PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

DAN IMPLIKASINYA TERHADAP SISTEM

KETATANEGARAAN INDONESIA[1]

Oleh Saldi Isra

Pendahuluan

Dari awal, para pendiri negara secara eksplisit sudah menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah konstistusi yang bersifat sementara. Bahkan, Soekarno menyebutnya sebagai UUD atau revolutiegrondwet. Kondisi obyektif ini sudah diantisipasi oleh the fouding fathers dengan menyediakan Pasal 37 UUD 1945 sebagai sarana untuk melakukan perubahan. Karena kelalaian menjalankan amanat itu, sejak awal kemerdekaan proses penyelengaraan negara dilaksanakan dengan konstitusi yang bersifat sementara.

Menelusuri perjalanan sejarah ketatanegaraan selama hampir setengah abad di bawah UUD 1945 (1945-1949 dan 1959-2002), persoalan mendasar tidak hanya terletak pada sifat kesementaraan tetapi lebih kepada kelemahan-kelemahan elementer yang terdapat dalam UUD 1945. Misalnya, sangat fleksibel untuk diterjemahkan sesuai dengan keinginan pemegang kekuasaan, terperangkap dalam design ketatanegaraan yang rancu sehingga tidak membuka ruang untuk melaksanakan paradigma checks and balances atau akuntabilitas horizontal dalam menciptakan good governance.[2]

Kedua kelemahan itu sangat mewarnai perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945, yang kemudian bermuara pada multi-krisis yang terjadi pada penghujung abad XX dan sampai dua tahun pertama awal abad XXI belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Misalnya dalam hal penafsiran, pergantian sistem presidentil kepada sistem parlementer pada tanggal 14 November 1945. Di dua era yang berbeda, Soekarno menafsirkan (memahami) demokrasi dalam UUD 1945 sebagai Demokrasi Terpimpin sementara Soeharto menafsirkannya sebagai Demokrasi Pancasila dan kedua-duanya melahirkan rejim otoriter.

Krisis ketatanegaraan yang diawali dengan kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan secara mendasar terhadap UUD 1945. Banyak anggapan bahwa salah satu penyebab krisis itu adalah ketidakmampuan UUD 1945 mengantisipasi penyelewengan-penyelewengan dalam praktek penyelenggaraan negara. Dalam waktu yang panjang, UUD 1945 telah menjadi instrumen politik yang ampuh berkembangnya otoritarianisme dan menyuburkan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) di sekitar kekuasaan Presiden.[3] Oleh karena itu, di masa reformasi menyusul berakhirnya kekuasaan Soeharto, agenda perubahan UUD 1945 menjadi sesuatu yang niscaya. Ini dapat dipahami bahwa tidak mungkin melakukan reformasi politik dan ekonomi tanpa melakukan reformasi hukum. Reformasi hukum pun tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan terhadap konstitusi (constitutional reform).

Tulisan ini mencoba untuk memaparkan empat poin penting yang terkait dengan perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR, yaitu (1) alasan melakukan perubahan, (2) perubahan-perubahan yang telah dilakukan, (3) implikasi perubahan terhadap sistem ketatanegaraan, dan (4) catatan kritis (critical review) terhadap hasil perubahan yang dapat menimbulkan implikasi “lain” dalam praktek ketatanegaraan ke depan.

Alasan Melakukan Perubahan[4]

1. Sifat sementara

Seperti telah dinyatakan pada bagian awal bahwa penetapan UUD 1945 tidak dimaksudkan sebagai sebuah konstitusi yang bersifat tetap. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Soekarno sebagai berikut :

“Undang-undang Dasar yang dibuat sekarang adalah Undang-undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah Undang-undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna”.[5]

Selain pernyataan itu, sifat sementara juga terdapat dalam ayat (2) Aturan Tambahan UUD 1945 yang menyatakan bahwa dalam enam bulan sesudah Majelis Permusayawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang untuk menetapkan Undang-undang Dasar.

2. Fleksibel

Sebenarnya, persoalan UUD 1945 bukan hanya pada sifat kesementaraan itu tetapi juga pada sifatnya yang amat fleksibel untuk dapat diterjemahkan sesuai dengan perkembangan kondisi politik dan keinginan pemegang kekuasaan. Paling tidak ada tiga alasan yang dapat membuktikan ini.

Pertama, keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang mengubah kedudukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) menjadi lembaga legislatif yang sejajar dengan Presiden. Maklumat ini juga mengamanatkan pembentukan Badan Pekerja (BP) KNIP untuk melaksanakan tugas sehari-hari KNIP. BP KNIP inilah yang mengusulkan untuk mengubah sistem pemerintahan dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer. Usul ini disetujui oleh pemerintah melalui Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November 1945. Pergantian sistem pemerintahan ini dilakukan dengan tidak melakukan perubahan terhadap Undang-undang Dasar 1945.

Kedua, perdebatan tak berkesudahan dalam Konstituante telah memberikan peluang kepada Soekarno untuk melakukan penafsiran (pemahaman) terhadap nilai-nilai demokrasi yang terdapat dalam UUD 1945. Dengan melihat pengalaman pada era demokrasi multipartai, Soekarno menafsirkan bahwa konsep demokrasi yang terdapat dalam UUD 1945 adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong-royong antara semua kekuatan nasional. Ini disebut oleh Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin. Konsep demokrasi inilah kemudian yang mendorong Soekarno menjadi pemimpin yang otoriter dengan dukungan Angkatan Darat (AD) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ketiga, sama halnya dengan Soekarno, Soeharto sebagai penguasa yang menggantikan Soekarno juga mencoba melakukan penafsiran tersendiri terhadap UUD 1945. Pemahaman ini melahirkan Demokrasi Pancasila dengan jargon “melaksanakan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen”. Konsep ini juga melahirkan rezim otoriter dengan dukungan AD dan Golongan Karya.

Dari tiga fakta sejarah tersebut UUD 1945 dapat dikatakan sebagai “konstitusi karet” karena amat fleksibel untuk ditarik ulur sesuai dengan keinginan penguasa.[6] Bahkan, dua fakta terakhir memperlihatkan bahwa UUD 1945 telah melahirkan rezim otoriter. Di samping itu, kelenturan yang dimiliki oleh UUD 1945 telah menjadi penyebab terjadinya KKN, memasung semangat demokrasi dan penegakan hukum, dan memberi peluang tumbuhnya pemerintahan yang otoriter, antikritik dan antiperbedaan pendapat.

3. Tidak konsisten

Tidak konsisten adalah salah satu kelemahan yang cukup elementer dalam UUD 1945. Hal ini telah menimbulkan dampak yang luas dalam proses penyelenggaraan negara di Indonesia. Inkonsistensi ini dapat dibuktikan sebagai berikut :

Pertama, sistem pemerintahan Indonesia dalam UUD 1945 adalah sistem presidentil ini dapat dibuktikan bahwa menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Tetapi dengan adanya ketentuan bahwa Presiden bertanggung jawab kepada MPR membuktikan bahwa model sistem parlementer juga dianut oleh UUD 1945. Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat menjatuhkan Presiden dengan cara mengadakan Sidang Istimewa MPR. Apabila MPR menolak pertanggungjawaban, maka Presiden akan diberhentikan oleh MPR. Pemberhentian ini akan berakibat pada pembubaran kabinet.

Kedua, tidak konsisten dalam menentukan bentuk kedaulatan. Dalam UUD 1945 ada bentuk kedaulatan yaitu Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Negara. Barangkali, kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum dapat saling melengkapi. Tetapi kedaulatan negara menjadi tidak sejalan dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Dalam pelaksanaan pemerintahan, sistem kedaulatan negara akan dengan mudah menjelma menjadi sistem yang otoriter karena negara dijelmakan oleh individu-individu yang menjalankan roda pemerintahan.[7]

Hasil Empat Kali Perubahan

Amandemen Pertama yang dilakukan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 telah melakukan perubahan terhadap 9 pasal yang meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, dan Pasal 21.

Pasal-pasal yang diperbaiki dalam Amandemen Pertama lebih memberikan penekanan pada perdebatan yang muncul pada awal kejatuhan rezim Soeharto. Misalnya, pada masa itu dirasakan bahwa kemampuan Soeharto untuk dapat bertahan sebagai Presiden sekitar 32 tahun karena tidak adanya pembatasan periodesasi masa jabatan Presiden. Untuk itu, MPR melakukan amandemen terhadap Pasal 7 UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan bahwa seseorang hanya dapat menjadi Presiden Indonesia hanya untuk dua kali masa jabatan.

Di samping itu, Amandemen Pertama juga mengurangi kecenderungan UUD 1945 yang executive heavy. Ini dilakukan dengan memperbaiki bunyi pasal-pasal yang terkait dengan DPR. Misalnya dalam pengangkatan Duta Besar, Presiden mempunyai keharusan untuk memperhatikan pertimbangan DPR, atau dalam memberikan Amnesti dan Abolisi Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR.

Sementara itu, Amandemen Kedua telah dilakukan perubahan sebanyak 7 bab dan 25 pasal yang meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X, Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C.

Sebagai kelanjutan, Amandemen Kedua melakukan perubahan untuk tiga hal yang amat mendasar. Pertama, memberikan landasan yang lebih kokoh terhadap keberadaan daerah dan pemerintahan daerah. Ini dapat dilihat dengan melakukan perubahan besar terhadap Pasal 18 UUD 1945. Kedua, melanjutkan usaha penguatan terhadap peranan DPR dalam proses penyelenggaraan negara Indonesia. Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B adalah penguatan yang “luar biasa” terhadap DPR. Ketiga, memberikan penambahan yang lebih luas terhadap ketentuan hak asasi manusia yang dirasakan amat terbatas dalam UUD 1945.

Kemudian dilanjutkan dengan Amandemen Ketiga yang meliputi Pasal 1 ayat (2) dan (3); Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4); Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5); Pasal 7A; Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7); Pasal 7C; Pasal 8 ayat (1) dan (2); Pasal 11 ayat (2) dan (3); Pasal 17 ayat (4); Bab VIIA; Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab VIIB; Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6); Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23A; Pasal 23C; Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23F ayat (1) dan (2); Pasal 23G ayat (1) dan (2); Pasal 24 ayat (1) dan (2); Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 24B ayat (1), (2), (3), dan (4); dan Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6).

Perubahan dan penambahan yang dilakukan dalam Amandemen Ketiga lebih tertuju pada lembaga-lembaga negara. Misalnya (1) pergantian proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dari pola pemilihan dengan sistem perwakilan (di MPR) menjadi proses pemilihan langsung, (2) perbaikan terhadap pola pertanggungjawaban Presiden untuk dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya, (3) pergantian sistem unikameral menjadi sistem bikameral, dan (4) mengakomodasi kehadiran “lembaga baru” yaitu Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court).

Amandemen Keempat lebih merupakan penyelesaian terhadap bagain-bagian yang masih tersisa dalam amandemen sebelumnya meliputi Pasal 2, Pasal 6A ayat (4), Pasal 8 ayat (3), Pasal 23B, Pasal 24 ayat (3), Pasal 31 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 32 ayat (1) dan (2), Pasal 33 ayat (4) dan (5), Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5). Perubahan terhadap Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan serta pencabutan terhadap Penjelasan UUD 1945.

Implikasi Terhadap Sistem Ketatanegaraan

Mencermati seluruh hasil perubahan yang telah dilakukan oleh MPR, ada beberapa catatan penting yang dapat dikemukakan. Pertama, kesemua pasal telah dilakukan perubahan kecuali Pasal 4, 10 dan Pasal 12. Kedua, terjadi (1) penambahan 4 bab baru (dari 16 bab menjadi 20 bab), (2) penambahan 25 pasal baru (dari 37 pasal menjadi 72 pasal), dan (3) penambahan 120 ayat baru (dari 49 ayat menjadi 169 ayat). Ketiga, dihapusnya penjelasan sebagai bagian dari UUD 1945.[8] Perubahan yang begitu besar menimbulkan implikasi terhadap struktur ketetanegaraan, yaitu terjadinya perubahan kelembagaan secara mendasar (lihat bagan). Implikasi perubahan tidak hanya terjadi terhadap struktur lembaga-lembaga negara tetapi juga perubahan terhadap sistem ketatanegaraan secara keseluruhan.

Lembaga Negara Sebelum Perubahan

 

Lembaga Negara Setelah Perubahan

 

Keterengan :

1. MPR, Majelis Permusyawaratan Rakyat 6. DPD, Dewan Perwakilan Daerah

2. DPR, Dewan Perwakilan Rakyat 7. MK, Mahkamah Konstitusi

3. BPK, Badan Pemeriksa Keuangan 8. KY, Komisi Yudisial

4. DPA, Dewn Pertimbangan Agung 9. KPU, Komisi Pemilihan Umum

5. MA, Mahkamah Agung

Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas implikasi perubahan UUD 1945 terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia.

Pertama, MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan rakyat tertinggi. Penghapusan sistem lembaga tertinggi negara adalah upaya logis untuk keluar dari perangkap design ketatanegaraan yang rancu dalam menciptakan mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga negara. Selama ini, model MPR sebagai “pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya” telah menjebak Indonesia dalam pemikiran-pemikiran kenegaraan yang berkembang pasca-abad pertengahan untuk membenarkan kekuasaan yang absolut. Model supremasi MPR lebih dekat kepada teori Jean Bodin bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi terhadap warga negara tanpa ada pembatasan bersifat ‘tunggal’, ‘asli’, ‘abadi’, dan ‘tidak dapat dibagi-bagi’.[9]

Perubahan ini dapat dilihat dari adanya keberanian untuk “memulihkan” kedaulatan rakyat dengan mengamandemen Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Perubahan ini diikuti dengan langkah besar lainnya yaitu dengan melakukan amandemen terhadap Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 dari MPR terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah dengan utusan-utusan dari daerah (UD) dan golongan-golongan (UG) menjadi MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum. Perubahan terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 berimplikasi pada reposisi peran MPR dari lembaga tertinggi negara (supreme body) menjadi sebatas sidang gabungan (joint session) antara DPR dan DPD.

Kedua, hapusnya sistem unikameral dengan supremasi MPR dan munculnya sistem bikameral. Dalam sistem bikameral, masing-masing kamar mencerminkan jenis keterwakilan yang berbeda yaitu DPR merupakan representasi penduduk sedangkan DPD merupakan representasi wilayah (daerah). Perubahan ini terjadi menjadi sebuah keniscayaan karena selama ini Utusan Daerah dalam MPR tidak ikut membuat keputusan politik nasional dalam peringkat undang-undang. Menurut Ramlan Surbakti keterwakilan daerah dalam MPR sangat tidak efektif dalam mewujudkan aspirasi dan kepentingan daerah.[10]

Selain alasan itu, kehadiran DPD sekaligus memberikan alternatif solusi atas pola penataan sistem politik sentralistik sepanjang lima dasawarsa terakhir. Babak baru perjalanan sistem ketatanegaraan akan jauh lebih bermakna ketika devolusi dan dekonsentrasi menjadi ciri inheren dalam melahirkan kebijakan publik karena berkorelasi positif dengan perluasan partisipasi melalui keberadaan DPD.[11] Banyak kalangan berharap sistem bikameral dapat menciptakan keseimbangan antara lembaga-lembaga negara sehingga mekanisme checks and balances berjalan tanpa adanya sebuah lembaga yang mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari yang lainnya.

Ketiga, perubahan proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dari sistem perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung. Perubahan ini tidak terlepas pengalaman “pahit” yang terjadi pada proses pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama Orde Baru dan pemilihan Presiden tahun 1999. Paling tidak ada empat alasan mendasar (raison d’etre) pergantian ini.

1. Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih melalui pemilihan langsung akan mendapat mandat dan dukungan yang lebih riil rakyat sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih dengan tokoh yang dipilih. Kemauan orang-orang yang memilih (volonte generale) akan menjadi pegangan bagi Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan kekuasaannya.

2. Pemilihan langsung secara otomatis akan menghindari intrik-intrik politik dalam proses pemilihan dengan sistem perwakilan. Intrik politik akan dengan mudah terjadi dalam sistem multipartai. Apalagi kalau pemilihan umum tidak menghasilkan partai pemenang mayoritas, maka tawar-tawar politik menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan. Sekadar contoh, kegagalan Megawati menjadi Presiden pada SU MPR tahun 1999 memberikan “kesadaran baru” bahwa sistem perwakilan dalam pengisian Presiden memberikan peluang yang sangat besar kepada kekuatan-kekuatan politik di MPR untuk mengkhianati keinginan sebagian besar rakyat Indonesia. Kemenangan PDI Perjuangan dalam pemilihan umum tahun 1999 dapat berarti bahwa sebagian besar volonte generale sudah “mendaulat” Megawati untuk memimpin Indonesia. Tetapi karena adanya pertimbangan-pertimbangan politik sesaat hasil pemilihan Presiden pada tahun 1999 menjadi sebuah ironi politik dalam proses pertumbuhan demokrasi di Indonesia.

3. Pemilihan langsung akan memberikan kesempatan yang luas kepada rakyat untuk menentukan pilihan secara langsung tanpa mewakilkan kepada orang lain.[12] Kecenderungan dalam sistem perwakilan adalah terjadinya penyimpangan antara aspirasi rakyat dengan wakilnya. Ini semakin diperparah oleh dominannya pengaruh partai politik yang telah mengubah fungsi wakil rakyat menjadi wakil partai politik (political party representation).

4. Pemilihan langsung dapat menciptakan perimbangan antara berbagai kekuatan dalam penyelenggaraan negara terutama dalam menciptakan mekanisme checks and balances antara Presiden dengan lembaga perwakilan karena sama-sama dipilih oleh rakyat. Selama ini, yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, MPR menjadi sumber kekuasaan dalam negara karena adanya ketentuan bahwa lembaga ini adalah pemegang kedaulatan rakyat. Kekuasaan inilah yang dibagi-bagikan secara vertikal kepada lembaga-lembaga tinggi negara lain termasuk kepada Presiden. Akibatnya, kelangsungan kedudukan Presiden sangat tergantung kepada MPR.[13]

Perubahan ketentuan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dinyatakan dalam Pasal 6A UUD 1945 sebagai berikut :

(1) Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

(2) Pasangan calon Presiden (dan Wakil Presiden) diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

(3) Pasangan calon Presiden (dan Wakil Presiden) yang mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah propinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden (dan Wakil Presiden).

(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan wakil Presiden.

(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.

Keempat, mekanisme impechment yang semakin jelas. Sebelum dilakukan perubahan, dalam pasal-pasal UUD 1945 tidak secara eksplisit memuat ketentuan mengenai impeachment.[14] Instrumen untuk melakukan kontrol ini dapat dilihat dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yang menyatakan, “…Oleh karena itu DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan presiden dan jika Dewan menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh MPR, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungjawab kepada presiden”.

Berdasarkan penguraian tesebut, pelaksanaan SI akan sangat tergantung kepada dua hal. Pertama, adanya pelanggaran haluan negara yang dilakukan oleh presiden dalam bentuk pelanggaran terhadap Undang-undang Dasar, Ketetapan MPR dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, adanya permintaan dari DPR kepada MPR setelah dilakukan Memorandum Pertama dan Memorandum Kedua.

Pengaturan yang ada dalam penjelasan itu untuk pertama kali pernah dipraktekan pada tahun 1967 ketika Presiden Soekarno diminta oleh MPRS untuk mempertanggungjawabkan sebab-sebab terjadinya peristiwa G 30 S/PKI, kemerosotan ekonomi dan akhlak selama era Orde Lama. Presiden Soekarno berusaha menjelaskan semua permintaan MPRS tersebut dalam pidato pertanggungjawaban yang dikenal dengan “Pidato Nawaksara”. Pertanggungjawaban tersebut tidak diterima oleh MPRS. Akibatnya, Presiden Soekarno diberhentikan sebagai presiden. Kemudian, MPRS mengangkat Soeharto sebagai presiden yang baru.

Dibandingkan dengan kejadian yang dialami Presiden Soekarno,[15] pemberhetian Abdurrahman Wahid dalam SI MPR tahun 2001 telah memunculkan perdebatan yang amat mendasar dalam praktek ketatanegaraan Indonesia. Perdebatan ini muncul karena adanya problema UUD 1945 pemberhetian Presiden dalam masa jabatan.[16] Problem ini muncul karena tidak adanya pembagian keanggotaan secara tegas antara lembaga yang meminta penyelenggaraan SI dengan lembaga yang memutus permohonan SI.

Dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat, misalnya, permintaan penyelenggaraan impeachment dilakukan oleh House of Reprsentatives, penilaiannya dilakukan oleh Senate. Di Indonesia permintaan untuk melakukan SI dilakukan oleh DPR, penilaiannya dilakukan oleh MPR. Tetapi MPR yang melakukan penilaian mayoritas anggotanya (dari 700 anggota MPR, 500 berasal dari anggota DPR) berasal dari anggota DPR.

Dengan adanya perubahan UUD 1945, perdebatan-perdebatan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan impechment ke depan dapat dikurangi secara signifikan dengan adanya rumusan kaedah secara lebih jelas dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945, yakni :

Pasal 7A :

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pasal 7B :

(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

(2) Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR.

(3) Pengajuan permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.

(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah permintaan DPR itu diterima Mahkamah Konstitusi.

(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.

(6) MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul tersebut.

(7) Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.

Kelima, hapusnya DPA sebagai salah satu lembaga tinggi negara. Sebelum dilakukan Amandemen Keempat, kedudukan konstitusional DPA sebagai lembaga tinggi negara dapat ditemui dalam Pasal 16 UUD 1945 yang menyatakan bahwa DPA berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Dalam penjelasan Pasal 16 dinyatakan “Dewan ini ialah sebuah Council of State yang berwajib memberi pertimbangan-pertimbangan kepada pemerintah. Ia hanya sebuah badan penasehat belaka”.

Menelaah rumusan yang ada dalam Pasal 16 beserta penjelasannya akan terlihat bahwa DPA tidaklah merupakan lembaga negara yang penting dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Apalagi, adanya anak kalimat dalam penjelasan yang “sengaja” hendak melemahkan posisi DPA yaitu sebagai badan penasihat belaka. Oleh karena itu, menjadi sangat masuk akal menghapus DPA sebagai lembaga negara. Sebagai gantinya, menurut ketentuan Pasal 16 UUD 1945 Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dengan undang-undang. Perubahan ini memberikan klesempatan kepada Presiden untuk dewan pertimbangan, misalnya dalam bentuk Penasihat Presiden.

Keenam, kekuasaan kehakiman tidak hanya dijalankan oleh Mahkamah Agung tetapi juga oleh Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang terhadap undang-undang dan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

Sedangkan Mahkmah Konstitusi, menurut ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Catatan Kritis: Perubahan Menghasilkan Supremasi DPR

Dalam pidato penutupan Sidang Tahunan (ST) 2002 Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais mengatakan bahwa dengan disahkannya Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, MPR telah mengambil putusan yang sangat bersejarah dengan melakukan lompatan besar ke depan bagi bangsa Indonesia. Barangkali, salah satu lompatan besar yang dimaksudkan oleh Amien Rais adalah keberhasilan MPR menata badan legislatif Indonesia dari pola supremasi MPR menjadi sistem bikameral.

Meskipun demikian, hasil perubahan tetap menyisakan persoalan lain yang tidak kalah seriusnya karena ada beberapa pasal hasil perubahan berpotensi merusak mekanisme check and balances.[17] Potensi ini dapat diamati dalam pasal-pasal tentang DPR yang berhubungan dengan DPD maupun dengan lembaga-lembaga negara yang lain.

Pertama, perubahan radikal terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dengan mengurangi secara signifikan kekuasaan Presiden dalam membuat undang-undang menjadi proses politik di DPR sebagai kekuatan paling dominan dalam menerjemahkan rumusan-rumusan normatif yang terdapat dalam UUD. Padahal sebelum dilakukan perubahan, DPR hanya mempunyai fungsi legislasi semu karena lebih diposisikan sebagai “tukang stempel” dalam membuat undang-undang. Semestinya, penguatan posisi DPR dalam proses legislasi harus diikuti dengan pemberian kewenangan kepada Presiden untuk melakukan veto.

Dalam sistem presidensiil Amerika Serikat (AS), misalnya, menurut ketentuan Pasal 1 ayat (7) poin 2 Konstitusi AS menyatakan all bill which shall have passed the House of Representative and the Senate shall, before it becomes a law, be presented to the President of the US ; if he approve, he shall sign it, but if not, he shall return it, with his objections. Penolakan Presiden dapat dimentahkan kalau ternyata 2/3 dari anggota Konggres tetap mendukung rancangan undang-undang (RUU) itu. Dukungan minimal 2/3 anggota Konggres menjadikan veto Presiden tidak mempunyai kekuatan.

Berbeda halnya dengan contoh di atas, supremasi DPR dalam proses legislasi menjadi sangat dominan karena Presiden tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengesahkan RUU. Keharusan bagi Presiden untuk menandatangani semua RUU yang telah disetujui secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 20 ayat (5) bahwa dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak disetujui, RUU itu sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Kedua, adanya rumusan “reaktif” Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR. Pasal ini muncul sebagai reaksi terhadap sikap mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang pernah berupaya untuk membubarkan DPR. Dalam konteks kebutuhan praktik ketatanegaraan ke depan, rumusan ini menjadi tidak masuk akal dengan adanya pilihan untuk tetap mempertahankan sistem presidensiil. Di samping itu, rumusan Pasal 7C dapat menimbulkan pertanyaan mendasar lainnya yaitu mengapa yang dilarang untuk dibekukan dan/atau dibubarkan hanya DPR? Lalu, apakah DPD boleh dibekukan dan/atau dibubarkan oleh Presiden?

Ketiga, beberapa perubahan menempatkan DPR sebagai lembaga penentu kata-putus dalam bentuk memberi “persetujuan” terhadap beberapa agenda kenegaraan, antara lain adalah (1) Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat, (2) peraturan pemerintah pengganti undang-undang, (3) pengangkatan Hakim Agung, (4) pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial. Di samping itu, masih ada agenda lain yang memerlukan “pertimbangan” DPR, antara lain adalah (1) pengangkatan Duta dan Konsul, (2) menerima penempatan duta negara lain, (3) pemberian amnesti dan abolisi.

Kekuasaan ke tangan DPR bertambah banyak dengan adanya kewenangan untuk mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan, misalnya menentukan tiga dari sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi, dan memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di samping itu, DPR juga menjadi lembaga yang paling menentukan dalam proses pengisian lembaga non-state lainnya (auxiliary bodies) seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum. Catatan ini akan bertambah dengan adanya keharusan untuk meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri).

Dominasi posisi DPR tidak hanya terhadap lembaga-lembaga di luar legislatif tetapi juga terjadi terhadap DPD. Dengan terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD, sulit dibantah bahwa keberadaan lembaga negara ini lebih merupakan sub-ordinasi dari DPR. Sebagai representasi kepentingan daerah, DPD secara limitatif hanya diberikan kewenangan untuk mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Bahkan dalam fungsi legislasi, Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 memberi garis demarkasi secara tegas bahwa kekuasaan membuat undang-undang hanya menjadi monopoli DPR.

Keterbatasan itu memberi makna, gagasan menciptakan dua kamar dengan kekuatan berimbang untuk mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan gagal karena perubahan UUD 1945 yang bias kepentingan DPR. Kegagalan ini akan berdampak pada melemahnya artikulasi politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional. Dengan demikian sulit membantah sinyalemen bahwa keberadaan DPD hanya sebagai pelengkap dalam sistem perwakilan.

Di banyak negara yang memakai sistem bikameral, DPD (senate atau upper house) diberikan kewenangan yang besar untuk mengimbangi posisi DPR (house of representative). Misalnya di Austarlia, paling tidak, senat mempunyai dua fungsi utama yakni, pertama, meneliti ulang setiap RUU yang diajukan oleh DPR, dan kedua, melalui three-fold committee system mempunyai kekuasaan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam fungsi legislasi, senat mempunyai kekuasaan yang sama dengan DPR untuk mengajukan RUU. Bahkan, setiap anggota senat berhak mengajukan suatu RUU.[18]

Mencermati pergeseran kekuasaan yang sangat besar di atas, perubahan UUD 1945 secara samar-samar mendorong DPR menjadi lembaga negara yang supreme di antara lembaga-lembaga negara yang ada. Kenyataan ini sulit untuk dibantah karena hampir semua kekuasaan negara bertumpu ke DPR. Besar kemungkinan, dalam praktik ketatanegaraan ke depan akan muncul concentration of power and responsibility upon the DPR, seperti kekuasaan Presiden di bawah UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen.

Kalau pada awalnya ada anggapan bahwa perubahan UUD 1945 menggeser paradigma dari executive heavy menjadi legislative heavy, melihat pergeseran yang terjadi, anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Yang terjadi sesungguhnya adalah DPR heavy karena kehadiran DPD –sebagai salah satu kamar di legislatif-- hanya sebagai pelengkap penderita dalam sistem perwakilan. Dalam beberapa waktu ke depan, ketika rumusan normatif UUD harus dituangkan dalam bentuk undang-undang, DPR masih mempunyai kesempatan untuk memperkuat supremasinya. Melihat dominasi DPR dalam proses legislasi, sulit membendung lembaga ini untuk bergerak lebih jauh.

Penutup

Semua yang disampaikan dalam pertemuan ini masih merupakan telaah awal. Untuk melakukan kajian secara sempurna masih harus menunggu beberapa undang-undang sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Dasar 1945. Analis yang dilakukan dalam makalah ini masih terbatas pada analisi content di tingkat konstitusi. Oleh karena itu, bagi kalangan yang menekuni perkembangan hukum tata negara, penterjamahan lebih lanjut dan mendalam akan sangat ditentukan juga oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah untuk memahami secara sempurna implikasi yang ditimbulkan dari perubahan UUD 1945.

DAFTAR REFERENSI

Abdul Rohim Ghazali, 2001, Pemilihan Presiden Langsung untuk Indonesia, dalam Kompas 10 November.

Adnan Buyung Nasution, 1992, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia : a Socio-Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959, Rijkuniversiteit, Utrecht.

Agus Haryadi, 2002, Bikameral Setengah Hati, dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra dan Marwan Mas (Edit.), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka Sinar Harapan dan Koalisi untuk Konstitusi Baru, Jakarta.

Azumlia Rifai, 1994, Pengantar Konstitusi Australia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

A. Malik Haramain, 2001, Urgensi Pemilihan Presiden Langsung, dalam Kompas 31 Oktober.

Denny Indrayana, 2001, Problema Konstitusi Pemberhentian Presiden, dalam harian Kompas, 27 Juli.

Jimly Asshiddiqie, 2001, Pengantar Perubahan Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, disampaikan sebagai bahan masukan untuk badan Pekerja (BP) MPR, di Jakarta.

Mohammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan undang-undang Dasar 1945, Yayasan Prapandja, Jakarta.

Ramlan Surbakti, 2002, Menuju Demokrasi Konstitusional: Reformasi Hubungan dan Distribusi Kekuasaan, dalam Maruto MD & Anwari WMK (Edit.), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, LP3ES, Jakarta.

Saldi Isra, 2001, Konstitusi Baru : Agenda Mendesak, dalam Republika, 24 Agustus, Jakarta.

------------, 2001, Pemilihan Presiden Langsung, dalam Kompas 24 September.

------------, 2002, Konstitusi Baru: Salah Satu Upaya Menyelamatkan Indonesia dari Keterpurukan, Makalah Disampaikan dalam Diskusi “Menyelamatkan Indonesia dari Keterpurukan, Refleksi Kaum Muda atas Demokrasi, Civil Society dan Pluralisme” yang dilaksanakan Harian Umum Kompas, di Ciloto-Puncak, Jawa Barat 27-29 Mei 2002.

-----------, 2002, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi: Memastikan Arah Reformasi Konstitusi, dalam Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, Nomor 2, Jakarta.

Samidjo, 1986, Ilmu Negara, Armico, Bandung.

Soehino, 1986, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta.

Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia, Jakarta.



[1] Makalah ini sudah dipersentasikan dalam seleksi Dosen Teladan Tingkat Universitas Andalas Tahun 2002, di Kampus Limau Manih, Padang 09 September 2002. Pokok-pokok pikiran yang sama juga pernah disampaikan dalam dalam Penataran Dosen Ilmu Hukum KOPERTIS Wilayah X (Sumatera Barat, Riau dan Jambi), di Padang 30 Agustus 2002.

[2] Saldi Isra, 2002, Konstitusi Baru: Salah Satu Upaya Menyelamatkan Indonesia dari Keterpurukan, Makalah Disampaikan dalam Diskusi “Menyelamatkan Indonesia dari Keterpurukan, Refleksi Kaum Muda atas Demokrasi, Civil Society dan Pluralisme” yang dilaksanakan Harian Umum Kompas, di Ciloto-Puncak, Jawa Barat 27-29 Mei 2002.

[3] Jimly Asshiddiqie, 2001, Pengantar Perubahan Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, disampaikan sebagai bahan masukan untuk badan Pekerja (BP) MPR, di Jakarta.

[4] Sebagian besar bagian ini diambil dari Saldi Isra, 2002, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi: Memastikan Arah Reformasi Konstitusi, dalam Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, Nomor 2, Jakarta.

[5] Mohammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan undang-undang Dasar 1945, Yayasan Prapandja, Jakarta.

Pernyataan ini diulangi kembali oleh Soekarno dalam pelantikan anggota Konstituante pada tanggal 10 November 1956 sebagai berikut :

“Kita bukan tidak punya konstitusi, malahan dengan konstitusi yang berlaku sekarang (maksudnya: UUD Sementara 1950) kita sudah mempunyai tiga konstitusi. Tapi semua konstitusi (UUD 1945, KRIS 1949 dan UUD Sementara 1950) adalah bersifat sementara. Semua konstitusi itu bukanlah hasil permusyawaratan antara anggota-anggota sesuatu konstituante yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Semua konstitusi itu adalah buatan sarjana konstitusi, atas amanat pemerintah. Tapi semua negara hukum yang demokratis, menghendaki sebagai syarat mutlak sebuah konstitusi yang dibuat oleh tangan rakyat sendiri”.

Keterangan ini dapat dilihat dalam Adnan Buyung Nasution, (1992) The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia : a Socio-Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959, Rijkuniversiteit, Utrecht.

[6] Saldi Isra, 2001, Konstitusi Baru : Agenda Mendesak, dalam Republika, 24 Agustus, Jakarta.

[7] Lord Shang dalam bukunya “A Classic of the Chinese School of Law” mengatakan :

“a weak people means a strong state. A strong state means a weak people. Therefore a country, which has the right way, is concerned with the weaking people”.

Ajaran ini mencoba mempertentangkan antara negara dengan rakyat, termasuk juga mempertentangkan antara kedaulatan negara dengan kedaulatan rakyat. Keterangan lebih lanjut tentang ajaran ini dapat dibaca dalam Samidjo, 1986, Ilmu Negara, Armico, Bandung.

[8] Penghapusan ini secara implisit terdapat dalam Pasal II Aturan Tambahan yang menyatakan dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.

[9] Kalau diteliti lebih jauh, dalam hal hubungan negara dan masyarakat, konsep kedaulatan Jean Bodin sangat dipengarui oleh cara pandang Niccolo Machiavelli. Menurut Jean Bodin kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi terhadap para warga negara dan rakyatnya tanpa ada sesuatu pembatasan apapun dari undang-undang. Lebih jauh, baca dalam Soehino, 1986, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta.

[10] Ramlan Surbakti, 2002, Menuju Demokrasi Konstitusional: Reformasi Hubungan dan Distribusi Kekuasaan, dalam Maruto MD & Anwari WMK (Edit.), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, LP3ES, Jakarta.

[11] Agus Haryadi, 2002, Bikameral Setengah Hati, dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra dan Marwan Mas (Edit.), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka Sinar Harapan dan Koalisi untuk Konstitusi Baru, Jakarta.

[12] Alasan senada pernah juga dikemukakan oleh A. Malik Haramain, 2001, Urgensi Pemilihan Presiden Langsung, dalam Kompas 31 Oktober; dan Abdul Rohim Ghazali, 2001, Pemilihan Presiden Langsung untuk Indonesia, dalam Kompas 10 November.

[13] Saldi Isra, 2001, Pemilihan Presiden Langsung, dalam Kompas 24 September.

[14] Dalam Article II Section Four Konstitusi Amerika Serikat disebutkan, “The President of the United States shall be removed from office on impeachment for, and conviction of, treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors”. Bila tuduhan yang dibuat oleh House of Representative terbukti dalam pemeriksaan di Senate yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung dan disetujui oleh minimal 2/3 Senate maka Presiden akan dipecat dari jabatannya.

[15] Lebih jauh tentang pemberhetian Soekarno, baca Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia, Jakarta.

[16] Lebih jauh baca, Denny Indrayana, 2001, Problema Konstitusi Pemberhentian Presiden, dalam harian Kompas, 27 Juli.

[17] Dari analisis penulis, selain pasal-pasal tentang DPR masih ada pasal-pasal lain yang berpotensi menimbulkan konflik seperti Pasal 24 tentang Kekuasaan Kehakiman terutama yang terkait dengn kewenangan Mahkamah Agung dan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Atau beberapa pasal tentang Hak Asasi Manusia. Untuk keperluan tulisan ini, penulis sengaja memilih pasal-pasal tentang DPR dan DPD untuk lebih mudah dijelaskan.

[18] Azumlia Rifai, 1994, Pengantar Konstitusi Australia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.