Kompas, 13 April 2004.
Menyelamatkan Legitimasi Pemilu Oleh Saldi Isra Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat; Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang Kalau sebelum pemungutan suara, pertemuan lintas partai politik lebih terfokus pada isu logistik dan kemungkinan penundaan penyelenggaraan pemilihan umum. Kini, setelah pemungutan suara dilakukan, fokus pertemuan beralih pada isu lain yang lebih sensitif, menolak hasil pemilu legislatif. Kalau ini benar, peristiwa penolakan hasil Pemilu 1999 akan terulang kembali. Kecenderungan ini dapat dibaca dari hasil pertemuan sejumlah politisi yang mengklaim diri sebagai aliansi 19 Partai Politik untuk Keselamatan Bangsa di Hotel Nikko, Jakarta pada Sabtu (10/04). Dalam pertemuan itu, aliansi secara terbuka menolak seluruh hasil pemilu 2004. Alasannya, pemilu kali ini hanya dijadikan ajang bagi PDI Perjuangan dan Partai Golkar untuk mempertahankan kekuasaan (Media Indoensia, 11/04). Pernyataan aliansi partai politik itu menuai tanggapan beragam dari berbagai kalangan. Misalnya, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menilai pernyataan penolakan hasil Pemilu 2004 melecehkan proses demokrasi dan mengkhianati rakyat yang memilih mereka. Berbeda dengan JPPR, Riswandha Imawan memandang sikap aliansi itu bukanlah sikap emosional. Argumentasi Riswandha didasarkan pada fakta, sebagian dari aliansi mendapat suara yang sinifikan dalam pemilu (Kompas,12/04). *** Pro-kontra ini belum akan berakhir karena kedua pihak mempunyai alasan masing-masing. Misalnya, pihak yang sejalan dengan JPPR, akan meletakan argumentasi pada proses penghitungan suara yang masih berlangsung. Kalaupun kemudian ada yang tidak menerima hasil pemilu, penolakan itu harus diletakan dalam kerangka hukum yang ada yaitu mengajukan gugatan hasil pemilu kepada Mahkmah Konstitusi. Argumentasi kalangan yang setuju dengan pemikiran aliansi 19 partai politik diletakan pada semua kekacuan persiapan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dorongan untuk melakukan penolakan itu karena adanya indikasi kecurangan pada saat pemungutan dan penghitungan suara. Karena alasan itulah, legitimasi pemilu dipersoalkan. Kalau mau jujur, pemilu memang mengalami persoalan legitimasi. Kondisi itu tidak secara otomatis menyebabkan pemilu kehilangan legitimasi. Sederhananya, pada batas-batas tertentu, pemilu memang mengalami penurunan legitimasi. Melemahnya legitimasi itu didorong oleh beberapa kondisi yang mencerminkan keteledoran KPU menyediakan semua logistik pemilu. Pelemahan itu semakin terasa ketika KPU tidak mampu memenuhi batas waktu pendistribusian logistik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 45 Ayat (3) UU No 12/2003. Bagi sebagian partai politik, kejadian ini menjadi sangat serius karena ancaman penundaan jadwal pemungutan suara merusak konsentrasi mereka menjelang pemungutan suara. Apalagi, dalam pertemuan antara KPU dan presiden (30/03) disepakati untuk menunggu perkembangan sampai H-3. Secara psikologis, selama masa uncertainty itu, bisa jadi beberapa partai politik kehilangan determinasi untuk dapat memenuhi target pencapaian suara dalam pemilu legislatif. Pada H-3, presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemilu Lanjutan. Tetapi, Perpu itu sudah sangat terlambat untuk menghilangkan kegalauan menjelang pemungutan suara. Bahkan, dengan adanya revisi terhadap batas waktu H-10, presiden tidak hanya sekedar memberikan landasan hukum untuk adanya pemilu lanjutan tetapi juga menolerir pelanggaran Pasal 45 Ayat (3) yang dilakukan oleh KPU. *** Pada hari pemungutan suara, di beberapa TPS terjadinya perbedaan jumlah surat suara dengan jumlah pemilih. Yang sangat memprihatinkan, surat suara terrtukar, tetapi pemungutan tetap dilaksanakan. pada beberapa daerah pemilihan. Anehnya, sebagian besarnya tetap dilaksanakan pemungutan suara pada hari itu. Kepada anggota KPU Padang, saya bertanya, mengapa di TPS tetap menggelar pemungutan suara meski surat suara tertukar? Jawabnya, mereka berpedoman surat KPU Nomor 650/19/III/2004, “bila terjadi kesepakatan antarpartai politik peserta pemilu di TPS bersangkutan, proses penghitungan suara dapat dilanjutkan… perolehan suara masing-masing partai politik tetap dianggap sah”. Bila kesepakatan tidak tercapai, “pemilihan ulang dilaksanakan di TPS itu, khususnya bagi jenis lembaga perwakilan rakyat yang tertukar dengan daerah pemilihan lain”. Sepintas, kehadiran surat KPU No 650/19/III/2004 dapat dijadikan sebagai langkah darurat. Namun, kehadiran surat KPU itu secara nyata bertentangan dengan Pasal 82 Ayat (2) bahwa surat suara pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, memuat nomor dan tanda gambar partai politik peserta pemilu dan calon untuk setiap daerah pemilihan. Jadi, surat KPU menegasikan frasa “tanda gambar partai politik peserta pemilu dan calon untuk setiap daerah pemilihan”. Niat baik KPU untuk menyelematkan kasus tertukarnya surat suara, dapat dijadikan sebagai alasan tambahan oleh beberapa partai politik untuk mempertanyakan legitimasi pemilu. Keadaan kian runyam dengan adanya indikasi manipulasi data pemilu. Berdasarkan hasil temuan Panitia Pengawas Pemilu, kemungkinan itu terjadi pada proses input data hasil penghitungan suara dari kecamatan (Panitia Pemilihan Kecamatan) ke Pusat Tabulasi Nasional Pemilu. Indikasi itu terjadi karena proses pengiriman data secara elektronik itu dinyatakan tertutup bagi saksi dan pemantau (Media Indonesia, 08/04-2004). Pertanyaannya, apakah dengan segala kekurangan itu sudah cukup kuat alasan untuk menolak hasil Pemilu Anggota Legislatif secara keseluruhan? Ada ketidakcermatan pembacaan peluang hukum untuk memasalahkan semua kejanggalan pelaksanaan pemilu terutama dalam penghitungan suara. Langkah elegan yang semestinya dilakukan adalah memanfaatkan penghitungan dan pemungutan suara ulang yang terdapat dalam Pasal 115-117 UU No 12/2003. Kalau sekiranya ada persoalan dengan penghitungan suara, mungkin karena dilakukan secara tertutup atau jumlah suara di PPK berbeda dengan jumlah suara di TPS, penghitungan suara dapat diulang. Bahkan, kalau ada masalah, pemungutan suara ulang juga dapat dilakukan. Jika masih ada masalah, semua pihak yang keberatan dengan hasil pemilu dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. *** Lalu, mengapa peluang itu tidak dimanfaatkan secara maksimal? Pertanyaan amat relevan karena rangkaian agenda Pemilu 2004 baru berjalan sebagian. Masyarakat pun belum dapat melupakan ketegangan saat penolakan hasil Pemilu 1999. Ada tiga isu krusial yang mencemaskan. Pertama, penolakan yang dilakukan oleh beberapa tokoh itu potensial menimbulkan penafsiran beragam di tingkat grass-root. Bukan tidak mungkin, kalau penolakan ini berlanjut, akan terjadi bentrok antar-massa pendukung partai politik. Kita punya banyak pengalaman, perbedaan pendapat di tingkat elit politik sangat mudah memancing kemarahan pendukung partai politik di tingkat bawah. Kedua, penolakan itu amat potensial merusak citra partai politik baru yang mendapat dukungan dan kepercayaan cukup signifikan pemilih dalam pemungutan suara lalu. Dalam konteks ini, the rising stars harus hati-hati membaca, melihat, dan memaknai setiap agenda yang terkait dengan kelanjutan hasil pemilu. Ketiga, bila penetapan hasil pemilu 1999 menyita banyak waktu, penetapan hasil Pemilu Legislatif 2004 diharapkan tepat waktu. Alasannya, proses pemilu presiden akan tergantung pada penyelesaian penetapan hasil pemilu legislatif. Sekiranya, terjadi penundaan dalam waktu yang cukup lama, ada kemungkinan terjadi penundaan pemilu presiden dan wakil presiden. Ujungnya, akan terjadi krisis ketatanegaraan karena pergantian presiden tidak dilakukan tepat waktu. Agar tidak sampai ke taraf itu, gunakan cara yang lebih elegan. Tidak puas, Mahkamah Konstitusi jalan keluarnya.