Majalah FIGUR, Edisi 13, Mei 2007.

Membuat DPD Jadi Bermakna

Oleh Saldi Isra

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PuSaKO) dan

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas (UNAND), Padang.

Sejak disepakatinya kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sudah dapat diduga bahwa ”kamar kedua” dalam lembaga perwakilan rakyat ini tidak akan punya peran signifikan. Jika dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dugaan itu terkait dengan terbatasnya kewenangan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebagai lembaga legislatif, misalnya, DPD hanya dapat mengajukan dan ikut membahas rancangan undang-undang (RUU) tentang otonomi daerah; hubungan pusat-daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lain; serta perimbangan keuangan pusat-daerah.

Dengan kewenangan yang begitu terbatas, DPD tidak dapat mempunyai fungsi legislasi. Bagaimanapun, dalam teori perundang-undangan, fungsi legislasi harus dilihat secara utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai menyetujui sebuah RUU menjadi undang-undang. Ketimpangan fungsi legislasi menjadi semakin nyata dengan adanya Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR. Tidak hanya itu, Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menentukan bahwa fungsi legislasi hanya dimiliki oleh DPR.

Pengalaman negara lain

Sebetulnya, berkaca pada praktik sejumlah negara, ketimpangan fungsi legislasi antar-kamar dalam lembaga perwakilan bukan sesuatu yang baru. Namun, ketimpangan itu selalu diupayakan dengan memberikan ”kompensasi” kepada kamar lain yang lebih lemah. Sebagaimana dikemukakan Kevin Evans (2002), jika majelis tinggi (upper house) tidak mempunyai fungsi legislasi secara utuh, maka majelis tinggi berhak untuk mengubah, mempertimbangkan, atau menolak RUU dari majelis rendah (lower house). Sekiranya hak itu juga tidak ada, upper house diberi hak menunda pengesahan RUU yang disetujui lower house. Hak menunda pengesahan itu, tambah Kevin Evans, sering menjadi satu-satunya kekuatan jika upper house tidak mempunyai hak mengubah dan menolak sebuah RUU.

Terkait dengan hal di atas, dalam tulisan Hak Veto untuk DPD (Suara Karya, 22/06-2006) saya mengemukakan pengalaman sistem bikameral Inggris. Sekalipun House of Commons (sebagai lower house) jauh lebih dominan dalam fungsi legislasi dibandingkan House of Lords (sebagai upper house), semua RUU harus melewati kedua kamar yang ada sebelum ditandatangai menjadi undang-undang (all Bills go through both Houses before becoming Acts) oleh Ratu Inggris. Dalam hal penundaan, House of Lord tidak dibenarkan menunda lebih dari dua sesi persidangan parlemen atau lebih dari satu tahun (bills cannot be delayed by the House of Lords for more than two parliamentary sessions, or one calendar year).

Sebagian kalangan bisa saja menolak membandingkan antara sistem lembaga perwakilan rakyat di Inggris dengan di Indonesia. Namun kalau disigi dari proses menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat, menjadi anggota DPD jauh lebih sulit dibandingkan dengan menjadi anggota House of Lords. Sesuai dengan persyaratan yang ada, untuk mengajukan diri sebagai calon anggota DPD, seorang bakal calon harus memperoleh total dukungan sekurang-kurangnya 1.000 sampai 5000 tanda tangan pemilih. Sementara di Inggris, menjadi anggota House of Lord tidak sesulit dan serumit menjadi anggota DPD.

Membaca kewenangan yang ada dan sulitnya menjadi anggota DPD, Stephen Sherlock (2005) memberikan penilaian yang amat menarik. Menurut peneliti dari Australian National University ini, DPD merupakan contoh yang tidak lazim dalam praktik lembaga perwakilan rakyat dengan sistem bikameral karena merupakan kombinasi dari lembaga dengan kewenangan yang amat terbatas dan legitimasi tinggi (represents the odd combination of limited powers and high legitimacy). Kombinasi ini, tambah Sherlock, tidak ditemukan dalam praktik lembaga perwakilan rakyat manapun di dunia.

Sejumlah langkah

Sepanjang yang bisa dicatatat, dalam beberapa waktu terakhir DPD telah merancang dan melakukan sejumlah langkah guna memperkuat kehadirannya dalam lembaga perwakilan rakyat dan dalam praktik penyelenggaraan negara.

Pertama, berupaya meyakinkan DPR untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU No 22/2003). Dengan langkah ini, DPD berharap kelemahan yang ada dalam UUD 1945 dapat diperkuat di tingkat undang-undang. Sampai saat ini, langkah untuk memperbaiki UU No 22/2003 belum memperlihatkan hasil. Apalagi secara hukum, tidak mungkin (karena memang tidak dibenarkan) penguatan fungsi legislasi DPD dilakukan di tingkat undang-undang. Bagaimanapun, asas hukum lex superior derogat legi inferiori akan digunakan sebagai alasan bagi DPR untuk menolak langkah DPD.

Kedua, mengajukan hak menguji undang-undang (judicial review) terhadap UU No 22/2003 khususnya ketentuan Pasal 43 yang membatasi DPD hanya ikut pada Pembicaraan Tingkat I terutama dalam penyampaian pandangan dan pendapat DPD atas RUU, serta tanggapan atas pandangan dan pendapat masing-masing lembaga sesuai Peraturan Tata Tertib DPR. Tidak jauh berbeda dengan langkah pertama di atas, langkah untuk mengajukan hak menguji undang-undang lenyap begitu saja. Dari sejumlah informasi yang saya peroleh, langkah kedua ini dibiarkan menghilang karena dinilai tidak strategis bagi DPD dalam mempersiapkan langkah lain yang lebih besar dan strategis yaitu mendorong Perubahan Kelima UUD 1945.

Ketiga, mendorong Perubahan Kelima UUD 1945 untuk memperkuat DPD. Langkah ini telah dilakukan secara resmi yaitu dengan mengajukan usul perubahan UUD 1945 kepada pimpinan MPR pertengahan tahun 2006. Berdasarkan usul yang disampaikan, mereka mengusulkan agar DPD dapat menyetujui atau menolak RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat-daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lain; serta perimbangan keuangan pusat-daerah yang telah disetujui oleh DPR. Di samping itu, jika DPD menolak RUU yang telah disetujui oleh DPR, maka RUU itu tidak dapat diajukan lagi pada masa persidangan DPR berikutnya.

Menjadi bermakna

Dari sejumlah langkah di atas, mendorong Perubahan Kelima UUD 1945 manjadi langkah yang paling serius digarap DPD. Kalau pada awalnya DPD seperti berjalan sendiri dan sulit mendapat dukungan, kini beberapa kekuatan politik di DPR mulai memberikan sambutan atas langkah DPD. Bahkan, meski dengan jumlah yang masih terbatas, beberapa partai politik telah membubuhkan komitmen tertulis untuk mendukung langkah DPD. Boleh jadi, melihat dukungan publik terhadap langkah DPD, partai politik besar di DPR segera akan memberikan dukungan terbuka.

Namun yang harus dipikirkan, substansi apakah yang perlu diubah dalam UUD 1945 untuk membuat kehadiran DPD menjadi lebih bermakna. Guna membangun prinsip checks and balances dalam lembaga perwakilan rakyat Indonesia harus ada perubahan radikal terhadap fungsi legislasi yaitu dengan tidak lagi membatasi DPD seperti saat ini. Kalau ini dilakukan, gagasan menciptakan kamar kedua di lembaga perwakilan rakyat guna mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan menjadi dapat diwujudkan. Bagaimanapun, dengan pola legislasi sekarang, DPD tidak mungkin mampu mengartikulasikan kepentingan politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional terutama dalam membuat undang-undang yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.

Di samping itu, Perubahan Kelima UUD 1945 harus mampu menghapus aturan-aturan yang mendiskriminasi kehadiran DPD. Misalnya, ketentuan Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR. Mestinya, tidak hanya DPR yang tidak dapat dapat dibubarkan presiden tetapi juga DPD. Oleh karenanya, harus ada perubahan terhadap Pasal 7C UUD 1945 yang menegaskan bahwa presiden tidak dapat membubarkan DPR dan DPD. Tidak hanya itu, diskriminasi terhadap DPD juga muncul dalam Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang hanya dipegang DPR. Diskriminasi kekuasaan membentuk undang-undang diperkuat dengan ketentuan Pasal 20A Ayat (1) yang menyatakan bahwa fungsi legislasi hanya dimiliki oleh DPR.

Saya percaya, sekiranya fungsi legislasi DPD dapat diperbaiki, sebagian besar masalah ketatanegaraan yang ada pada saat ini dapat diselesaikan. Dan, kehadiran DPD akan menjadi lebih bermakna. Semoga...