Amandemen Lembaga Legislatif dan Eksekutif:

Prospek dan Tantangan[1]

Oleh Saldi Isra[2]

 

Pendahuluan

Dalam pidato penutupan Sidang Tahunan (ST) 2002 Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais mengatakan bahwa dengan disahkannya Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, MPR telah mengambil putusan yang sangat bersejarah dengan melakukan lompatan besar ke depan bagi bangsa Indonesia (Kompas, 12/08-2002). Lebih lanjut Amien Rais menegaskan:

“Reformasi konstitusi yang telah dilakukan merupakan suatu langkah besar demokrasi dalam upaya menyempurnakan UUD 1945 menjadi konstitusi yang demokratis, konstitusi yang sesuai dengan semangat zaman, konstitusi yang mampu mewadahi dinamika bangsa dan perubahan zaman pada masa yang akan datang. Dengan UUD yang telah diamendir, di hadapan kita telah terbentang suatu era Indonesia baru yang lebih demokratis dan lebih maju”.

Melihat sejarah perkembangan ketetanegaraan Indonesia, pidato Ketua MPR itu dapat dipahami dalam konteks keterlambatan melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Meskipun sejak awal kemerdekaan para pendiri negara sudah secara eksplisit menyatakan bahwa UUD 1945 adalah konstistusi yang bersifat sementara. Bahkan, Soekarno menyebutnya sebagai UUD kilat atau revolutiegrondwet.[3] Karena keterlambatan itu, selama hampir setengah abad (1945-1949 dan 1959-2002), perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia terperangkap dalam sifat kesementaraan UUD 1945.

Meskipun berhasil keluar dari perangkap kesementaraan, lompatan besar yang dimaksudkan oleh Amien Rais masih harus diletakkan dalam tanda petik karena ada kecenderungan beberapa pasal hasil perubahan membuka peluang untuk terjadinya krisis ketatanegaraan.[4] Misalnya, untuk lembaga legislatif, hasil amandemen tetap berpotensi merusak mekanisme check and balances karena keberhasilan menghapus pola supremasi MPR tidak dengan sendirinya menciptakan keseimbangan di antara semua lembaga legislatif. Yang cukup menggembirakan, adanya perubahan radikal dalam proses pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden yaitu dengan mengganti proses pemilihan dengan sistem perwakilan menjadi pemilihan langsung (direct electoral system).

Amandemen UUD 1945 membawa implikasi yang sangat luas terhadap semua lembaga negara. Pada salah satu sisi, ada lembaga negara yang mendapat tambahan ‘darah baru’ yaitu dengan bertambahnya kewenangan secara signifikan di dalam konstitusi. Sementara di sisi lain, ada pula lembaga negara yang mengalami pengurangan kewenangan dibandingkan sebelum amandemen.

Tulisan berikut ini hendak mengupas hasil amandemen terhadap lembaga legislatif dan eksekutif. Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan kuatnya tarik-ulur terhadap amandemen pasal-pasal yang terkait dengan lembaga legislatif dan eksekutif. Tarik ulur itu berimplikasi pada masalah politik dan praktik ketatanegaraan ke depan. Ada dua pertanyaan yang hendak dijawab. Pertama, sejauh mana perubahan terhadap kedua cabang kekuasaan itu menyentuh masalah-masalah yang krusial. Kedua, sejauh mana implikasinya dalam proses penyelenggaraan negara.

Hasil Amandemen UUD 1945

Amandemen Pertama yang dilakukan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 telah melakukan perubahan terhadap 9 pasal yang meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, dan Pasal 21.

Pasal-pasal yang diperbaiki dalam Amandemen Pertama lebih memberikan penekanan pada perdebatan yang muncul pada awal kejatuhan rezim Soeharto. Misalnya, UUD 1945 tidak secara eksplisit memberikan pembatasan periodesasi masa jabatan Presiden. Pasal 7 UUD 1945 hanya menentukan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Oleh karena itu, untuk mempertegas pembatasan masa jabatan Presiden dilakukan amandemen terhadap Pasal 7 UUD 1945 bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatannya yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Di samping itu, Amandemen Pertama juga mengurangi secara mendasar kecenderungan executive heavy yang terdapat dalam UUD 1945. Pengurangan itu dilakukan dengan dua cara. Pertama, melakukan amandemen terhadap pasal-pasal yang terkait dengan DPR. Misalnya dalam pengangkatan Duta Besar, Presiden mempunyai keharusan untuk memperhatikan pertimbangan DPR, atau dalam memberikan Amnesti dan Abolisi Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR. Kedua, mengamandemen pasal-pasal yang terkait dengan kekuasaan Presiden. Misalnya, berkurangnya dominasi Presiden dalam membentuk undang-undang.

Sementara itu, dalam Amandemen Kedua dilakukan perubahan sebanyak 7 bab dan 25 pasal dalam UUD 1945. Perubahan itu meliputi: Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X, Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C.

Sebagai kelanjutan dari perubahan pertama, Amandemen Kedua melakukan perubahan untuk tiga hal yang amat mendasar. Pertama, memberikan landasan yang lebih kokoh terhadap keberadaan daerah dan pemerintahan daerah. Ini dapat dilihat dengan melakukan perubahan besar terhadap Pasal 18 UUD 1945. Kedua, melanjutkan usaha penguatan terhadap peranan DPR dalam proses penyelenggaraan negara Indonesia. Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B adalah penguatan yang “luar biasa” terhadap DPR. Ketiga, memberikan penambahan yang lebih luas terhadap ketentuan hak asasi manusia yang dirasakan amat terbatas dalam UUD 1945.

Kemudian dilanjutkan dengan Amandemen Ketiga yang meliputi Pasal 1 ayat (2) dan (3); Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4); Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5); Pasal 7A; Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7); Pasal 7C; Pasal 8 ayat (1) dan (2); Pasal 11 ayat (2) dan (3); Pasal 17 ayat (4); Bab VIIA; Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab VIIB; Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6); Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23A; Pasal 23C; Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23F ayat (1) dan (2); Pasal 23G ayat (1) dan (2); Pasal 24 ayat (1) dan (2); Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 24B ayat (1), (2), (3), dan (4); dan Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6).

Perubahan dan penambahan yang dilakukan dalam Amandemen Ketiga lebih tertuju pada lembaga-lembaga negara. Misalnya (1) pergantian proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dari pola pemilihan dengan sistem perwakilan (di MPR) menjadi proses pemilihan langsung, (2) perbaikan terhadap pola pertanggungjawaban Presiden untuk dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya, (3) pembaharuan terhadap lembaga legislatif dari sistem unikameral menjadi sistem bikameral, dan (4) mengakomodasi kehadiran “lembaga baru” yaitu Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court).

Terakhir, Amandemen Keempat lebih merupakan penyelesaian terhadap bagain-bagian yang masih tersisa dalam amandemen sebelumnya. Perubahan itu meliputi: Pasal 2, Pasal 6A ayat (4), Pasal 8 ayat (3), Pasal 23B, Pasal 24 ayat (3), Pasal 31 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 32 ayat (1) dan (2), Pasal 33 ayat (4) dan (5), Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5). Perubahan terhadap Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan serta pencabutan terhadap Penjelasan UUD 1945.

Lembaga Legislatif

Dari semua rangkaian amandemen itu, legislatif termasuk lembaga negara yang paling banyak mengalami perubahan. Perubahan itu tidak hanya menyangkut kewenangan tetapi adanya penataan ulang dari sistem unikameral dengan supremasi MPR menuju sistem bikameral. Keberadaan MPR masih tetap dipertahankan tetapi hanya sebatas joint-session antara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan DPR.

1. Dewan Perwakilan Rakyat

Perubahan radikal terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (1) bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan kepada DPR telah mengurangi secara signifikan kekuasaan Presiden dalam membuat undang-undang. Perubahan ini penting artinya karena undang-undang adalah produk hukum yang paling dominan untuk menerjemahkan rumusan-rumusan normatif yang terdapat dalam UUD 1945. Perubahan Pasal 5 ayat (1) diikuti dengan perubahan Pasal 20 UUD 1945.

(1) Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang.

(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.

(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari sejak rancangan undang-undang itu disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi uandang-undang dan wajib diundangkan.

Penguatan posisi DPR dalam proses legislasi menggeser praktik yang ada selama ini. Sebelum dilakukan perubahan, DPR hanya mempunyai fungsi legislasi semu karena lebih diposisikan sebagai ‘tukang stempel’ dalam membuat undang-undang. Keharusan menandatangani semua rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama dalam waktu tiga puluh hari menempatkan Presiden dalam pressure DPR.[5] Semestinya, penguatan posisi DPR dalam proses legislasi harus diikuti dengan pemberian kewenangan kepada Presiden untuk melakukan veto.

Dalam sistem presidensiil Amerika Serikat (AS), misalnya, Presiden dapat menolak seluruh bill yang diajukan oleh House of Representative and the Senate. Penolakan ini secara tegas ditentukan dalam Pasal 1 ayat (7) poin 2 Konstitusi AS, all bill which shall have passed the House of Representative and the Senate shall, before it becomes a law, be presented to the President of the US ; if he approve, he shall sign it, but if not, he shall return it, with his objections. Penolakan Presiden dapat dimentahkan kalau ternyata 2/3 dari anggota Konggres tetap mendukung rancangan undang-undang itu. Dukungan minimal 2/3 anggota Konggres menjadikan veto Presiden tidak mempunyai kekuatan.

Tidak hanya dalam proses legislasi, hasil amandemen menempatkan DPR sebagai lembaga penentu kata-putus dalam bentuk memberi “persetujuan” terhadap beberapa agenda kenegaraan. Pertama, berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (1) Presiden dalam menyatakan perang, membuat perdamaian, perjanjian dengan negara lain; dan Pasal 11 ayat (2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara. Kedua, berdasarkan ketentuan Pasal 22 dalam menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) menjadi undang-undang. Ketiga, berdasarkan ketentuan Pasal 24A ayat (3) dalam pengangkatan Hakim Agung. Keempat, berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (3) dalam pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial.

Di samping itu, beberapa hasil amandemen juga memberikan kewenangan lain dalam bentuk “pertimbangan” kepada DPR. Pertama, berdasarkan ketentuan Pasal 13 Presiden dalam (1) pengangkatan Duta dan Konsul, dan (2) menerima penempatan duta negara lain. Kedua, berdasarkan ketentuan Pasal 15 dalam pemberian amnesti dan abolisi.

Kekuasaan ke tangan DPR bertambah banyak dengan adanya kewenangan untuk mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan. Pertama, berdasarkan ketentuan Pasal 23F ayat (1) dalam hal memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kedua, berdasarkan ketentuan Pasal 24C adalah hal menentukan tiga dari sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi. Ketiga, menjadi institusi yang paling menentukan dalam proses pengisian lembaga non-state lainnya (auxiliary bodies) seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum. Catatan ini akan bertambah dengan adanya keharusan untuk meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri).

2. Dewan Perwakilan Daerah

Dominasi posisi DPR tidak hanya terhadap lembaga-lembaga di luar legislatif tetapi juga terjadi terhadap DPD. Misalnya, dalam hal fungsi legislasi, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (1) memberi garis demarkasi secara tegas bahwa kekuasaan membuat undang-undang hanya menjadi monopoli DPR. Garis demarkasi itu diperparah dengan terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22 D, DPD hanya mempunyai kewenangan.

(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) Dewan Perwakilan daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama.

(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Dengan terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD, sulit dibantah bahwa keberadaan lembaga negara ini lebih merupakan sub-ordinasi dari DPR. Keterbatasan itu memberi makna, gagasan menciptakan dua kamar dengan kekuatan berimbang untuk mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan gagal karena perubahan UUD 1945 yang bias kepentingan DPR. Kegagalan ini akan berdampak pada melemahnya artikulasi politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional. Dengan demikian sulit membantah sinyalemen bahwa keberadaan DPD hanya sebagai pelengkap dalam sistem perwakilan. Padahal, dalam sistem bikameral, semestinya masing-masing kamar diberikan kewenangan yang relatif berimbang dalam rangka menciptakan mekanisme checks and balances. Melihat keterbatasan itu, Ramlan Surbakti menilai bahwa keterwakilan daerah dalam MPR sangat tidak efektif dalam mewujudkan aspirasi dan kepentingan daerah.[6]

Di samping itu, munculnya rumusan “reaktif” Pasal 7C yang menyatakan bahwa Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR. Sulit dibantah, Pasal 7C muncul sebagai reaksi terhadap sikap mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang pernah berupaya untuk membubarkan DPR. Dalam konteks kebutuhan praktik ketatanegaraan ke depan, rumusan ini menjadi tidak masuk akal dengan adanya pilihan untuk tetap mempertahankan sistem presidensiil. Di samping itu, rumusan Pasal 7C dapat menimbulkan pertanyaan mendasar lainnya yaitu mengapa yang dilarang untuk dibekukan dan/atau dibubarkan hanya DPR? Lalu, apakah DPD boleh dibekukan dan/atau dibubarkan oleh Presiden?

Dari awal banyak yang berharap agar kehadiran DPD mampu memberikan alternatif solusi atas pola penataan sistem politik sentralistik sepanjang lima dasawarsa terakhir. Menurut Agus Haryadi, kalau penataan itu dilakukan dengan benar, babak baru perjalanan sistem ketatanegaraan akan jauh lebih bermakna ketika devolusi dan dekonsentrasi menjadi ciri inheren dalam melahirkan kebijakan publik karena berkorelasi positif dengan perluasan partisipasi melalui keberadaan DPD.[7] Ini hanya mungkin terjadi kalau sistem bikameral dapat menciptakan keseimbangan antara lembaga-lembaga negara sehingga mekanisme checks and balances berjalan tanpa adanya sebuah lembaga yang mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari yang lainnya.

Di banyak negara yang memakai sistem bikameral, DPD (senate atau upper house) diberikan kewenangan yang besar untuk mengimbangi posisi DPR (house of representative). Misalnya di Austarlia, paling tidak, senat mempunyai dua fungsi utama. Pertama, meneliti ulang setiap rancangan undang-undang yang diajukan oleh Majelis Rendah, yaitu House of Representatives (DPR). Dan, kedua, melalui three-fold committee system[8] mempunyai kekuasaan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam fungsi legislasi, senat mempunyai kekuasaan yang sama dengan DPR untuk mengajukan RUU. Bahkan, setiap anggota senat berhak mengajukan suatu RUU.[9]

Mencermati pergeseran kekuasaan yang sangat besar di atas, perubahan UUD 1945 secara samar-samar mendorong DPR menjadi lembaga negara yang supreme di antara lembaga-lembaga negara yang ada. Kenyataan ini sulit untuk dibantah karena hampir semua kekuasaan negara bertumpu ke DPR. Besar kemungkinan, dalam praktik ketatanegaraan ke depan akan muncul concentration of power and responsibility upon the DPR, seperti kekuasaan Presiden di bawah UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen.

Kalau pada awalnya ada anggapan bahwa perubahan UUD 1945 mengganti paradigma dari executive heavy menjadi legislative heavy, melihat pergeseran yang terjadi, anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Yang terjadi sesungguhnya adalah DPR heavy karena kehadiran DPD –sebagai salah satu kamar di legislatif-- hanya sebagai pelengkap penderita dalam sistem perwakilan. Dalam beberapa waktu ke depan, ketika rumusan normatif UUD harus dituangkan dalam bentuk undang-undang, DPR masih mempunyai kesempatan untuk memperkuat supremasinya.

3. MPR sebagai joint-session

MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan rakyat tertinggi. Penghapusan sistem lembaga tertinggi negara adalah upaya logis untuk keluar dari perangkap design ketatanegaraan yang rancu dalam menciptakan mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga negara. Selama ini, model MPR sebagai “pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya” telah menjebak Indonesia dalam pemikiran-pemikiran kenegaraan yang berkembang pasca-abad pertengahan untuk membenarkan kekuasaan yang absolut.[10] Model supremasi MPR lebih dekat kepada teori Jean Bodin bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi terhadap warga negara tanpa ada pembatasan bersifat ‘tunggal’, ‘asli’, ‘abadi’, dan ‘tidak dapat dibagi-bagi’.

Perubahan ini dapat dilihat dari adanya keberanian untuk ‘memulihkan’ kedaulatan rakyat dengan mengamandemen Pasal 1 ayat (2) bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Hilangnya predikat MPR sebagai ‘pemegang’ kedaulatan rakyat, diikuti langkah besar lainnya yaitu dengan mengamandemen ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongan-golongan menjadi MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum. Perubahan terhadap Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (1) berimplikasi pada reposisi peran MPR dari lembaga tertinggi negara (supreme body) menjadi sebatas sidang gabungan (joint session) antara DPR dan DPD.

Kalau ditelaah lebih jauh, yang terjadi tidak hanya reposisi peran MPR tetapi juga berimplikasi pada kewenangan MPR. Berdasarkan hasil amandemen, peran MPR menjadi sangat terbatas jika dibandingkan dengan sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Pertama, berwenang mengubah dan menetapkan UUD (Pasal 3 ayat (1)). Kedua, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 3 ayat (2)). Ketiga, memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD (Pasal 3 ayat (3)). Keempat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, MPR memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan[11] oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya (Pasal 8 ayat (3)).

Lembaga Eksekutif

Sebelum dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 ada dua masalah mendasar yang selalu menjadi perhatian para pengkaji hukum tata negara. Pertama, UUD 1945 memberikan kekuasaan yang luar biasa kepada eksekuitif (executive heavy). Kedua, sepanjang sejaran berlakunya UUD 1945, belum pernah dilakukan pengisian jabatan puncak eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) secara “wajar”.[12]

Untuk masalah pertama, perubahan terhadap posisi lembaga legislatif telah memberikan dampak yang sangat besar yaitu berkurangnya kekuasaan eksekuitif secara signifikan dalam proses penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, bagian ini hanya akan menguraikan pengaruh hasil amandemen terhadap proses pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

Sebelum dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, pada awal Era Reformasi dilakukan beberapa perubahan yang terkait dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Pertama, pembatasan terhadap masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden melalui Tap MPR No. XIII/ MPR/ 1998. Kedua, perbaikan terhadap Tap MPR No. II/ MPR/ 1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI dengan Tap MPR No. VI/ MPR/ 1999 tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI.

Kehadiran Tap MPR No. VI/ MPR/ 1999 tidak mampu menghalangi kesadaran kolektif bangsa ini, sistem perwakilan harus diganti dengan pemilihan langsung. ‘Pengalaman pahit’ pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden dengan sistem perwakilan menjadi raison d’etre pemilihan langsung.[13]

Pertama, Presiden yang terpilih melalui pemilihan langsung akan mendapat mandat dan dukungan yang lebih riil rakyat sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih dengan tokoh yang dipilih. Kemauan orang-orang yang memilih (volonte generale) akan menjadi pegangan bagi Presiden dalam melaksanakan kekuasaannya. Di samping itu, pemilihan Presiden langsung akan memberikan kesempatan yang luas kepada rakyat untuk menentukan pilihan secara langsung tanpa mewakilkan kepada orang lain. Kecenderungan dalam sistem perwakilan adalah terjadinya penyimpangan antara aspirasi rakyat dengan wakilnya. Ini semakin diperparah oleh dominannya pengaruh partai politik yang telah mengubah fungsi wakil rakyat menjadi wakil partai politik.

Kedua, pemilihan Presiden langsung secara otomatis akan menghindari intrik-intrik politik dalam proses pemilihan dengan sistem perwakilan. Intrik politik akan dengan mudah terjadi dalam sistem multipartai. Apalagi kalau pemilihan umum tidak menghasilkan partai pemenang mayoritas, maka tawar-tawar politik menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan.

Ketiga, pemilihan langsung dapat menciptakan perimbangan antara berbagai kekuatan dalam penyelenggaraan negara terutama dalam menciptakan mekanisme checks and balances antara Presiden dengan lembaga perwakilan karena sama-sama dipilih oleh rakyat. Selama ini, MPR menjadi sumber kekuasaan dalam negara. Kekuasaan itulah yang dibagi-bagikan secara vertikal kepada lembaga-lembaga tinggi negara lain termasuk kepada Presiden. Akibatnya, kelangsungan kedudukan Presiden sangat tergantung kepada MPR.

Keinginan sebagian besar publik untuk melakukan pemilihan langsung sudah tidak mungkin dihindari lagi. Meskipun demikian, sebagian kekuatan politik di MPR tetap berupaya agar pemilihan langsung dalam arti yang sesungguhnya tidak terjadi. Misalnya, menjelang dan saat ST MPR 2001 muncul gagasan ‘pemilihan langsung plus’, yaitu (1) calon Presiden dan Wakil Presiden dipilih dulu di MPR baru kemudian diserahkan kepada rakyat untuk memilih di antara calon-calon yang telah dipilih dalam proses politik di MPR, dan (2) calon Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih terlebih dulu oleh rakyat kemudian dipilih lagi oleh MPR (Kompas, 11/09-2001). Arah gagasan ini mudah ditebak, lembaga perwakilan (MPR) tetap mempunyai peran sentral dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Kritikan luas terhadap sikap sebagian besar kekuatan politik di MPR tidak mampu mengubah keinginan MPR secara mendasar. Ini terbukti, dalam ST MPR 2001 lembaga ini hanya mampu melakukan amandemen ‘setengah jadi’ yaitu dengan menyepakati Pasal 6A ayat (1), (2) dan ayat (3) :

1. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

2. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

3. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah propinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Meskipun sudah ada kesepakatan untuk melakukan pemilihan Presiden langsung yang akan dimulai pada tahun 2004, masih ada satu persoalan lain yang masih tersisa yaitu bagaimana jika tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang dapat memenuhi persyaratan dalam ayat (3)? ST MPR 2001 hanya ‘mampu’ menyepakati dua alternatif untuk diselesaikan dalam ST MPR 2002. Pertama, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh MPR dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden (dan Wakil Presiden). Kedua, dua pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih lagi oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden (dan Wakil Presiden).

Setelah menunggu hampir satu tahun, dan setelah melalui proses yang sangat alot, ST MPR 2002 berhasil menyepakati alternatif kedua bahwa “dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih langsung oleh rakyat, dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden”. Sebetulnya, kalau ada kesadaran akan makna pemilihan langsung, pemilihan alternatif itu tidak perlu menunggu waktu satu tahun karena alternatif kedua itu adalah konsekwensi logis dari Pasal 6A ayat (1).

Kalau dibaca dengan teliti, perubahan pengisian jabatan puncak eksekutif tidak hanya dilakukan terhadap proses pemilihan tetapi juga menyangkut syarat-syarat umum untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 6 ayat (1) syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden adalah (1) warga negara Indonesia yang sejak kelahirannya tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, (2) tidak pernah mengkhianati negara, serta (3) mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wapres. Yang perlu dicatat secara khusus adalah, hilangnya syarat ‘orang Indonesia asli’.

Penghapusan frasa ‘orang Indonesia asli’ tidak saja menghilangkan diskriminasi tetapi juga adanya kesadaran sejarah bahwa pada suatu ketika negeri ini pernah tidak membedakan antara ‘orang Indonesia asli’ dengan ‘orang Indonesia bukan asli’.[14] Misalnya, dalam Pasal 45 ayat (5) Konstitusi RIS hanya menentukan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus warga negara Indonesia yang telah berusia 30 tahun. Hal yang sama juga ditemukan dalam Pasal 69 ayat (3) UUD Sementara 1950 yang menyatakan bahwa Presiden harus orang Indonesia yang telah berusia 30 tahun.

Persoalan krusial lainnya adalah menyangkut pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Sebelum dilakukan perubahan, pasal-pasal UUD 1945 tidak secara eksplisit memuat ketentuan mengenai hal ini. Instrumen untuk melakukan kontrol ini dapat dilihat dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yang menyatakan, “…Oleh karena itu DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan presiden dan jika Dewan menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh MPR, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungjawab kepada presiden”. Dengan adanya perubahan UUD 1945, alasan-alasan untuk melakukan “impeachment”[15] menjadi lebih jelas[16] meskipun proses pelaksanaannya berpotensi menimbulkan perdebatan baru.[17]

Penutup

Dari telaah di tingkat konstitusi, lembaga legislatif pasca-amandemen UUD 1945 masih belum akan mampu mewujudkan mekanisme checks and balances dalam makna yang hakiki. ‘Langkah besar’ menyempurnakan UUD 1945 lebih merupakan menggeser pendulum dari supremasi MPR kepada supremasi DPR. Banyak yang berharap, agar Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD dan DPR Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota mampu menutupi kekurangan yang terdapat dalam UUD 1945.[18] Harapan ini hanya mungkin dilakukan kalau mayoritas anggota DPR memiliki kesadaran untuk menciptakan sistem ketatanegaraan yang lebih baik demi masa depan negeri ini.

Tampaknya, harapan untuk menutupi kelemahan-kelemahan yang ada di tingkat konstitusi melalui undang-undang, akan sulit terwujud. Melihat kecenderungan proses legislasi di DPR, beberapa rancangan undang-undang dengan sengaja mengebiri rumusan yang ada di dalam UUD 1945. Misalnya, Pasal 5 ayat (4) draf Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden[19] hanya memberi peluang kepada partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum yang mendapatkan suara 20% pemilihan legislatif nasional yang dapat mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.[20] Padahal, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 membuka ruang kepada semua partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum untuk mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Secara jujur harus diakui, beberapa pasal hasil perubahan yang terkait dengan lembaga-lembaga negara masih mempunyai banyak kelemahan. Kalaupun ada rumusan yang lebih prospektif, muncul upaya mengebirinya melalui undang-undang. Oleh karena itu, ada dua tantangan yang harus dihadapi, pertama, ‘menjaga’ setiap rancangan undang-undang agar tidak mengebiri hasil amandemen. Jika perlu, mendesak DPR untuk memperbaiki kelemahan-kelemehan yang dalam UUD 1945 melalui undang-undang. Kedua, ke depan, tetap diupayakan reformasi konstitusi di second generation oleh sebuah institusi yang terbebas dari kepentingan politik jangka pendek. Misalnya, perubahan itu dilakukan oleh sebuah Komisi Konstitusi yang independen.

DAFTAR BACAAN

Agus Haryadi, 2002, Bikameral Setengah Hati, dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra dan Marwan Mas (Edit.), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka Sinar Harapan dan Koalisi untuk Konstitusi Baru, Jakarta.

Azumlia Rifai, 1994, Pengantar Konstitusi Australia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Jimly Asshiddiqie, (2002), Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Mohammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan undang-undang Dasar 1945, Yayasan Prapandja, Jakarta.

Ramlan Surbakti, 2002, Menuju Demokrasi Konstitusional: Reformasi Hubungan dan Distribusi Kekuasaan, dalam Maruto MD & Anwari WMK (Edit.), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, LP3ES, Jakarta.

Saldi Isra, 2001, Pemilihan Presiden Langsung, dalam Kompas 24 September, Jakarta.

________, 2002, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi: Memastikan Arah Reformasi Konstitusi, dalam Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, Nomor 2, Jakarta.

________, 2002, Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat, dalam Kompas 02 September, Jakarta.

________, 2002, Perkembangan Pengisian jabatan Presiden di Bawah Undang-Undang Dasar 1945, dalam Jurnal Legality, Vol. 10, No. 1, Februari-Agustus, Universitas Muhammadiyah, Malang.

________, 2002, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan Implikasinya Terhadap Sistem Ketatanegaraan Indomesia, dalam Jurnal Respublika, Vol.2, Oktober, Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning, Riau-Pekanbaru.

________, 2003, Haruskan Presiden Orang Indonesia Asli, dalam Koran Tempo, 21 Mei, Jakarta.

________, 2003, Lembaga Legsilatif Pasca-Amandemen UUD 1945, sumbangan tulisan untuk satu tahun wafatnya Prof Suwoto Mulyosudarmo.

Suwarno Adiwijoyo, 2001, Teori Domino Kejatuhan Presiden, dalam Kompas, 22 Februari, Jakarta.

 



[1] Tulisan ini dipersiapkan untuk Jurnal UNISIA Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Edisi 48, Tahun 2003.

Sebagian besar dari tulisan ini adalah gabungan dari beberapa artikel penulis tentang Amandemen UUD 1945.

[2] Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Menamatkan S1 (S.H.) pada Fakultas Hukum Universitas Andalas (1995) dengan predikat Summa Cumlaude. Selanjutnya, menyelesaikan S2 (MPA) pada Institute of Postgraduate Studies and Research University of Malaya Kualalumpur-Malaysia (2001).

[3] Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Yayasan Prapandja, Jakarta.

[4] Saldi Isra, 2003, Lembaga Legsilatif Pasca-Amandemen UUD 1945, sumbangan tulisan untuk satu tahun wafatnya Prof Suwoto Mulyosudarmo.

[5] Saldi Isra, 2002, Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat, dalam Kompas 02 September, Jakarta.

[6] Ramlam Surbakti, 2002, Menuju Demokrasi Konstitusional: Reformasi Hubungan dan Distribusi Kekuasaan, dalam Maruto MD & Anwari WMK (Edit.), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, LP3ES, Jakarta.

 

[7] Agus Haryadi, 2002, Bikameral Setengah Hati, dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra dan Marwan Mas (Edit.), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka Sinar Harapan dan Koalisi untuk Konstitusi Baru, Jakarta.

[8] Pada tahun 1970, dibentuk tiga komite di Senat yang mempunyai kekuasaan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Ketiga komite itu dikenal dengan three-fold committee system. Ketiga komite dimaksud adalah:

1. Standing Committees atau Permanent Committees. Komite ini bertanggung jawab mengawasi jalannya administrasi seluruh departemen pemerintah.

2. Select Committees atau Special Inquiry Adhoc Committees. Komite ini membidangi urusan rumah sakit, kesehatan, peredaran obat, dan segala yang menyangkut penyalahgunaan obat-obatan, keamanan, hak-hak migran, serta pasar modal.

3. Estimates Committees. Komite ini bertanggung jawab mengawasi penggunaan dana yang dialokasikan ke berbagai departemen pemerintah (Amzulia Rifai, 1994).

[9] Azumlia Rifai, 1994, Pengantar Konstitusi Australia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

 

[10] Saldi Isra, 2002, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi: Memastikan Arah Reformasi Konstitusi, dalam Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, Nomor 2, Jakarta. Baca juga Saldi Isra, 2002, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan Implikasinya Terhadap Sistem Ketatanegaraan Indomesia, dalam Jurnal Respublika, Vol.2, Oktober, Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning, Riau-Pekanbaru.

 

[11] Menurut Jimly Asshiddiqie (2002), kata “…yang diusulkan” menjadi kunci normatif penting. Yang diutamakan di sini bukanlah pasangan calon Presiden/Wakil Presiden yang dalam pemilihan umum sebelumnya mendapat suara terbanyak pertama dan kedua. Yang diutamakan di sini adalah partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya mendapatkan suara terbanyak pertama dan kedua. Artinya, bisa terjadi tokoh-tokoh yang diajukan dalam rangka pemilihan oleh MPR bukanlah tokoh-tokoh yang semula diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan langsung oleh rakyat.

[12] Meskipun Abdurrahman Wahid terpilih sesuai dengan semangat Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 (sebelum diamandemen) yaitu dengan munculnya 3 orang calon, sehingga penentuan presiden dilakukan dengan suara terbanyak. Suwarno Adiwijoyo mengingatkan bahwa terpilihnya Abdurrahman Wahid tetap dengan proses yang tidak wajar yaitu dengan adanya “mesin politik” yang bernama Poros Tengah (Kompas, 22/02-2001).

 

[13] Saldi Isra, 2001, Pemilihan Presiden Langsung, dalam Kompas 24 September, Jakarta. Baca juga Saldi Isra, 2002, Perkembangan Pengisian jabatan Presiden di Bawah Undang-Undang Dasar 1945, dalam Jurnal Legality, Vol. 10, No. 1, Februari-Agustus, Universitas Muhammadiyah, Malang.

[14] Saldi Isra, 2003, Haruskan Presiden Orang Indonesia Asli, dalam Koran Tempo, 21 Mei, Jakarta.

[15] Dalam Article II Section Four Konstitusi Amerika Serikat disebutkan, “The President of the United States shall be removed from office on impeachment for, and conviction of, treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors”. Bila tuduhan yang dibuat oleh House of Representative terbukti dalam pemeriksaan di Senate yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung dan disetujui oleh minimal 2/3 anggota Senate maka Presiden akan dipecat dari jabatannya.

 

[16] Pasal 7A UUD 1945 menyatakan: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.

[17] Perdebatan itu berpeluang muncul karena penilaian Mahkamah Konstitusi (Pasal 7B ayat (3), (4), dan (5) UUD 1945) tidak punya kekuatan mengikat. MPR (sebagai joint session) berpeluang untuk mementahkan hasil penilaian Mahkamah Konstitusi.

[18] Ketika tulisan ini dipersiapkan, Rancangan Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD dan DPR Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota sedang dibahas di DPR.

[19] Ketika tulisan ini dipersiapkan, Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden juga sedang dibahas di DPR.

[20] Usaha serupa juga dapat dilacak dengan munculnya kata ‘asli’ dalam Pasal 6 huruf a Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Lebih jauh tentang hal ini, baca: Saldi Isra, 2003, Haruskan Presiden Orang Indonesia Asli, dalam Koran Tempo, 21 Mei, Jakarta.