PERKEMBANGAN PENGISIAN JABATAN PRESIDEN

DI BAWAH UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Oleh Saldi Isra

Pendahuluan

Dalam dua kali periode berlakunya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, periode 17 Agustus 1945 - 29 Desember 1949 dan periode 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999, belum pernah dilakukan pengisian jabatan Presiden (dan Wakil Presiden) secara “wajar” yakni melalui proses pemilihan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Soekarno menjadi Presiden pertama RI karena adanya usulan Otto Iskandardinata untuk menyetujui Soekarno sebagai presiden secara aklamasi. Soeharto menjadi Presiden kedua RI karena adanya “peralihan kekuasaan” dari Soekarno kepada Soeharto karena Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Sementara menolak “laporan pertanggungjawaban” Soekarno. Selama Soeharto menjadi presiden terpelihara tradisi “calon tunggal” dalam pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Dengan kondisi yang berbeda, hal yang sama juga terulang ketika B.J. Habibie menjadi presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Soeharto yang telah berkuasa sekitar 32 tahun dipaksa oleh mahasiswa dan kelompok reformis lainnya untuk berhalangan tetap. Akibatnya, karena keharusan konstitusi, Soeharto digantikan oleh BJ. Habibie.

Semangat Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 baru “dibumikan” pada pemilihan Presiden tahun 1999. Dalam pemilihan itu muncul 3 orang calon, sehingga penentuan presiden dilakukan dengan suara terbanyak. Ini adalah proses pemilihan presiden yang sangat demokratis. Meskipun demikian, hasil pemilihan menjadi kenyataan pahit bagi partai pemenang pemilu (PDI-Perjuangan). Sebagai pemenang pemilu, PDI-Perjuangan gagal memenangkan kursi kepresidenan karena ada semangat untuk menyingkirkan Megawati yang begitu kental. Suwarno Adiwijoyo mengingatkan bahwa terpilihnya Abdurrahman Wahid karena adanya “mesin politik” yang bernama Poros Tengah dengan segala pertimbangan politik ketika itu.[1] Ketika pertimbangan-pertimbangan untuk memilih Wahid dihancurkan oleh sepak terjangnya sendiri, maka hasil pemilihan Presiden 1999 menjadi poteret buram proses demokratisasi di Indonesia.

Tulisan ini akan menjelaskan perkembangan pengisian jabatan Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dengan memberikan penekanan kepada (1) pengisian jabatan Presiden tahun 1945 sampai 1999 (Soekarno, Soeharto dan BJ. Habibie), (2) pengisian jabatan Presiden pada era Reformasi, (3) pengisian jabatan Presiden pasca-amandemen ketiga UUD 1945.

Pengisian Jabatan Presiden

1. Era Orde Baru

Ketentuan pengisian Presiden dan Wakil Presiden terdapat dalam pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak. Rumusan pasal ini bersifat defenitif karena dalam penjelasan pasal ini disebutkan telah jelas.[2] Dengan demikian, ada dua unsur penting pasal 6 ayat (2) yaitu: Pertama, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Kata dipilih tentu mengisyaratkan bahwa calon harus lebih dari satu orang karena ‘tradisi calon tunggal’ tidak mendekati makna hakiki pasal ini. Kedua, penentuan Presiden dan Wakil Presiden dengan suara terbanyak (voting) dimana MPR akan mengadakan pemungutan suara dan calon yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Untuk melaksanakan pasal 6 ayat (2) UUD 1945, MPR telah mengeluarkan Ketetapan MPR No.II/MPR/1973 tentang “Tatacara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia “. Salah satu pertimbangan penting lahirnya ketetapan ini adalah bahwa dalam sejarah ketatanegaran Indonesia belum pernah ada peraturan yang mengatur tentang cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.[3]

Berdasarkan Tap MPR No. II/MPR/1973, tatacara pemilihan Presiden dapat dilihat dalam pasal 8 sampai pasal 20 dapat dirinci sebagai berikut, pertama, calon Presiden diusulkan oleh semua fraksi secara tertulis kepada MPR melalui pimpinan fraksi yang sudah harus diterima oleh pimpinan MPR selambat-lambatnya 24 jam sebelum Rapat Paripurna Pemilihan Presiden (pasal 9 dan 10). Kedua, pimpinan MPR mengumumkan nama calon Presiden yang telah memenuhi persyaratan. Pencalonan dapat ditarik kembali oleh yang bersangkutan kepada pimpinan MPR melalui fraksi pengusul (pasal 11 dan 12).

Ketiga, pelaksanaan pemilihan apabila calon lebih dari satu orang (dua, tiga atau lebih). Pemilihan dilaksanakan secara rahasia. Putusan diambil sekurang-kurangnya lebih dari separuh anggota yang hadir. Jika diantara calon tidak ada yang mendapat suara lebih dari separuh, maka terhadap dua calon yang mendapat suara lebih banyak dilakukan pemilihan ulang dan calon yang mendapat suara terbanyak ditetapkan sebagai Presiden. Apabila kedua calon mendapat suara yang sama, maka pemungutan suara dari fraksi masing-masing secara tertulis. Jika suara masih tetap sama, maka fraksi mengusulkan calon lain (pasal 14-19). Seandainya calon hanya satu orang, maka calon tersebut disahkan saja oleh MPR (pasal 13 ayat (2)).

Mencermati tatacara pemilihan Presiden di atas dapat dicermati bahwa Tap MPR No. II/ MPR/ 1973 seolah-olah hendak mengeliminasi semangat pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dan semakin menjauhi niali-nilai demokratis karena adanya ketentuan bahwa calon Presiden dari fraksi. Pasal 8 manyatakan:

“Calon Presiden diusulkan oleh fraksi secara tertulis dan disampaikan kepada pimpinan Majelis melalui pimpinan-pimpinan fraksi yang mencalonkan dengan persetujuan dari calon yang bersangkutan”.[4]

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 8 ini telah menjadi living law dalam perjalanan sejarah ketatanegaaraan Indonesia. Menurut Harun Al-Rasyid bahwa yang menjadi “kaidah yang hidup” sejak Sidang Umum (SU) MPR 1973 adalah ”tradisi calon tunggal” dalam pemilihan Presiden.[5] Hal inilah yang menyebabkan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 “mati suri”.

Sementara itu, pengisian jabatan Wakil Presiden tidak terlalu luas dibicarakan pada saat persiapan pembentuakn UUD, kecuali saat itu ada ide pada sidang kedua BPUPKI Mr. Muhammad Yamin dalam pidatonya menyatakan :

“…harus ada seorang Kepala Negara yang akan mengendalikan dan akan menjunjung Kedaulatan negara Republik Indonesia ke luar dan ke dalam, dan di keliling Kepala Negara itu tidak seorang melainkan dua orang Wakil Kepala Negara. Dengan mengambil seorang Kepala Negara dan dua Wakil Kepala Negara, kita hendak menyatakan, bahwa aliran-aliran yang ada di dalam tanah air kita ini besar sekali…”.[6]

Ide ini lenyap karena para pendiri negara sepakat untuk hanya satu orang saja Wakil Presiden, seperti yang terdapat dalam pasal 4 ayat (2) yang menyatakan bahwa dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.

Terkait dengan pengisian jabatan Wakil Presiden, keterangan agak rinci dapat ditemui dalam pasal 21 sampai pasal 27 Tap MPR No. II/ MPR/ 1973 yang pada prinsipnya terdiri dari tiga hal pokok. Pertama, pelaksanaan pemilihan mengikuti tatacara pemilihan Presiden. Kedua, pemilihan Wakil Presiden baru dapat dilaksanakan setelah Presiden terpilih , yaitu setelah Presiden mengucapkan sumpah dan janji (pasal 21). Ketiga, calon Wakil Presiden diusulkan oleh wakil fraksi-fraksi secara tertulis kepada pimpinan MPR dengan persetujuan calon dan pernyataan sanggup bekerja sama dengan Presiden terpilih.

Mencermati tatacara pemilihan Wakil Presiden tersebut dapat dijelaskan dalam tiga hal, pertama, melaksanakan pemilihan Wakil Presiden tidak satu paket (terpisah) dari pemilihan presiden seperti yang terdapat dalam Tap MPR No. II/ MPR/ 1973 pasal 8 menyatakan:

(1) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara terpisah;

(2) Pemilihan Presiden dilaksanakan lebih dahulu dari pemilihan Wakil Presiden.

Kedua, peran yang dilakukan oleh fraksi dalam menentuakn calon Wakil Presiden hampir sama dengan pencalonan Presiden, tapi fraksi tidak bisa menentukan secara mutlak karena pada pemilihan Wakil Presiden, peran Presiden terpilih tidak bisa dikesampingkan oleh fraksi di MPR. Masih segar diingatan kita ketika SU MPR 1988 muncul nama calon lebih dari satu orang karena fraksi PPP mencalonkan H.J. Naro menyerah pada ‘proses calon tunggal’.[7] Soedharmono tampil sebagai satu-satunya calon pada saat itu.

Ketiga, di samping kekuasaan yang dinyatakan secara tegas oleh MPR, Presiden secara terselubung memperoleh kekuasaan riil ikut menetapkan calon Wakil Presiden. MPR memiliki kekuasaan untuk memilih Wakil Presiden, namun demikian dalam perkembangannya Wakil Presiden tidak dapat dicalonkan oleh setiap fraksi sebelum mendapatkan persetujuan Presiden terpilih.[8]

Kekuasaan terselubung yang dimiliki oleh Presiden terpilih dinyatakan dalam Tap MPR No. II/MPR/1993, yaitu:

Pasal 2

(1) Presiden dan Wakil Presiden harus dapat bekerja sama

(2) Calon Wakil Presiden selain memenuhi persyaratan yang ditentukan pasal 1 ketetapan ini, harus juga menyatakan sanggup dan dapat bekerja sama dengan Presiden.

Pasal 23

(3) Untuk memenuhi ketetapan pada pasal 2 ayat (1) ketetapan ini, bilamana perlu, dinyatakan secara tertulis oleh Presiden.

Ketentuan-ketentuan tersebutlah yang memperbesar kekuasaan atributif Presiden[9] dalam menentukan calon Wakil Presiden. Kehadiran pasal-pasal itu telah memperkecil kedaulatan yang dipunyai oleh anggota MPR dalam menentukan calon Wakil Presiden. Padahal, persyaratan dapat bekerja sama cenderung subjektif karena dilakukan setelah Presiden terpilih.

2. Era Reformasi

Dalam Era Reformasi terjadi beberapa perubahan yang terkait dengan pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Pertama, pembatasan terhadap masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden melalui Tap MPR No. XIII/ MPR/ 1998. Ketetapan ini mengakhiri perdebatan penafsiran ganda terhadap Pasal 7 UUD 1945 bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Ketentuan ini ditafsirkan oleh rezim Soekarno dan Soeharto bahwa seorang dapat dipilih menjadi presiden berulang-ulang. Bahkan, Soekarno melalui Tap MPRS No. III/ MPRS/ 1963 ditetapkan sebagai Presiden seumur Hidup.

Kedua, adanya perbaikan terhadap Tap MPR No. II/ MPR/ 1973 karena dianggap tidak sesuai dengan dinamika dan perkembangan demokrasi.[10] Perubahan ini dilakukan dengan pengesahan Tap MPR No. VI/ MPR/ 1999 tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI.

Ada dua perbaikan yang dilakukan oleh MPR dalam tata cara pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Pertama, adanya peluang untuk mencalonkan seseorang menjadi presiden tanpa melalui fraksi. Dalam Pasal 8 ayat (2) dinyatakan bahwa calon presiden (dan Wakil Presiden) juga dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya tujuh puluh orang anggota MPR yang terdiri atas satu fraksi atau lebih. Kedua, hilangnya ketentuan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dapat bekerja sama.

Di luar perbedaan tersebut, masih ditemui persamaan yang amat mendasar antara ketentuan yang terdapat dalam Tap. MPR No. II/ MPR/ 1973 dengan Tap MPR No. VI/ MPR/ 1999 terutama yang menyangkut pemisahan proses pemilihan Presiden dengan Wakil Presiden. Pada prinsipnya adanya persayaratan bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara terpisah adalah tidak sejalan dengan keinginan UUD 1945 karena pemilihan Presiden diisyaratkan satu paket dengan pemilihan Wakil Presiden karena pembuat UUD beberapa kali menyebut Presiden dan Wakil Presiden “dalam satu nafas”, seperti: Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh…, Presiden dan Wakil Presiden memangku jabatannya selama…, Presiden dan Wakil Presiden disumpah menurut agama….[11] Alasan lain yang mendukung satu paket, yaitu Presiden dan Wakil Presiden adalah satu lembaga, yaitu lembaga kepresidenan karena UUD 1945 tidak pernah menyebut Wakil Presiden sebagai lembaga tersendiri. Hal ini dapat dibuktikan bahwa persyaratan untuk menjadi Wakil Presiden sama dengan persyaratan untuk menjadi Presiden. Kalau MPR melakukan penilaian terhadap calon Presiden berarti MPR sekaligus melakukan penilaian bagaimana calon Presiden memilih pendampingnya.

Lebih jauh dari itu, menjadikan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden satu paket akan membawa implikasi positif terhadap posisi Wakil Presiden. Wakil Presiden akan merasa jabatan yang diperolehnya bukan hanya ditentukan oleh rekomendasi Presiden terpilih, tapi kedua calon sama-sama berjuang untuk mendapatkan posisi terhormat tersebut. Andil mereka secara proporsional relatif berimbang. Dengan demikian, Wakil Presiden akan menjadi mitra Presiden dan sekaligus menghapus kesan selama ini dirasakan sebagai “ban serap”. Dengan demikian, tentunya posisi Wakil Presiden menjadi lebih tinggi daripada menteri-menteri yang nota-bene juga pembantu Presiden.[12]

3. Pasca-Amandemen Ketiga UUD 1945

Wacana untuk melakukan pemilihan Presiden (dan Wakil Presiden) langsung kembali mengemuka dalam beberapa hari terakhir. Ini dapat dicermati dari perdebatan-perdebatan yang muncul dalam dua tahun terakhir karena sedang dilakukan kajian untuk mempersiapkan materi Amandemen UUD 1945.

Gagasan untuk melakukan pemilihan Presiden langsung adalah kelanjutan perdebatan yang pernah muncul pada paruh pertama tahun 2000. Pada masa itu, pengalaman “pahit” yang terjadi pada proses pengisian jabatan Presiden selama Orde Baru dan proses pemilihan Presiden tahun 1999 mendorong untuk dilakukan pemilihan Presiden langsung karena beberapa alasan (raison d’etre) yang sangat mendasar.

Pertama, Presiden yang terpilih melalui pemilihan langsung akan mendapat mandat dan dukungan yang lebih riil rakyat sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih dengan tokoh yang dipilih. Kemauan orang-orang yang memilih (volonte generale) akan menjadi pegangan bagi Presiden dalam melaksanakan kekuasaannya.

Kedua, pemilihan Presiden langsung secara otomatis akan menghindari intrik-intrik politik dalam proses pemilihan dengan sistem perwakilan. Intrik politik akan dengan mudah terjadi dalam sistem multipartai. Apalagi kalau pemilihan umum tidak menghasilkan partai pemenang mayoritas, maka tawar-tawar politik menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan.

Sekadar contoh, kegagalan Megawati menjadi Presiden pada SU MPR tahun 1999 memberikan “kesadaran baru” kepada kita bahwa sistem perwakilan dalam pengisian Presiden memberikan peluang yang sangat besar kepada kekuatan-kekuatan politik di MPR untuk mengkhianati keinginan sebagian besar rakyat Indonesia. Kemenangan PDI Perjuangan dalam pemilihan umum tahun 1999 dapat berarti bahwa sebagian besar volonte generale sudah “mendaulat” Megawati untuk memimpin Indonesia. Tetapi karena adanya pertimbangan-pertimbangan politik sesaat hasil pemilihan Presiden pada tahun 1999 menjadi sebuah ironi politik dalam proses pertumbuhan demokrasi di Indonesia.

Ketiga, pemilihan Presiden langsung akan memberikan kesempatan yang luas kepada rakyat untuk menentukan pilihan secara langsung tanpa mewakilkan kepada orang lain.[13] Kecenderungan dalam sistem perwakilan adalah terjadinya penyimpangan antara aspirasi rakyat dengan wakilnya. Ini semakin diperparah oleh dominannya pengaruh partai politik yang telah mengubah fungsi wakil rakyat menjadi wakil partai politik (political party representation).

Keempat, pemilihan langsung dapat menciptakan perimbangan antara berbagai kekuatan dalam penyelenggaraan negara terutama dalam menciptakan mekanisme checks and balances antara Presiden dengan lembaga perwakilan karena sama-sama dipilih oleh rakyat. Selama ini, yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, MPR menjadi sumber kekuasaan dalam negara karena adanya ketentuan bahwa lembaga ini adalah pemegang kedaulatan rakyat. Kekuasaan inilah yang dibagi-bagikan secara vertikal kepada lembaga-lembaga tinggi negara lain termasuk kepada Presiden. Akibatnya, kelangsungan kedudukan Presiden sangat tergantung kepada MPR.

Meskipun sudah ada kesepakatan untuk melakukan pemilihan Presiden langsung, tetapi masih ada perdebatan yang belum selesai sampai saat ini karena pemilihan Presiden langsung harus dengan memperhatikan kondisi riil rakyat Indonesia seperti (1) faktor perimbangan penduduk yang tidak merata untuk seluruh wilayah Indonesia, dan (2) dominannya pemilih “tradisional” dan pemilih “irrasional” dalam komunitas politik Indonesia yang kalau tidak disiasati dengan bijak akan kontraproduktif dengan keinginan untuk memperbaiki proses pemilihan Presiden.

Pertimbangan ini amat diperlukan dan dapat dimengerti karena adanya berbagai model pemilihan Presiden langsung yang dilaksanakan di berbagai negara.

Pertama, sistem pemilihan langsung Amerika Serikat (AS) atau Electoral College System. Pada sistem ini rakyat tidak juga langsung memilih calon Presiden tetapi melalui pengalokasian jumlah suara dewan pemilih (electoral college votes) pada setiap propinsi (state). Jika seorang kandidat memenangkan sebuah state maka ia akan mendapat semua jumlah electoral college (the winner takes all) pada daerah bersangkutan.

Sistem ini bukan tanpa cela, karena tidak tetutup kemungkinan calon yang memperoleh suara pemilih terbanyak (electoral college votes) gagal menjadi Presiden karena gagal untuk memperoleh jumlah mayoritas suara pada electoral college. Kejadian ini dapat diamati dalam pemilihan Presiden AS terakhir November 2000. Al Gore mendapatkan total suara lebih banyak sekitar 360-an ribu suara, sementara George W. Bush unggul dalam perolehan electoral college (272 : 267) sehingga yang menjadi Presiden AS adalah George W. Bush.

Kedua, kandidat yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan langsung menjadi Presiden atau first-past the post. Seorang kandidat dapat menjadi Presiden meskipun hanya meraih kurang dari separuh suara pemilih. Sistem ini membuka peluang untuk munculnya banyak calon Prersiden sehingga peluang untuk memenangkan pemilihan kurang dari 50% lebih terbuka. Jika ini terjadi maka presiden terpilih akan mendapatkan legitimasi yang rendah karena tidak mampu memperoleh dukungan suara mayoritas (50% + 1).

Ketiga, Two-round atau Run-off system: Pada sistem ini, bila tak seorangpun kandidat yang memperoleh sedikitnya 50% dari keseluruhan suara, maka dua kandidat dengan perolehan suara terbanyak harus melalui pemilihan tahap kedua beberapa waktu setelah tahap pertama. Jumlah suara minimum yang harus diperoleh para kandidat pada pemilihan pertama bervariasi di beberapa negara. Sistem ini paling populer dilaksanakan di negara-negara dengan sistem presidensil. Namun sistem ini sangat memerlukan kesiapan logistik dan biaya besar. Sistem seperti ini biasanya membuka peluang bagi jumlah kandidat yang besar pada pemilihan tahap pertama dan upaya “dagang sapi” untuk memenangkan dukungan bagi pemiliham tahap kedua. Jumlah kandidat yang terlalu besar dapat dikurangi dengan menerapkan persyaratan yang sulit bagi nominasi kandidat.

Keempat, Sistem Nigeria. Di Nigeria, seorang kandidat Presiden dinyatakan sebagai pemenang apabila kandidat tersebut dapat meraih sedikitnya 30% suara di sedikitnya 2/3 (dua pertiga) dari 36 negara bagian di Nigeria (termasuk ibu kota Nigeria). Sistem ini diterapkan untuk menjamin bahwa Presiden terpilih memperoleh dukungan dari mayoritas penduduk yang tersebar di 36 negara bagian tersebut. Presiden Obasanjo memenangkan pemilu tahun 1999 dengan sistem ini dan memperoleh 63% suara dari keseluruhan pemilih.

Perbedaan pendapat dalam menentukan model yang tepat untuk dilaksanakan di Indonesia tidak hanya terjadi dalam perdebatan akademik tetapi juga terjadi di MPR. Hal ini dapat dibuktikan dengan terjadinya perdebatan panjang pada menjelang dan saat Sidang Tahunan (ST) MPR bulan November 2001. Pada awalnya, kecenderungan di MPR mengarah kepada pola “pemilihan langsung plus” yang tetap memberikan peranan signifikan kepada MPR dengan dua alternatif, yaitu (1) calon Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih dulu di MPR baru kemudian diserahkan kepada rakyat untuk memilih di antara calon-calon yang telah dipilih dalam proses politik di MPR, dan (2) calon Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih terlebih dulu oleh rakyat kemudian dipilih lagi oleh MPR.[14]

Pola yang hendak dipilih MPR itu mendapat kritikan luas karena MPR tidak serius untuk melakukan perubahan dalam pemilihan Presiden. Kritikan keras ini sangat beralasan dan dapat dimengerti, karena ada kecenderungan, sebagai lembaga tertinggi negara, MPR dinilai tidak ingin kehilangan otoritas politiknya dalam proses pengisian jabatan Presiden di Indonesia. Kecenderungan ini dipahami bahwa tanpa menjadi kekuatan penentu dalam pemilihan Presiden, MPR akan kehilangan eksistensinya secara signifikan.

Akhirnya, kritikan yang datang dari berbagai kalangan, mampu mempengaruhi sikap MPR dalam melakukan perubahan UUD 1945. Dalam Pasal 6A ayat (1), (2) dan ayat (3) Amandemen Ketiga dinyatakan :

1. Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

2. Pasangan calon Presiden (dan Wakil Presiden) diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

3. Pasangan calon Presiden (dan Wakil Presiden) yang mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah propinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden (dan Wakil Presiden).

Meskipun sudah ada kesepakatan untuk melakukan pemilihan Presiden langsung yang akan dimulai pada tahun 2004, ini tidak berarti bahwa persoalan pemilihan Presiden langsung sudah tuntas. Paling tidak masih ada satu persoalan krusial yang belum disepakati, yaitu bagaimana jika tidak ada pasangan calon Presiden (dan Wakil Presiden) yang dapat memenuhi persyaratan dalam ayat (3).

Ada dua alternatif yang masih diperdebatkan di MPR sebagai solusi terhadap persoalan ini. Pertama, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh MPR dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden (dan Wakil Presiden). Kedua, dua pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih lagi oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden (dan Wakil Presiden).[15] Kedua alternatif ini telah diusahakan untuk diselesaikan dalam ST MPR 2001 tetapi karena masing-masing mempunyai pendukung dengan kekuatan yang relatif berimbang,[16] maka kata putus disepakati akan dilakukan pada ST MPR 2002 yang akan datang.

Penutup

Terlepas dari hasil yang akan dicapai MPR untuk menentukan salah satu alternatif second round pemilihan Presiden langsung dalam ST MPR 2002, perkembangan pengaturan pemilihan Presiden sudah mengarah kepada cara yang benar yaitu dengan mengembelikan kedaulatan kepada rakyat untuk menentukan Presiden. Lompatan besar yang terjadi pada pemilihan Presiden pasca-Amandemen Ketiga UUD 1945 menjadi sangat penting dalam dua hal.

Pertama, adanya kekecewaan terhadap proses pemilihan Presiden dengan sistem perwakilan yang telah pernah dilakukan. Kekecewaan ini muncul karena sistem perwakilan amat rawan diintervensi oleh pertimbangan-pertimbangan politik jangka pendek, termasuk intervensi uang (money politics). Berdasarkan pengalaman, hasil pemilihan yang dilakukan dengan sistem perwakilan cenderung menyimpang dari aspirasi yang berkembang di tingkat publik. Misalnya, pengalaman pemilihan Presiden di MPR tahun 1999. Pada ketika itu, Megawati Soekarnoputri dengan basis dukungan PDI Perjuangan yang memperoleh sekitar 33% suara (baca : terbesar) dalam pemilihan umum disingkirkan oleh koalisi darurat yang bernama Poros Tengah.

Kedua, lompatan besar yang dihasilkan oleh Amandemen Ketiga dalam pemilihan Presiden dapat dinilai sebagai upaya mendekatkan dan semakin mengukuhkan bahwa Indonesia akan tetap dengan sistem presidensiil. Pemilihan Presiden langsung merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem presidensiil untuk membangun prinsip check and balances antara Presiden dengan lembaga perwakilan rakyat. Kedua institusi ini akan mempunyai kekuatan yang berimbang karena sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat.

Yang diperlukan sekarang, bagaimana memaknai perubahan yang telah dilakukan untuk membangun sistem dan mekanisme ketatanegaraan dalam jangka panjang.

DAFTAR BACAAN

A. Malik Harmain, (2001), Urgensi Pemilihan Presiden Langsung, dalam Kompas, 31 Oktober, Jakarta.

Abdul Rohim Ghazali, (2001), Pemilihan Presiden Langsung untuk Indonesia, dalam Kompas, 10 November, Jakarta.

ASS Tambunan, (1991), MPR Perkembangan dan Pertumbuhan: Suatu Pengamatan dan Analisis, Sinar Harapan, Jakarta.

Bagir Manan, (1999), Lembaga Kepresidenan, Pusat Studi Hukum Universitas Islam Indonesia dan Gama Media, Yogyakarta.

Harun Al-Rasyid, (1997), Pemilihan Presiden dan Pergantian Presiden dalam Hukum Positif Indonesia, YLBHI, Jakarta.

______________,(1999), Pengisian Jabatan Presiden, Grafiti, Jakarta.

Muhammad Yamin, (1959), Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, Yayasan Prapanca, Jakarta.

Saldi Isra, (1998), Wakil Presidern Jadi Ketua DPA?, dalam harian Kompas, 4 Maret , Jakarta.

_________, (1998), Pengisian Jabatan Presiden dan Wakil Presiden : Beberapa Pemikiran ke Arah Perbaikan, dalam Jurnal Tingkap No. 01 April, Pusat Kajian Sosial Budaya dan Ekonomi, FPIPS IKIP, Padang.

__________, (2001), Pemilihan Presiden Langsung, dalam Kompas 24 September, Jakarta.

_________ dan Tarmizi Hosen, (2001), Pengisian Jabatan Presiden dan Wakil Presiden, disampaikan pada Seminar Nasional “Lembaga Kepresidenan dalam Perspektif Hukum dan Politik di Indonesia”, dalam rangaka 50 Tahun Fakultas Hukum Universitas Andalas, di Padang 16 Juni.

Suwarno Adiwijoyo, (2000), Teori Domino Kejatuhan Presiden, dalam Kompas, 22 Februari.

Suwoto Mulyosudarmo, (1997), Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia, Jakarta.



[1] Suwarno Adiwijoyo, Teori Domino Kejatuhan Presiden, dalam Kompas, 22 Februari 2001.

[2] Lihat Penjelasan UUD 1945.

[3] Lihat Konsideran Menimbang, Butir b Tap. MPR No. II/MPR/1973.

[4] Ketentuan ini jelas memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada fraksi untuk menentukan Presiden. Apalagi, kebijakan fraksi tidak boleh bertentangan dengan kebijakan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) induk organisasi.

Golongan Karya, misalnya, sebagai organisasi sosial politik yang mempunyai suara mayoritas di MPR (Single Majority) memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Dewan Pembina. Dimana, berdasarkan Pasal 22 ART. Dewan Pembina membatalkan kebijaksanaan/keputusan DPP bilamana dinilai menyimpang dari ketentuan-ketentuan organisasi. Dan sekaligus dapat membekukan kepengurusan DPP. Lihat Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya, Bahan Diklat Kader Golkar, Kelompok B, hal. 55.

[5] Harun Al-Rasyid, Pemilihan Presiden dan Pergantian Presiden Dalam Hukum Positif Indonesia, Jakarta, YLBHI, 1997, hal. 36-37.

Harun Al-Rasyid dalam buku ini mengajukan ‘konsep tiga calon Presiden’ yaitu Golkar, PPP dan PDI mengajukan calon dari organisasinya sendiri. Sedangkan fraksi ABRI dan Utusan daerah karena bukan Organisasi Politik memilih saja salah satu dari ketiga calon anggota organisasi politik tersebut.

[6] Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, Jakarta, Yayasan Prapanca, 1959, hal 234.

[7] Rekaman Peristiwa ini secara ringkas dapat dibaca dalam ASS Tambunan, MPR Perkembangan dan Pertumbuhan: Suatu Pengamatan dan Analisis, Jakarta, Sinar Harapan, 1991, hal. 294-323.

Sehubungan dengan ini perlu disimak apa yang dikatakan Soeharto di dalam otobiografi:

“Dengan adanya dua calon Wakil Presiden berarti ada perbedaan. Perbedaan calon itu memang dibenarkan. Melalui musyawarah perbedaan harus dihilangkan. Setelah adu argumentasi dalam musyawarah, pihak yang memperoleh dukungan kecil, harus rela dan segera melaksanakan Eka Prasetya Pancakarsa”. Dikutip dari Harun Al-Rasyid, Op.cit. hal. 38.

[8] Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, Jakarta, Gramedia, 1997, hal. 57.

[9] Lebih jauh tentang kekuasaan atributif Presiden baca ibid.

[10] Lihat Konsiderans Menimbang huruf b Tap MPR No. VI/ MPR/ 1999.

[11] Harun al-Rasyid, Op.cit, hal. 33.

[12] Saldi Isra, Wakil Presidern Jadi Ketua DPA?, dalam harian Kompas, 4 Maret 1998.

[13] Alasan ini dapat juga dibaca dalam Saldi Isra, (2001), Pemilihan Presiden Langsung, dalam Kompas 24 September; A. Malik Harmain, (2001), Urgensi Pemilihan Presiden Langsung, dalam Kompas 31 Oktober; dan Abdul Rohim Ghazali, (2001), Pemilihan Presiden Langsung untuk Indonesia, dalam Kompas 10 November.

[14] Kompas, 11 September 2001.

[15] Kedua alternatif ini menjadi bagian penting dan krusial yang akan dibahas dalam Sidang Tahunana MPR 2002.

[16] Alternatif pertama didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan dukungan beberapa kekuatan politik lainnya di MPR. Sedangakan alternatif kedua didukung oleh Partai Golkar dengan beberapa kekuatan politik lainnya di MPR seperti PPP, PBB, PKB.