidak mempunyai fungsi legislasi secara utuh, maka majelis tinggi berhak untuk mengubah, mempertimbangkan, atau menolak RUU dari majelis rendah (lower house). Sekiranya hak itu juga tidak ada, upper house diberi hak menunda pengesahan RUU yang disetujui lower house.[3] Hak menunda pengesahan itu, tambah Kevin Evans, sering menjadi satu-satunya kekuatan jika upper house tidak mempunyai hak mengubah dan menolak sebuah RUU.[4]

Terkait dengan hal di atas, pengalaman sistem bikameral Inggris, sekalipun House of Commons (sebagai lower house) jauh lebih dominan dalam fungsi legislasi dibandingkan House of Lords (sebagai upper house), semua RUU harus melewati kedua kamar yang ada sebelum ditandatangai menjadi undang-undang (all Bills go through both Houses before becoming Acts) oleh Ratu Inggris. Dalam hal penundaan, House of Lord tidak dibenarkan menunda lebih dari dua sesi persidangan parlemen atau lebih dari satu tahun (bills cannot be delayed by the House of Lords for more than two parliamentary sessions, or one calendar year).[5]

Sebagian kalangan bisa saja menolak membandingkan antara sistem lembaga perwakilan rakyat di Inggris dengan di Indonesia. Namun kalau disigi dari proses menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat, menjadi anggota DPD jauh lebih sulit dibandingkan dengan menjadi anggota House of Lords. Sesuai dengan persyaratan yang ada, untuk mengajukan diri sebagai calon anggota DPD, seorang bakal calon harus memperoleh total dukungan sekurang-kurangnya 1.000 sampai 5000 tanda tangan pemilih. Sementara di Inggris, menjadi anggota House of Lord tidak sesulit dan serumit menjadi anggota DPD.

Membaca kewenangan yang ada dan sulitnya menjadi anggota DPD, Stephen Sherlock memberikan penilaian yang amat menarik. Menurut peneliti dari Australian National University ini, DPD merupakan contoh yang tidak lazim dalam praktik lembaga perwakilan rakyat dengan sistem bikameral karena merupakan kombinasi dari lembaga dengan kewenangan yang amat terbatas dan legitimasi tinggi (represents the odd combination of limited powers and high legitimacy).[6] Kombinasi ini, tambah Sherlock, tidak ditemukan dalam praktik lembaga perwakilan rakyat manapun di dunia.[7]

Efektifitas Sistem Bikameral

Sistem bikameral dalam lembaga perwakilan rakyat efektifitasnya ditentukan oleh perimbangan kewenangan antar-kamar dalam pelaksanaan fungsi parlemen seperti fungsi legislasi, anggaran, kontrol, representasi, dan rekrutmen politik. Dari semua fungsi tersebut, perimbangan dalam fungsi legislasi menjadi faktor utama dalam mekanisme lembaga perwakilan rakyat. Bagaimanapun, dengan perimbangan itu, terutama dalam sistem dua kamar, dimaksudkan untuk melaksanakan mekanisme checks and balances antar-kamar di lembaga perwakilan rakyat.

Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, dengan adanya dua majelis di suatu negara dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check). Keunggulan sistem double check ini semakin terasa apabila Majelis Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan itu memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dari Majelis Rendah.[8] Bahkan menurut Soewoto Mulyosudarmo, sistem bikameral bukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu negara, tetapi dilihat pula dari proses pembuatan undang-undang yang melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui Majelis Tinggi dan Majelis Rendah.[9] Bahkan, dari segi produktifitas, kemungkinan sistem dua kamar (yang efektif) akan lebih produktif karena segala tugas dan wewenang dapat dilakukan oleh kedua kamar tanpa menunggu atau tergantung pada salah satu kamar saja.[10]

Dalam Congress Amerika Serikat, misalnya, DPR dan Senat punya kesempatan untuk mengecek semua rancangan undang-undang sebelum disampaikan kepada presiden (lihat gambar). Dengan demikian, dalam fungsi legislasi, Senat punya kewenangan yang relatif simbang dengan DPR. Tidak hanya di Amerika Serikat, dalam praktik sistem dua kamar Inggris, House of Lord punya peran yang relatif berimbang dengan House of Commons. Hal ini dapat dibaca dalam “The Work of the House of Lords: Its Roles, Functions, and Powers” yang menyatakan:

“as a second chamber, House of Lords plays an important part in revising legislation and keeping a check on government by scrutinizing its activities. In legislation, the functions of the House of Lords are similar to those of the House of Commons which are that of debating and questioning the executive. All Bills go through both Houses before becoming Acts, and may start in either House. Normally, the consent of the Lords is required before Acts of Parliament can be passed, and the Lords can amend all legislation, with the exception of Bills to raise taxation, long seen as the responsibility of the Commons. Amendments have to be agreed to by both Houses. The House of Lords is as active as the Commons in amending Bills, and spends two-thirds of its time revising legislation.[11]

scan0003

Sumber: Gina Misiroglu, (2003), The Handy Politics Answer Book, Visible Ink Press, Detroit.

Di Indonesia, hubungan antar-kamar dalam lembaga perwakilan rakyat tidak mungkin menciptakan dua kamar yang efektif (lihat tabel). Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan pengawasan. Karena fungsi tersebut tidak diberikan kepada DPR, Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 tetapi memunculkan superioritas fungsi legislasi DPR terhadap DPD. Karenanya, banyak pendapat mengatakan kehadiran Pasal 20A Ayat (1) memberi garis demarkasi yang sangat tegas bahwa kekuasaan membuat undang-undang hanya menjadi monopoli DPR.[12] Padahal, dalam lembaga perwakilan rakyat bikameral, kalau tidak berhak mengajukan rancangan undang-undang, Majelis Tinggi berhak untuk mengubah, mempertimbangkan, atau menolak (veto) rancangan undang-undang dari Majelis rendah. Sekiranya hak itu juga tidak ada, Majelis Tinggi diberi hak menunda pengesahan undang-undang yang disetujui Majelis Rendah. Hak menunda pengesahan sering menjadi satu-satunya kekuatan jika Majelis Tinggi jika tidak mempunyai hak mengubah dan menolak rancangan undang-undang.[13]

Titik Lemah Aturan Mengenai DPD

(Dengan Asumsi Bikameral Yang Efektif)[14]

 

No.

Aturan

Kelemahan

Di dalam Undang Undang Dasar

1.

Pasal 20 ayat (1)

Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

Seharusnya kekuasaan membentuk undang-undang juga ada pada DPD, meskipun nantinya bisa dibatasi pada hal-hal tertentu.

2.

Pasal 20 ayat (2)

Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Inti kekuasaan legislatif ada pada tahap pembahasan, sehingga bila DPD didesain untuk mempunyai kekuasaan legislatif yang efektif, pasal ini juga harus diubah, agar setiap RUU tidak hanya dibahas oleh DPR dan Presiden, tetapi juga DPD.

3.

Pasal 22D ayat (1)

Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Kata “dapat” membuat DPD tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang efektif. DPD tidak menjadi salah satu institusi yang mengajukan RUU.

Pasal ini ditafsirkan (di dalam UU Susduk dan UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan), hanya DPR dan pemerintah yang bisa mengajukan RUU. Maka RUU yang disusun oleh DPD disampaikan kepada DPR dan bila DPR menerimanya, maka RUU tersebut pun dianggap diajukan oleh DPR (karena DPD bukan pihak yang bisa mengajukan RUU untuk dibahas) .

4.

Pasal 22D ayat (2)

Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Kata “ikut” membahas RUU membuat DPD tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang efektif.

Pasal ini ditafsirkan (di dalam UU Susduk, UU 10/2004, dan Tata Tertib DPR), DPD bisa saja diundang oleh DPR pada awal pembahasan. Namun DPD tidak dapat ikut serta dalam rapat-rapat berikutnya, terutama yang berkaitan dengan pengambilan keputusan.

5.

Pasal 22D ayat (3)

Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Kata “dapat” membuat DPD tidak mempunyai kekuasaan yang efektif dalam hal pengawasan atas pelaksanaan undang-undang.

Pasal ini ditafsirkan sedemikian rupa sehingga masukan dari DPD dalam hal fungsi pengawasan juga tidak diterjemahkan ke dalam mekanisme yang jelas yang membuat masukan tersebut efektif.

6.

Pasal 23 ayat (2)

Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.

Frase “dengan memperhatikan pertimbangan DPD” membuat DPD tidak mempunyai kekuasaan yang efektif dalam hal fungsi anggaran.

7.

Pasal 23 ayat (3)

Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.

DPD tidak dimasukkan di dalam ketentuan ini sehingga fungsi anggaran DPD semakin tidak efektif karena masukan DPD semakin tidak didengar.

8.

Pasal 23F ayat (1)

Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilar Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.

Seharusnya pertimbangan DPD menjadi elemen utama, bukan hanya diperhatikan oleh DPR. Ketentuan ini berkontribusi kepada tidak efektifnya wewenang DPD dalam hal fungsi anggaran dan pengawasan.

Di Dalam UU N0. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD

9.

Pasal 41

DPD mempunyai fungsi:

a. pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu;

b. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.

DPD dianggap hanya “ikut” dalam pembahasan (tidak “membahas” dalam arti turut memutuskan).

10.

Pasal 42 ayat (1)

DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Kata “dapat” membuat DPD tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang efektif. DPD tidak menjadi salah satu institusi yang mengajukan RUU.

Ayat selanjutnya dalam pasal ini membuat wewenang DPD semakin kecil.

11.

Pasal 42 ayat (2)

DPD mengusulkan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada DPR dan DPR mengundang DPD untuk membahas sesuai tata tertib DPR.

Ketentuan ini memberikan kekuasaan penuh kepada DPR untuk menentukan kapan DPD bisa diundang dan menentukan lebih jauh relasi antara DPR dan DPD di dalam peraturan internal DPR.

12.

Pasal 42 ayat (3)

Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sebelum DPR membahas rancangan undang-undang dimaksud pada ayat (1) dengan pemerintah.

Ketentuan ini semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi DPD karena DPD hanya dapat diundang sebelum pembahasan RUU yang sesungguhnya dimulai.

13.

Pasal 43 ayat (1)

DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah.

Kata “ikut” membahas RUU membuat DPD tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang efektif.

14.

Pasal 43 ayat (2)

DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai Peraturan Tata Tertib DPR.

Ketentuan ini semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi DPD karena DPD hanya dapat diundang sebelum pembahasan RUU yang sesungguhnya dimulai. Ketentuan ini juga memberikan kekuasaan penuh kepada DPR untuk menentukan lebih jauh relasi antara DPR dan DPD dengan memuatnya di dalam peraturan internal DPR.

15.

Pasal 43 ayat (3)

Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan bersama antara DPR, DPD, dan pemerintah dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat DPD atas rancangan undang-undang, serta tanggapan atas pandangan dan pendapat dari masing-masing lembaga.

Ketentuan ini merupakan elaborasi lebih jauh dari ayat sebelumnya (di atas) sehingga semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi DPD.

16.

Pasal 43 ayat (4)

Pandangan, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan sebagai masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara DPR dan pemerintah.

Ketentuan ini merupakan elaborasi lebih jauh dari ayat sebelumnya (di atas) sehingga semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi DPD.

17.

Pasal 44 ayat (1)

DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Ketentuan ini semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi dan fungsi anggaran DPD karena DPD hanya dapat memberi pertimbangan.

18.

Pasal 44 ayat (2)

Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk tertulis sebelum memasuki tahapan pembahasan antara DPR dan pemerintah.

Ketentuan ini merupakan elaborasi lebih jauh dari ayat sebelumnya (di atas) sehingga semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi dan fungsi anggaran DPD. Sebab DPD hanya memberikan pertimbangan sebelum pembahasan RUU yang sesungguhnya dimulai.

19.

Pasal 44 ayat (3)

Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi bahan bagi DPR dalam melakukan pembahasan dengan pemerintah.

Ketentuan ini menguatkan lagi bahwa pertimbangan itu hanya “bahan” bagi DPR sehingga semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi dan fungsi anggaran DPD.

20.

Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2)

(1) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan.

(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis sebelum pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan.

Seharusnya pertimbangan DPD menjadi elemen utama, bukan hanya diperhatikan oleh DPR dan disampaikan sebelum pemilihan anggota BPK yang sesungguhnya dimulai. Ketentuan ini berkontribusi kepada tidak efektifnya wewenang DPD dalam hal fungsi anggaran dan pengawasan.

21.

Pasal 46 ayat (1)

DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.

Kata “dapat” membuat DPD tidak mempunyai kekuasaan yang efektif dalam hal pengawasan atas pelaksanaan undang-undang.

22.

Pasal 46 (3)

Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Ketentuan ini merupakan elaborasi lebih lanjut dari Pasal 46 ayat (1) di atas yang menguatkan interpretasi bahwa hasil pengawasan DPD hanya merupakan bahan pertimbangan bagi DPR. Akibatnya, fungsi pengawasan DPD tidak efektif.

 

Dalam kaitannya dengan posisi DPD, menurut ketentuan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 hasil Perubahan Pertama oleh MPR tahun 1999, DPR adalah lembaga yang berwenang membentuk undang-undang, sedangkan DPD sebagaimana ditentukan pengaturannya dalam Bab VIIA UUD 1945 hasil Perubahan Ketiga tahun 2001 hanya memiliki kewenangan terbatas untuk memberikan pertimbangan mengajukan usul saran kepada PDR, dan mengawasi pelaksanaan UU tertentu.

Peran sebagai ko-pembahas dilakukan oleh DPD dalam sidang DPR bersama pemerintah yang didahului oleh pembahasan dalam sidang DPD sendiri. Seperti ditegaskan dalam Pasal 20 Ayat (2), “setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk....”. Artinya, DPR dan Presiden bersama-sama membahas disahkan menjadi undang-undang. Sedangkan DPD, dalam Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 ditegaskan: “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah....”.

Melihat pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur DPD, lembaga ini tidak memiliki wewenang membentuk undang-undang bersama-sama dengan DPR dan Presiden. Wewenang DPD terbatas dan sempit, karena DPD hanya untuk memberi pertimbangan. Seolah-olah DPD hanya berposisi sebagai Dewan Pertimbangan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Tidak terbantahkan, UUD 1945 secara eksplisit telah memangkas penggunaan fungsi legislasi oleh DPD. Pasal 20 ayat (1) dan 20 A ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa kekuasaan membuat undang-undang (legislasi) hanya dimiliki oleh DPR.

Begitu juga ketentuan yang sama dijabarkan lebih lanjut dalam undang-undang turunannya, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU No 22/2003). Karenanya harus diakui perubahan UUD 1945 amat membatasi kewenangan DPD, begitu juga dalam UU No 22/2003. Baik dalam Pasal 22D Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 maupun Pasal 42 dan 43 UU No 22/2003 menunjukkan betapa terbatasnya wewenang DPD. DPD hanya ikut membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah dan dapat memberi pertimbangan kepada DPR saat DPR melaksanakan kewenangannya. Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa sistem bikameral yang dituangkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai dengan prinsip bikameral yang umum dalam teori-teori ketatanegaraan, yaitu fungsi parlemen yang dijalankan oleh dua kamar secara berimbang (balance) dalam proses legislasi maupun pengawasan.

Memperkuat Fungsi Legislasi DPD

Berdasarkan penjelesan di atas, guna membangun prinsip checks and balances dalam lembaga perwakilan rakyat Indonesia harus ada perubahan radikal terhadap fungsi legislasi yaitu dengan tidak lagi membatasi DPD seperti saat ini. Kalau ini dilakukan, gagasan menciptakan kamar kedua di lembaga perwakilan rakyat guna mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan dapat diwujudkan. Bagaimanapun, dengan pola legislasi sekarang, DPD tidak mungkin mampu mengartikulasikan kepentingan politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional terutama dalam membuat undang-undang yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.

Sekiranya dikaitkan dengan sistem pemerintahan presidensial[15], penataan fungsi legislasi amat diperlukan karena presiden begitu dominan dalam proses legislasi. Dalam sistem presidensial:

The president has no formal relationship with the legislature. He is not a voting member, nor can he introduce bills (with the exception of Puerto Rico, where he can introduce a bill). However, in systems such as that of the United States, the President has the power to veto acts of the legislature, and in turn a supermajority of legislators may act to override the veto.[16]

Dari hasil telaah sejumlah konstitusi dengan sistem pemerintahan presidensial, (baik dengan sistem satu kamar maupun dengan sistem dua kamar di negara kesatuan maupun federal) membuktikan bahwa presiden masih dapat mengajukan rancangan undang-undang, namun keikusertaan presiden dalam pembahasan rancangan undang dengan lembaga perwakilan rakyat (parlemen) tidak seperti di Indonesia. Pada semua negara, persetujuan menjadi hak ekskulsif lembaga perwakilan rakyat (lembaga legislatif). Bahkan di Mauritinia, meski inisiasi dapat berasal dari pemerintah dan parlemen, pembahasan (perdebatan) rancangan undang-undang dilakukan oleh pemerintah (Council of Ministers) namun pesetujuan tetap menjadi hak ekslusif parlemen.

Oleh karenanya, untuk menata fungsi legislasi, yang diperlukan tidak hanya terbatas pada penguatan fungsi legislasi DPD tetapi juga dengan membatasi peran atau keterlibatan presiden dalam fungsi legislasi. Kalau memang punya political will yang kuat untuk melakukan purifikasi sistem presidensial, presiden tidak lagi dilibatkan dalam proses pembahasan rancangan undang-undang. Dengan demikian, mekanisme checks and balances dalam pembahasan rancangan undang-undang hanya terjadi antara DPR dan DPD. Sementara itu, untuk membangun checks and balances antara presiden dan lembaga perwakilan rakyat (DPR dan DPD), presiden diberikan hak untuk menolak rancangan undang-undang yang telah disetuji oleh DPR dan/atau DPD.

Secara konstitusional, untuk memperkuat fungsi legislasi DPD hanya dapat dilakukan dengan melanjutkan perubahan terhadap UUD 1945. Itupun dengan catatan, memperkuat fungsi legislasi DPD tidak cukup hanya dengan mengubah Pasal 22D UUD 1945. Kalau hanya terbatas pada Pasal 22D UUD 1945 saja, maka perubahan potensial menimbulkan keganjilan-keganjilan dalam pelaksanaan fungsi legislasi. Bagaimanapun, perubahan atas Pasal 22D UUD 1945 harus diikuti dengan sejumlah prinsip bertikut ini.

1. DPR dan DPD mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang;

2. DPR dan DPD memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan pengawasan;

3. Setiap anggota DPR dan DPD berhak mengajukan rancangan undang-undang;

4. Setiap rancangan undang-undang harus melalui kedua kamar (DPR dan DPD) sebelum diajukan kepada presiden untuk ditandatangani; dan

5. Presiden tidak lagi terlibat dalam pembahasan setiap rancangan undang-undang. Dengan batasan itu, presiden dapat mem-veto setiap rancangan undang yang sudah disetujui DPR dan DPD.

Penutup

Dalam konteks keharusan melanjutkan reformasi konstitusi (continuing constitutional reform), kelemahan-kelemahan yang terdapat di lembaga perwakilan rakyat di atas masih bisa ditambah dengan sejumlah kelemahan lainnya yang terdapat di ranah kekuasaan yudikatif, eksekutif dan lain-lain. Bahkan dari tampilan fisik saja, hasil amandemen muncul dengan pasal-pasal yang sulit dipahami sebagian kalangan yang tidak mengerti legal drafting. Artinya, perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat amat memerlukan perubahan berikutnya (perubahan kelima).

Secara konstutusional, UUD 1945 memberi ruang kelanjutan reformasi konstutusi. Pasal 37 UUD 1945 menentukan, (1) usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR, (2) setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya, (3) untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota MPR, dan (4) putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.

Meski secara hukum ada ruang untuk melanjutkan perubahan UUD 1945, persyaratan kuorum yang ditentukan dalam Pasal 37 UUD 1945 harus dipenuhi. Misalnya untuk mengagendakan perubahan, sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah keseluruhan anggota MPR harus mengusulkan perubahan dimaksud. Berdasarkan persyaratan itu, secara kuantitatif, amandemen kelima baru dapat diagendakan kalau diusulkan oleh sekirang-kurangnya 226 (1/3 dari 678) anggota MPR.

Kemudian untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. Artinya, untuk mengubah pasal-pasal, sidang MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua kali jumlah pengusul, yaitu dua pertiga dari keseluruhan anggota MPR atau sama dengan 452 orang. Setelah kuorum untuk mengubah terpenuhi, jumlah yang diperlukan untuk menyetujui perubahan lebih rendah yaitu “hanya” diperlukan dukungan 340 orang (1/2 dari 678 ditambah 1 orang) dari keseluruhan jumlah anggota MPR.

Berdasarkan peluang yang ada dan ketentuan persyaratan kuorum yang cukup berat, perubahan UUD 1945 untuk menciptakan sistem bikameral yang efektif guna memperkuat fungsi legislasi DPD tidak mungkin dilakukan tanpa dukungan mayoritas kekuatan politik di DPR. Berkaca dari pengalaman DPD beberapa waktu lalu, usulan perubahan UUD 1945 tidak berlanjut ke sidang MPR karena dukungan DPR yang amat minim. Oleh karenanya, ke depan, mayoritas kekuatan politik di DPR seharusnya mendukung kelanjutan perubahan UUD 1945. Hanya dengan cara begitulah ketimpangan mekanisme checks and balances yang ada dapat diperbaiki terutama dalam menata ulang fungsi legislasi antara DPR dan DPD.

Daftar Pustaka

Agus Heryadi, 2002, Bikameral Setengah Hati, dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra dan Marwan Mas (Edit.), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka Sinar Harapan dan Koalisi untuk Konstitusi Baru, Jakarta.

Bagir Manan, 2003, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Press, Yogyakarta.

Bambang Widjojanto, Saldi Isra dan Marwan Mas (Edit.), 2002, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka Sinar Harapan dan Koalisi untuk Konstitusi Baru, Jakarta.

Bivitri Susanti, 2007, “Penguatan Kewenangan DPD dan Pasal-Pasal Lain yang Terkait di Bidang Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan”, disampaikan dalam Pertemuan Ahli Hukum Tata Negara, diselenggarakan oleh Univ. 45, Makassar, 30 Juni.

Denny Indrayana, 2002, Ancaman Tirani DPR, dalam Kompas, 2 September, Jakarta.

Gina Misiroglu, 2003, The Handy Politics Answer Book, Visible Ink Press, Detroit.

Jimly Asshiddiqie, 1996, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Kevin Evans, 2002, Seputar Sistem Bikameral, dalam Bambang Subianto et.al (edit.), Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, CPPS Paramadina dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta.

Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, 2005, Panduan Pemsyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta.

Saldi Isra, 2006, The Role of the Second Chamber in the UK and Indonesia, dalam Jurnal Yustisia, Edisi XVI Nomor 2 Juli Desember.

Saldi Isra, 2004, Lembaga Legislatif Pasca-Amandemen UUD 1945, Sumbangan Tulisan dalam Soewoto Mulyosudarmo, Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, Surabaya;

Saldi Isra dan Zainal Arifin Mochtar, 2007, Konsep Ideal Bikameral Yang Sesuai dengan Keadaan dan Pemerintahan Demokratis di Indonesia, Laporan Penelitian, Parliamentary Reform Inititives and DPD Empowerment Sekretarian Jenderal DPD bekerja sama dengan UNDP.

Soewoto Mulyosudarmo, 2004, Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, Surabaya.

Stephen Sherlock, 2005, Indonesia’s Regional Representative Assembly: Democracy, Representation and the Regions, Centre for Democratic Institutions Research School of Social Sciences, Australian National University.

SALDI ISRA adalah Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas (UNAND), Padang. Menyelasikan SI di Fakultas Hukum Universitas Andalas (1995) dan Master di Institute of Postgraduate Studies and Reserch University of Malaya Kuala Lumpur-Malaysia, (2001). Kini kandidat Doktor Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Selain mengajar, aktif menulis di berbagai jurnal dan koran nasional. Sejauh ini sudah menulis 20-an jurnal dan 300-an artikel di KOMPAS, Media Indonesia, Koran Tempo, Republika, The Jakartapost, Suara Karya, Jurnal Nasional, Majalah Gatra, Adil dll.

Pernah menjadi fellow atas beasiswa Chevening dalam Short Course “What Democracy Means” di The Centre for Studies in Security and Diplomacy University of Birmingham UK, Januari-April 2006. Sebelumnya, peserta Course on “Law and Governance in Developing Countries” di Van Vollenhoven Institute Faculty of Law of Leiden University, September-November 2003 dan Training Course untuk proyek penelitian “The Indonesian-Netherlands Studies of Decentralisation of the Indonesia ‘Rechtsstaat’ (negara hukum, rule of law), and Its Impact on Agraria (INDIRA)”, di Van Vollenhoven Insitute of Leiden University, September-November 2003.

Karena dinilai berprestasi di bidang penelitian dan penlisan, pada September 2007, dianugerahkan Universitas Andalas (UNAND) Award di bidang Penelitian. Selain itu, karena keterlibatan dalam agenda pemberantasan korupsi pernah dianugerahkan Award of Achievement for People Who Make a Difference dari The Gleitsman Foundation, USA (2004) dan Bung Hatta Anti-Corruption Award (2004).

ZAINAL ARIFIN MOCHTAR, lahir di Makassar. Saat ini Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Direktur Advokasi pada Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM. Pendidikan diperolehnya dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Strata 1) dan School of Law pada Northwestern University, Chicago USA (Strata 2) atas beasiswa Fulbright Scholarship. Juga pernah menempuh Strata 2 pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta (tidak selesai). Mengabdi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai Peneliti. Saat ini aktif menulis pada berbagai media cetak lokal dan nasional.



[1] Sebagian dari tulisan ini berasal dari Saldi Isra dan Zainal Arifin Mochtar, 2007, Konsep Ideal Bikameral Yang Sesuai dengan Keadaan dan Pemerintahan Demokratis di Indonesia, Laporan Penelitian, Parliamentary Reform Initiatives and DPD Empowerment Sekretarian Jenderal DPD bekerja sama dengan UNDP.

[2] Baca misalnya: Suara Pembaruan, 3 Juli 2006.

[3] Kevin Evans, 2002, Seputar Sistem Bikameral, dalam Bambang Subianto et.al (edit.), Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, CPPS Paramadina dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta.

[4] Ibid.

[5] Saldi Isra, 2006, The Role of the Second Chamber in the UK and Indonesia, dalam Jurnal Yustisia, Edisi XVI Nomor 2 Juli Desember.

[6] Stephen Sherlock, 2005, Indonesia’s Regional Representative Assembly: Democracy, Representation and the Regions, Centre for Democratic Institutions Research School of Social Sciences, Australian National University.

[7] Ibid.

[8] Jimly Asshiddiqie, 1996, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

[9] Soewoto Mulyosudarmo, 2004, Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, Surabaya.

[10] Bandingkan dengan Bagir Manan, 2003, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Press, Yogyakarta.

[11] Selengkapnya baca Saldi Isra, 2006, The Role of the Second Chamber...

[12] Saldi Isra, 2004, Lembaga Legislatif Pasca-Amandemen UUD 1945, Sumbangan Tulisan dalam Soewoto Mulyosudarmo, Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, Surabaya; Agus Heryadi, Bikameral Setengah Hati, dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra dan Marwan Mas (Edit.), 2002, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka Sinar Harapan dan Koalisi untuk Konstitusi Baru, Jakarta; dan Denny Indrayana, 2002, Ancaman Tirani DPR, dalam Kompas, 2 September, Jakarta.

[13] Kevin Evans, 2002, Seputar Sistem...

[14] Dalam Bivitri Susanti, 2007, “Penguatan Kewenangan DPD dan Pasal-Pasal Lain yang Terkait di Bidang Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan”, disampaikan dalam Pertemuan Ahli Hukum Tata Negara, diselenggarakan oleh Univ. 45, Makassar, 30 Juni.

[15] Sesuai dengan kesepakatan MPR Periode 1999-2004, perubahan UUD 1945 tetap dibatasi oleh lima kesepakatan dasar, yaitu: (1) tidak mengubah pembukaan UUD 1945, (2) tetap mempertahankan NKRI, (3) mempertegas sistem pemerintahan presidensial, (4) Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (Batang Tubuh UUD), dan (5) melakukan perubahan secara adendum. Lebih jauh baca Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, 2005, Panduan Pemsyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta.

[16] http://en.wikipedia.org/wiki/Presidential_system diakses terakhir 2 Juni 2007