Kompas, 03 April 2004
Kegalauan Menjelang Pemungutan Suara
Oleh Saldi Isra
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat;
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Semakin dekat pelaksanaan pencoblosan, semakin terasa kegalauan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2004. Kegalauan ini dimulai dari kekacauan persiapan logistik pemilu yang berakibat pada gagalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) memenuhi ketentuan Pasal 45 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 (UU No 12/2003) bahwa surat suara beserta perlengkapan pelaksanaan pemilu sudah harus diterima Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) selambat-lambatnya sepuluh hari sebelum pemungutan suara. Akibatnya, ancaman penundaan atau pelaksanaan pemilu yang tidak serentak semakin tidak mungkin untuk dihindari.
Sebetulnya, kegalauan itu dapat diselesaikan lebih awal, kalau komunikasi antara KPU dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berjalan lebih baik. Apalagi, Pasal 15 Ayat (3) UU No 12/2003 mengisyaratkan kepada KPU untuk menyampaikan laporan setiap tahapan penyelenggaraan pemilu kepada presiden dan DPR. Perkembangan yang harus disampaikan adalah pelaksanaan kegiatan yang telah, sedang, dan akan dilakukan termasuk keadaan-keadaan tertentu yang memerlukan kebijakan presiden.
Terkait dengan isyarat Pasal 15 Ayat (3), terutama dalam memenuhi norma imperative yang terdapat dalam Pasal 45 Ayat (3) di atas, semestinya tanggal 25 Maret sudah harus ada laporan KPU kepada presiden dan DPR tentang kesiapan logistik pemilu. Kemudian, selambat-lambatnya pada 26 Maret, harus ada pertemuan segi tiga guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya pelanggaran Pasal 45 Ayat (3) oleh KPU. Kecuali Panitia Pengawas Pemilu, semua pihak yang terkait (KPU, presiden dan DPR) tidak ada yang peduli dengan berlalunya batas waktu H-10 itu. Buktinya, KPU baru bertemu dengan presiden dan DPR beberapa hari kemudian, tepatnya setelah empat hari pelanggaran Pasal 45 Ayat (3).
Pada awalnya, banyak kalangan memperkirakan bahwa pertemuan konsultasi segi tiga antara KPU dengan presiden dan DPR pada hari Selasa (30/3) akan menyepakati payung hukum untuk mengantisipasi kemungkinan penundaan atau pelaksanaan pemilu yang tidak serentak. Dugaan itu meleset, berdasarkan keterangan Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin, pertemuan itu belum memutuskan untuk membuat payung hukum pelaksanaan pemilu (Kompas, 31/03).
Meskipun belum ada kesepakatan, peluang munculnya payung hukum masih sangat terbuka. Kemungkinan itu dapat dibaca dari hasil “kesepakatan awal” konsultasi segi tiga untuk terus memonitor penyaluran logistik hingga H-3. Kalau sampai H-3 penyaluran logistik belum terpenuhi, maka akan dilakukan konsultasi lagi. Melihat kesiapan logistik, sekiranya pertemuan konsultasi segi tiga tahap II terjadi, hampir dapat dipastikan, KPU akan meminta presiden mengeluarkan payung hukum untuk menyelamatkan pelaksanaan pemilu.
***
Saya yakin, KPU tidak akan pernah melakukan penundaan pemilu secara nasional. Keyakinan ini didasarkan pada tiga argumentasi.
Pertama, secara psikologis, penundaan secara nasional akan menghancurkan KPU di mata masyarakat. Optimisme berkelebihan yang ditampilkan selama ini makin menambah beban psikologis KPU. Tidak hanya itu, kalau penundaan secara nasional dilakukan, akan muncul penilaian KPU dianggap gagal sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pemilu.
Kedua, secara hukum, berdasarkan Pasal 119 Ayat (3) UU No 12/2003 penetapan penundaan secara nasional dilakukan apabila pemilu tidak dapat dilaksanakan di empat puluh persen jumlah provinsi atau lima puluh persen dari jumlah pemilih terdaftar tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Sejauh ini, syarat kuantitatif provinsi sudah terlewati. Sementara, untuk pengguna hak pilih, belum terlihat tanda-tanda pemilih akan memboikot pemungutan suara.
Ketiga, penundaan secara nasional akan menimbulkan resistensi dari semua peserta pemilu. Sejauh yang bisa diamati, peserta pemilu sudah membuat segala macam skenario dan strategi untuk menghadapi pemungutan suara pada tanggal 5 April. Kalau kemudian ada penundaan, peserta pemilu harus memperbaiki semua rencana yang ada. Perubahan itu dapat berimplikasi pada target raihan suara yang diperhitungkan. Bisa jadi, penundaan akan bermuara pada proses hukum yang lebih serius.
Karena alasan-alasan di atas, dimanfaatkan “pintu darurat” yang terdapat dalam Pasal 118 UU No 12/2003 yaitu dalam bentuk pemilu lanjutan dan pemilu susulan. Pasal 118 Ayat (1) menentukan, pemilu lanjutan di suatu daerah pemilihan dilakukan apabila sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilu di daerah pemilihan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Kemudian, dalam Ayat (2) ditegaskan pelaksanaan pemilu dimulai dari tahap penyelenggaraan pemilu yang terhenti. Sementara itu, Pasal 118 Ayat (3) menentukan pemilu susulan di suatu daerah pemilihan dilakukan apabila seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu di daerah pemilihan itu tidak dapat dilaksanakan. Selanjutnya, dalam Ayat (4) ditegaskan pelaksanaan pemilu susulan dilakukan sejak tahap awal.
Dari kedua pintu darurat yang ada, hanya pemilu lanjutan yang mungkin digunakan. Alasannya, semua tahapan pelaksanaan pemilu sudah dilaksanakan. Yang terjadi, di beberapa daerah tertentu, karena alasan ketersediaan logistik, sebagian tahapan penyelenggaran pemilu tidak dapat dilaksanakan. Artinya, dengan perkembangan yang ada, tidak cukup kuat alasan untuk melaksanakan pemilu susulan. Berdasarkan Pasal 118 Ayat (3), pemilu susulan hanya dapat dilaksanakan kalau seluruh tahapan penyelenggaraan di daerah tertentu tidak dapat dilaksanakan.
Meskipun ada peluang untuk melaksanakan pemilu lanjutan, masih ada syarat lain yang harus dipenuhi. Persyaratan itu terkait dengan ketentuan Pasal 119 Ayat (1) UU No 12/2003 bahwa pemilu lanjutan dilakukan apabila di sebagian atau seluruh daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, atau bencana alam yang mengakibatkan sebagian atau seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan. Selain itu, pemilu lanjutan sangat mungkin menabrak Pasal 81 Ayat (1) UU No 12/2003, pemungutan suara pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota diselenggarakan secara serentak.
Oleh karena itu, untuk melaksanakan pemilu lanjutan, setidaknya, harus dilakukan revisi terhadap dua ketentuan yang terdapat dalam UU No 12/2003. Revisi pertama, menambah syarat “keterbatasan kesiapan logistik” ke dalam Pasal 119 Ayat (1). Kemudian, memperbaiki rumusan Pasal 81 Ayat (1) atau menambah satu ayat baru untuk memungkinkan pemungutan suara legislatif dilaksanakan secara tidak serentak.
Masalahnya, bagaimana mungkin melakukan revisi terhadap UU No 23/2003 ketika DPR berada dalam masa reses? Untuk menjawab kesulitan itu, muncul gagasan menyiapkan payung hukum lain agar pemilu lanjutan tidak menimbulkan pelanggaran hukum baru. Payung hukum yang dimaksudkan, membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
Lalu, sudah cukup kuatkah alasan untuk mengeluarkan Perppu? Kalau pertanyaan ini ditarik ke dalam Tap MPR No III/MPR/2000 posisi Perppu ada di bawah undang-undang. Asas perundang-undangan (lex superiori derogat legi inferori) menutup ruang revisi undang-undang dengan Perppu. Tetapi, kalau itu diletakkan ke dalam konstitusi, Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 memberi ruang adanya noodverordeningsrecht yaitu dalam hal ehwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan Perppu.
Masalah berikutnya, apakah kegentingan yang memaksa yang terdapat dalam Pasal 22 Ayat (1) dapat dipenuhi oleh persoalan logistik yang sedang dihadapi? Sejauh yang saya ketahui, pemaknaan kegentingan yang memaksa sering digunakan secara meluas. Bahkan, menurut Jimly Asshiddiqie (2002), dalam praktik selama ini, cukup banyak Perppu yang ditetapkan presiden tetapi “kegentingan yang memaksa” yang menjadi dasar penetapannya tidak jelas.
Meskipun demikian, kalau memang akan mencarikan payung hukum dalam bentuk Perppu, preseden dapat dijadikan pegangan. Misalnya, pemberlakuan Perppu Terorisme banyak bertentangan dengan KUHP dan KUHAP. Untuk menghilangkan was-was, saya sependapat dengan Denny Indrayana (Kompas, 01/04-2004), Mahkamah Konstitusi dapat diminta pendapat untuk menegaskan aturan konstitusi bahwa Perppu sejajar dengan undang-undang.
Berdasarkan penjelasan di atas, pemilu lanjutan sangat mungkin dilaksanakan dengan payung hukum dalam bentuk Perppu. Kemudian, pemilu lanjutan dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 119 Ayat (4) UU No 12/2003 yaitu oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Sebaiknya, langkah itu dilakukan sesuai dengan laporan dan kondisi riil yang dihadapi di PPS. Kecenderungan yang terjadi, sebagian laporan logistik KPU, berbeda dengan perkembangan di lapangan.
***
Apakah dengan adanya payung hukum, kegalauan menjelang pemungutan suara dapat dikurangi? Secara keseluruhan, pasti tidak. Yang masih mengganggu, implikasi yang akan muncul dari penyelenggaraan pemilu lanjutan. Sejauh ini, belum terdengar skenario darurat KPU kalau memang akan ada pemilu lanjutan. Misalnya, pola pemilu lanjutan bagaimana yang akan didorong oleh KPU. Catatan terpenting, pemilu lanjutan harus dilaksanakan dalam rentang waktu yang sangat singkat.
Untuk basis penundaan, sebaiknya sebaiknya diletakkan di pronvinsi. Maksudnya, kalau ada beberapa daerah pemilihan (DP) yang belum siap seratus persen dalam sebuah provinsi, penundaannya tidak di DP itu saja melainkan untuk seluruh provinsi. Bagaimanapun, penetapan basis provinsi hanya mungkin dilakukan kalau sudah diketahui secara benar dan akurat (1) provinsi yang sudah seratus persen logistik pemilu sampai di PPS, (2) provinsi yang dapat dipastikan siap seratus persen logistik pemilu sampai H-1, dan (3) provinsi yang tidak mungkin siap seratus persen sampai H-1.
Meski tidak ada jaminan seratus persen, penentuan basis provinsi dapat menghindari mobilisasi pemilih ke DP lain dalam provinsi yang sama karena adanya perbedaan jadwal pemilu. Tidak hanya itu, pemilihan provinsi juga terkait dengan penghitungan suara. Sejauh ini, salah satu keberatan dengan pemilu lanjutan karena dikhawatirkan pengumuman hasil akan mempengaruhi pemilih di lokasi lain yang belum melaksanakan pemungutan suara. Langkah ini akan semakin efektif kalau ada “larangan” bagi media massa untuk memberitakan hasil penghitungan suara di provinsi lain.
Saya percaya, karena semakin dekatnya tanggal 5 April, apapun bentuk solusi yang ditawarkan pasti tidak akan mampu menjawab kegalauan yang ada. Dalam kondisi seperti itu, semua energi harus dikerahkan untuk menyelamatkan penyelenggaraan pemilu. Penundaan, pemilu lanjutan atau apapun namanya masih jauh lebih baik dibandingkan dengan gagalnya pelaksanaan pemilu.
Kegalauan tidak akan pernah berhenti. Kalau sekarang kita galau dengan tidak mungkinnya penyelenggaraan pemilu secara serentak. Sebetulnya, masih ada kegalauan lain yang lebih mendasar yaitu ancaman munculnya anggota legislatif yang korup. Tanda-tandanya sudah kelihatan, mewabahnya praktik politik uang sejak penyusunan nomor urut calon legislatif sampai pelaksanaan kampanye.
Agar tidak galau terus-menerus, di bilik suara, jangan pilih peserta pemilu yang menghamburkan-hamburkan uang untuk mendapat dukungan rakyat.