MEDIA INDONESIA, 08 Desember 2015

SULIT dibantah bahwa dalam satu tahun terakhir capaian program legislasi nasional berada pada titik amat mengkhawatirkan. Buktinya, dari 37 rancangan undang-undang (RUU) yang yang disepakati sebagai prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015, sampai sejauh ini, belum sampai 20% yang berhasil menjadi undang-undang (UU). Berdasarkan jumlah penyelesaian yang mengkhawatirkan tersebut, UU yang berhasil selesai lebih disebabkan faktor tidak ada pilihan menunda. Di antara UU yang tidak mungkin ditunda, misalnya, pembahasan dan persetujuan bersama RUU yang berasal dari peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Selain itu, juga UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Padahal, dalam lima tahun ke depan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan pemerintah telah menyetujui 159 RUU dalam Prolegnas 20152019. Bahkan, merujuk 37 RUU yang menjadi skala prioritas 2015, 26 di antaranya merupakan usulan DPR (di dalamnya ada tujuh usulan yang sama dengan DPD) dan satu usulan DPD yang tidak sama dengan usulan DPR. Selain itu, sebagai salah satu pihak yang secara konstitusional memiliki fungsi legislasi, pemerintah juga mengusulkan sepuluh RUU sebagai prioritas 2015.

Dalam praktiknya, jumlah tersebut bisa menjadi lebih banyak dengan terbukanya kemungkinan untuk mengajukan RUU di luar Prolegnas. Dalam hal ini, merujuk Pasal 23 Ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No 12/2011), Presiden atau DPR diberi kesempatan untuk mengajukan RUU di luar Prolegnas dengan kondisi yang sangat ketat. Ihwal ini, RUU di luar Prolegnas dimungkinkan bila terdapat prakondisi yang bertujuan mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konfl ik, atau bencana alam. Argumentasi lain ialah keadaan tertentu yang menyangkut urgensi nasional terhadap suatu RUU yang dapat diajukan bersama alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan Menteri Hukum dan HAM.

Berdasarkan jumlah kesepakatan RUU periode 2015-2019 dan kemungkinan adanya penambahan di luar Prolegnas, minimnya jumlah RUU yang bisa diselesaikan hingga awal Desember 2015 tentunya menghadirkan kekawatiran ihwal masa depan fungsi legislasi guna memenuhi praktik penyelenggaraan negara ke depan. Dengan memotret kebutuhan penyelenggaraan ke depan, kita memiliki alasan amat kuat untuk mengkhawatirkan masa depan fungsi legislasi. Misalnya, dalam bidang politik, sejumlah UU harus diganti atau direvisi untuk menyongsong pemilihan umum serentak presiden dan anggota legislatif pada 2019.

Desain UUD 1945

Fungsi legislasi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) memang mengalami pergeseran bila dibandingkan dengan sebelum perubahan. Sebelum perubahan, Pasal 5 Ayat 1 UUD 1945 menyatakan Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR. Ketentuan tersebut dikukuhkan Pasal 20 Ayat 1 UUD 1945 bahwa tiap UU menghendaki persetujuan DPR.Setelah perubahan, Pasal 5 Ayat 1 UUD 1945 diubah jadi Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Pergeseran ketentuan ini diikuti dengan perubahan Pasal 20 Ayat 1 menjadi DPR memegang kekuasaan membentuk UU.

Meski telah diubah, dalam posisi sebagai hukum dasar, UUD 1945 sama sekali tidak menghilangkan peran Presiden (pemerintah) dalam proses legislasi.Dari desain yang ada, perubahan terhadap Pasal 5 Ayat 1 UUD 1945 tetap memberikan peranan yang relatif seimbang antara DPR dan Presiden. Posisi sentral kedua lembaga itu bisa dilacak dari ketentuan Pasal 20 Ayat 2 dan Ayat 3 UUD 1945. Peran sentral begitu hadir karena setiap RUU harus dibahas dan mendapat persetujuan bersama DPR dan Presiden. Dengan menggunakan logika Pasal 20 Ayat 2 dan Ayat 3 tersebut, suatu UU tidak akan pernah hadir tanpa persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.

Bila dikaitkan dengan Pasal 22D Ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang memberikan wewenang kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam fungsi legislasi, peran DPR dan Presiden tetap sentral. Artinya, ketika sebuah RUU dibahas mengikuti logika ketentuan Pasal 22D Ayat 1 dan Ayat 2 UUD 1945 karena menyangkut hubungan pusat dan daerah, proses persetujuannya tetap tun duk pada Pasal 20 Ayat 2 dan Ayat 3 UUD 1945. Bahkan, sekali pun melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/ PUU-X/2012 yang telah memberikan penafsiran baru ihwal fungsi legislasi DPD, otoritas persetujuan bersama sebuah RUU sebelum disahkan menjadi UU hanya berada di tangan DPR dan Presiden.

Sebagaimana dinukilkan di atas, dengan peran sentral fungsi legislasi berada di tangan DPR dan Presiden, bila terjadi penurunan atau target pembentukan UU di bawah angka yang telah dipatok, kesalahan tidak harus ditanggung DPR saja. Artinya, dengan mengacu kepada desain Pasal 20 Ayat 2 dan 3 UUD 1945, selain DPR, Presiden juga menjadi subjek yang harus memikul tanggung jawab rendahnya capaian target penyelesaian RUU. Dengan demikian, sekali pun Pasal 5 Ayat 1 UUD 1945 telah diubah sedemikian rupa, desain konstitusional Pasal 20 Ayat 2 dan Ayat 3 telah meletakkan tanggung jawab fungsi legislasi pada DPR dan Presiden secara lebih berimbang.

Perbaikan internal DPR

Sekali pun meletakkan tanggung jawab dengan relatif berimbang, ketentuan Pasal 21 Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk UU dapat saja dimaknai bahwa pergerakan fungsi legislasi akan menjadi lebih ditentukan DPR. Pendapat untuk sampai pada posisi demikian juga didasarkan pada fungsi legislasi sebagai salah satu fungsi konstitusional DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 20A Ayat 1 UUD 1945. Karena itu, beberapa persoalan mendasar harus mendapat fokus sentral untuk mengoptimalkan posisi DPR sebagai lokomotif fungsi legislasi.

Pertama, posisi dan peran DPR dalam fungsi legislasi terutama pembahasan RUU harus dikembalikan kepada makna sesungguhnya Pasal 20 Ayat 2 dan Ayat 3 UUD 1945. Artinya, selama ini, proses pembahasan dan persetujuan bersama RUU di DPR tidak dilakukan DPR dan pemerintah, tetapi dilakukan fraksi-fraksi dan pemerintah. Meski UUD 1945 telah diubah, praktik yang terjadi ialah pembahasan bersama selalu antara fraksi-fraksi DPR dan pemerintah. Padahal, Pasal 20 Ayat 2 dan 3 secara eksplisit menyatakan bahwa pembahasan dan persetujuan ialah antara DPR (bukan fraksi-fraksi DPR) dan pemerintah yang dikuasakan Presiden. Bahkan, jika dikaitkan dengan eksistensi alat-alat kelengkapan DPR, fraksi bukan alat kelengkapan DPR.

Ketika keluar dari makna hakiki Pasal 20 Ayat 2 dan Ayat 3 UUD 1945, sadar atau tidak proses pembahasan RUU memerlukan waktu jauh lebih lama. Pandangan ini tentunya bukan merupakan tafsir subjektif, tetapi secara hukum telah menjadi tafsir Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana diketahui, melalui Putusan No 92/PUUX/2012, salah satu pemegang kuasa kehakiman ini tidak hanya sebatas memperjelas fungsi legislasi DPD, tetapi juga mengembalikan makna pembahasan bersama yang diatur Pasal 20 UUD 1945. Dalam putusanini, Mahkamah Konstitusi secara eksplisit menyatakan pembahasan RUU dilakukan antarinstitusi. Bila RUU menyangkut Pasal 22D UUD 1945, pembahasan dilakukan DPR-DPD-presiden (tripartit). Di luar itu, pembahasan dilakukan DPR-Presiden (bipartit).

Kedua, DPR mesti memberikan perhatian lebih besar pada fungsi penggunaan fungsi legislasi. Dengan melacak perkembangan yang terjadi di DPR beberapa waktu terakhir, fungsi legislasi terabaikan karena berlebihan menggunakan fungsi konstitusional yang lain terutama fungsi pengawasan. Padahal, dengan merujuk bentangan empiris yang tersaji selama ini, fungsi pengawasan lebih banyak menimbulkan kegaduhan. Tak hanya itu, ujung penggunaan fungsi pengawasan pun lebih banyak berhenti di tengah jalan alias lenyap begitu saja tanpa muara yang bisa diketahui masyarakat.

Masih terkait dengan fungsi pengawasan, sebagian waktu yang mestinya bisa digunakan untuk fungsi legislasi juga habis dengan fungsi perekrutan pejabat publik. Dari gejala yang ada, DPR kelihatannya lebih tertarik ‘mengelola’ fungsi itu jika dibandingkan dengan fungsi legislasi. Jika DPR hendak mengoptimalkan fungsi legislasi, proses fit and proper test bisa lebih disederhanakan. Dalam batas penalaran yang wajar, penyederhanaan dimungkinkan karena mayoritas pola pengisian jabatan publik telah didahului panitia seleksi.

Ketiga, masalah lain yang perlu mendapat perhatian serius guna memperbaiki fungsi legislasi ialah mengurangi keterlibatan anggota DPR dalam membahas soal-soal teknis yang terkait dengan sebuah RUU. Misalnya, dalam pembahasan, DPR tidak perlu terlibat dengan soal-soal ‘titik’ dan ‘koma’ norma dalam RUU. Sebagai lembaga politik, harusnya anggota DPR lebih terlibat dalam isu-isu strategis, sementara soal teknis dapat diselesaikan staf pendukung yang memiliki keahlian perancangan (legal drafter). Bagaimanapun, bila terlibat begitu jauh dan dalam dengan soal-soal teknis drafting, anggota DPR akan kehilangan sosoknya sebagai anggota lembaga legislatif.

Banyak kalangan percaya, selama DPR tidak memiliki political will mengubah banyak praktik yang tidak produktif dengan upaya optimalisasi fungsi legislasi, daftar yang tercantum di prolegnas hanya akan menjadi pajangan belaka dan tidak mungkin dipenuhi sampai kapan pun. Padahal, pemenuhan jumlah dalam Prolegnas baru sebatas keterpenuhan kuantitas. Untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan negara, yang diperlukan jauh lebih dari sebatas kuantitas, yaitu bagaimana suatu UU memiliki kualitas dalam pengertian yang sesungguhnya. Kalau kuantitas masih begitu jauh, menghasilkan UU yang berkualitas tentu jauh lebih sulit. Sadar atau tidak, inilah yang mesti dibuktikan untuk masa depan fungsi legislasi. Bisakah dimulai 2016? Kita tunggu.