MEDIA INDONESIA, 17 Desember 2015
KECENDERUNGAN perilaku-perilaku primitif dengan segala motivasinya masing-masing anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR makin kelihatan saat proses penentuan pendapat akhir sudah dekat. Sadar atau tidak, perilaku tersebut semakin membenamkan citra lembaga perwakilan di mata mayoritas masyarakat. Kalaupun sebagian anggota MKD berjuang sepenuh hati menindaklanjuti suara rakyat, kecenderungan perilaku primitif menenggelamkan perjuangan tersebut.
Dalam batas penalaran yang wajar, salah satu bentuk perilaku primitif yang muncul di saat-saat terakhir menuju pembacaan pendapat masing-masing anggota MKD ialah penjegalan secara telanjang eksistensi Akbar Faizal. Seperti hendak mengulur-ulur waktu pembacaan sikap setiap anggota, politikus Partai Nasional Demokrat (NasDem) ini tiba-tiba di-kick out dari MKD. Bila biasanya penarikan anggota dari alat kelengkapan dilakukan oleh fraksi, penghadangan Faizal Akbar datang dari pimpinan DPR.
Terang saja, langkah penarikan ini mengundang protes keras Akbar Faizal. Protes keras juga datang dari Ketua Fraksi Partai NasDem. Tanpa perlu berpikir lama, upaya penghadangan ini tidak terlepas dari sikap keras Akbar Faizal selama proses persidangan terhadap indikasi pelanggaran kode etik DPR yang dilakukan Setya Novanto. Bahkan, Akbar Faizal pula yang menjadi salah seorang figur sentral di balik kalungan pita hitam sebagian anggota DPR yang prihatin dengan perkembangan selama sidang MKD.
Manuver
Sebagai sebuah institusi yang di lekatkan simbol ‘lembaga yang terhormat’, semua anggota memiliki kewajiban moral, etik, hukum, dan politik menjaga simbol tersebut. Artinya, bila perilaku seorang anggota potensial merusak kehormatan DPR, langkah darurat penyelamatan harus dilakukan. Untuk indikasi pelanggaran kode etik yang dilakukan Setya Novanto peranti penegakan kode etik harus lebih keras bekerja dan menelusuri laporan ke MKD. Alasannya sangat sederhana, dengan posisi sebagai ketua DPR, tanggung jawab Setya Novanto jauh lebih besar.
Sebagaimana dinyatakan Pasal 119 ayat (2) UU MD3, MKD bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR. Dengan penegasan tersebut, amanah menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR hanya mungkin diwujudkan bila anggota MKD memiliki keinginan kuat untuk menempatkan tujuan tersebut dan posisi institusi DPR di atas kepentingan jangka pendek. Bagaimanapun, segala upaya yang mengarah pada tumpulnya MKD melacak indikasi pelanggaran kode etik akan berujung terpuruknya institusi DPR.
Dengan menelusuri perkembangan sejak skandal ‘papa minta saham’ muncul ke permukaan, sejumlah manuver muncul untuk menggagalkan upaya pembentukan MKD. Seperti jungkir-balik, semua dalil dan argumentasi hadir seolah-olah pilihan menyelamatkan anggota DPR yang terindikasi melakukan pelanggaran kode etik jauh lebih penting dibandingkan menyelamatkan institusi. Jauh sebelum manuver jungkir-balik menjegal Akbar Faizal, misalnya, muncul argumentasi seolah-olah dengan nada akademik: pelapor (baca: Menteri Negara ESDM Sudirman Said) tidak memiliki legal standing sebagai pengadu.
Ketika argumentasi legal standing tertolak, mulai muncul upaya pelaksanaan sidang pelanggaran kode etik dilakukan secara tertutup. Secara hukum, memang terbuka ruang untuk melaksanakan sidang secara tertutup.
Namun, karena kasus ‘papa minta saham’ ini menjadi perhatian yang sangat luas, desakan melakukan sidang secara terbuka tak mungkin ditolak. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, MKD memilih dua model sekaligus, yaitu terbuka dan tertutup. Dengan terbukanya pilihan tersebut, sejak awal sudah dapat dibaca bahwa sidang Setya Naovanto dilakukan secara tertutup.
Pada titik itu, pilihan melaksanakan sidang terhadap Setya Novanto secara tertutup sangat merugikan kepentingan masyarakat. Bagaimanapun, dengan sidang tertutup bagi Setya Novanto, masyarakat menjadi kehilangan kesempatan melihat secara langsung bagaimana pembelaan ketua DPR ini terhadap laporan Sudirman Said. Tidak hanya itu, sekiranya sidang Setya Novanto dilakukan terbuka, masyarakat dapat melihat bagaimana sikap anggota MKD terhadap orang nomor satu di Senayan ini.
Artinya, bila dalam proses persidangan dengan Sudirman Said sebagian anggota MKD terlihat seperti hendak menguliti pelapor, apakah sikap serupa juga dilakukan terhadap Setya Novanto.
Namun, manuver paling mencengangkan, sebagian anggota MKD benar-benar menempatkan pelapor dalam posisi sebagai tertuduh. Demi menempatkan pelapor dalam posisi demikian, pertanyaan sebagian anggota MKD banyak yang tidak relevan dengan substansi laporan. Selain itu, banyak pula pertanyaan yang berupaya menggiring substansi ke wilayah berbeda. Padahal, dengan keberanian Sudirman Said melaporkan pelanggaran kode etik yang dilakukan Setya Novanto, MKD harus memberikan apresiasi kepada pelapor.
Sadar atau tidak, dengan sikap menempatkan pelapor seperti tertuduh, bisa jadi setelah peristiwa P'A ini masyarakat takut melaporkan indikasi pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota DPR. Jikalau hendak mengoptimalkan penegakan kode etik, seharusnya MKD berada dalam posisi mendalami laporan dan hadir dengan sikap yang lebih persuasif. Namun, di atas itu semua, pertanyaan mendasar yang masih tersisa; mengapa MKD tidak mau menggunakan upaya paksa untuk memanggil penguasa yang dibawa Setya Novanto menemui pihak Freeport.
Pascamelanggar etik
Terlepas dari berbagai manuver di sebelum dan pada saat proses persidangan, sikap anggota MKD yang pada akhirnya menyatakan Setya Novanto melakukan pelanggaran kode etik, harus diapresiasi. Soal melakukan pelanggaran berat atau pelanggaran sedang biarlah menjadi penilaian dan pilihan masing-masing anggota MKD. Yang paling penting dari sikap anggota MKD tersebut, lembaga penegak kode etik ini mampu bersikap tegas terhadap anggota yang melanggar kode etik.
Sekalipun di bawah pengawalan masyarakat yang terbilang luar biasa, keputusan bahwa Setya Novanto yang juga ketua DPR melanggar kode etik membuktikan bahwa peranti MKD yang dibentuk UU MD3 masih memiliki taji untuk memulihkan citra DPR.
Jikalau pada akhirnya disepakati bahwa ujung penyelesaian pelanggaran kode etik yang dilakukan Setya Novanto akan dibentuk panel sidang pelanggaran kode etik anggota DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 148 UU MD3, pilihan ini sebaiknya tak dimaknai sebagai bentuk manuver. Sekalipun akan memerlukan waktu lebih panjang menyelesaikan pelanggaran ini secara tuntas, sebagai peranti lain dalam mengungkap pelanggaran etik, kita tentu hendak melihat pula bagaimana panel melanjutkan hasil atau putusan MKD.
Dengan potensi pelanggaran kode etik yang mungkin berulang di ma sa datang, kita semua memiliki ke pentingan melihat secara utuh bagaimana MKD dan panel bekerja mengadili pelanggaran kode etik. Artinya, dengan lengkapnya pengalaman (sidang MKD dan panel sidang pelanggaran kode etik), jika terjadi pelanggaran ke depan kita telah memiliki pengalaman menyelesaikannya sesuai dengan peranti yang disediakan UU MD3.
Terlepas dari itu semua, pilihan Setya Novanto mengundurkan diri sebagai ketua DPR setelah dinyatakan melakukan pelanggaran kode etik pasti berpengaruh terhadap kelanjutan hasil MKD. Pada titik ini, panel menjadi penting karena hasil panel tidak hanya berujung pada pemberhentian Setya Novanto sebagai Ketua DPR, tetapi juga pemberhentian sebagai anggota DPR.