Kompas 19 Maret 2002.

Kegagalan Pembentukan Pansus “Buloggate”

Oleh Saldi Isra

(Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)

Seperti yang diperkirakan sebelumnya, Senin kemarin Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) gagal untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) Buloggate. Kegagalan ini dapat dijadikan sebagai bukti kebenaran sinyalemen dari berbagai kalangan bahwa penahanan Akbar Tandjung merupakan bagian dari serangkaian skenario kolaborasi antara berbagai kekuatan politik untuk tujuan jangka pendek. Misalnya, Alfitra Salamm seorang Peneliti LIPI dalam diskusi yang bertajuk “Konstalasi Politik Pascapenahanan Akbar Tanjung”, menilai bahwa penahanan Akbar Tandjung dapat diartikan sebagai langkah penyelamatan partai Golkar (Kompas Cyber Media 09/03-2002).

Pendapat Alfitra ini tidak terlepas dari berbagai perkembangan yang terjadi sejak dilakukan penahanan terhadap Tandjung. Misalnya, sebagian elit partai memaksakan kehendaknya untuk hanya menyelesaikan kasus Bulog melalui jalur hukum. Kecenderungan ke arah ini sudah mulai kelihatan dengan adanya penundaan mendadak pembentukan Pansus Buloggate pada tanggal 07 Maret yang lalu. Bahkan, pembangunan opini bahwa penyelesaian melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak diperlukan sudah bergulir bagaikan bola salju sejak peningkatan status hukum Tandjung menjadi tersangka pada awal Januari lalu. Hal ini dapat dicermati berdasarkan pendapat Taufik Kiemas –dalam wawancara di sebuah televisi— yang menyatakan bahwa Fraksi PDI Perjuangan (PDI-P) akan mencegah pembentukan pansus (Kompas Cyber Media, 08/01-2002).

Dengan demikian, kegagalan DPR untuk membentuk Pansus Buloggate adalah pencerminan dari perubahan sikap beberapa kekuatan politik sejak penahan Tandjung pada tanggal 07 Maret yang lalu. Ini semakin diperparah dengan perpecahan dalam tubuh partai karena kuatnya tekanan dari elit partai untuk kepentingan politik jangka pendek.

Arti penting pansus

Semestinya, meskipun proses hukum terhadap Tandjung sudah berjalan, ini tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak membentuk Pansus Buloggate. Melihat situasi yang berkembang, akan menjadi lebih baik kalau penyelesaian hukum berjalan berbarengan dengan proses politik di DPR. Banyak yang mencurigai bahwa percepatan pelimpahan perkara Tandjung ke pengadilan adalah bagian dari agenda penyelematan yang dimaksudkan oleh Alfitra Salamm di atas.

Untuk menghindari berbagai kemungkinan skenario politik jangka pendek, pembentukan pansus di DPR akan mempunyai arti penting terutama dalam menimbulkan efek domino untuk mengungkap semua penyelewengan pemakaian dana non-budgeter Bulog karena disinyalir bahwa beberapa partai politik juga ikut “menikmati” dana ini. Misalnya, mantan Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa ada sepuluh partai politik yang menerima aliran dana non-budgeter Bulog, dan juga dana dari mantan Presiden BJ. Habibie (Kompas Cyber Media, 15/03-2002).

Disadari, kalau hanya melalui proses hukum maka fokus penyelesaian kasus ini hanya akan bertumpu pada peran dan keterlibatan Tandjung. Padahal ada keyakinan di tingkat publik bahwa Partai Golkar tidak sendiri. Paling tidak keyakinan ini didasarkan pada kuatnya resistensi dari beberapa tokoh partai politik terhadap rencana pembentukan Pansus Buloggate. Tekanan dan respon negatif itu semakin memperkuat keyakinan publik bahwa sinyalemen keterlibatan partai-partai lain mendekati benar. Oleh karena itu, pembentukan pansus Buloggate dapat menjadi momen strategis untuk mengungkapkan semua penyelewengan itu.

Gagal membentuk pansus

Dari awal adanya desakan untuk membentuk pansus penyelidikan penggunaan dana nonbudgeter Bulog, sudah terlihat kemampuan partai Golkar menghalangi rencana ini. Paling tidak, tercatat Badan Musyawarah (Bamus) DPR harus memerlukan tiga kali pertemuan untuk dapat membawa rencana pembentukan pansus ke sidang paripurna. Bahkan, sesuatu yang tidak lazim harus terjadi yaitu untuk pertama kali Bamus mengambil keputusan akhir memalui voting. Pembicaraan yang berulang-ulang di tingkat Bamus ini dinilai sebagai bukti dari kepiawaian Partai Golkar menghambat upaya pembentukan pansus.

Kini, kegagalan pembentukan Pansus Buloggate adalah merupakan bukti dari ketidakseriusan beberapa kekuatan politik untuk menuntaskan kasus korupsi. Padahal dalam rapat paripurna pada tanggal 07 Maret yang lalu, disepakati bahwa rapat kemarin hanya untuk mengambil kata akhir pembentukan pansus. Apalagi, beberapa fraksi besar sudah sepakat membentuk pansus. Tetapi kesepakatan ini semakin mengendor dengan semakin dekatnya pelaksanaan sidang paripurna DPR.

Misalnya Fraksi PDI Perjuangan, sebelum pelaksanaan sidang paripurna terbelah pada dua kelompok besar yaitu kelompok yang setuju dengan pembentukan pansus dan kelompok yang menolak. Perpecahan meluas kepada bentuk lain yaitu munculnya perpecahan dalam tubuh partai. Hal ini dapat dilihat dengan adanya ancaman dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) kalau pansus Buloggate terbentuk (Detik Com, 16/03-2002).

Dengan kejadian kemarin, ancaman Megawati dapat dinilai sebagai faktor paling menetukan kegagalan pembentukan Pansus Buloggate karena Fraksi PDI Perjuangan adalah kekuatan paling menetukan di DPR. Sikap Megawati ini dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari sikap Taufik Kiemas bahwa PDI Perjuangan akan mencegah pembentukan pansus. Sekiranya Fraksi PDI Perjuangan mau bergabung dengan berbagai kekuatan politik yang setuju untuk membentuk pansus, maka sidang paripurna kemarin tidak perlu berlama-lama karena sikap PDI Perjuangan akan mempengaruhi “kekuatan abu-abu” lainnya.

Mengapa PDI Perjuangan begitu konservatif? Adakah ini terkait dengan isu-isu sekitar Taufik Kiemas? Atau karena faktor lain untuk kepentingan kekuasaan, misalnya ancaman Partai Golkar untuk menciptakan instabilitas pada pemerintahan Megawati?

Semua pertanyaan itu mungkin, tetapi yang paling menonjol adalah ketakutan Megawati terhadap ancaman Partai Golkar. Misalnya, pascapenahanan Tandjung Golkar mengeluarkan tiga ancaman secara sistematis, yaitu (1) melakukan perlawanan politik dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah, (2) menarik anggota Partai Golkar yang ada di kabinet, dan (3) memboikot kegiatan DPR dalam lingkaran Fraksi Partai Golkar. Kalau ini adanya, maka dapat dinilai bahwa Megawati lebih mementingkan kekuasaan dari komitmen untuk memberantas dan menyelesaikan semua kasus korupsi.

Sebetulnya, dalam situasi seperti sekarang konsistensi Megawati sebagai seorang Presiden amat diperlukan untuk memuntas semua kasus korupsi. Untuk saat sekarang, siapapun yang menjadi Presiden tidak mungkin dapat menghindarkan diri dari agenda pokok menghapuskan praktek korupsi (juga kolusi dan nepotisme). Bahkan pemberantasan ini adalah “amanat istimewa” karena sudah diperintahkan secara eksplisit dalam Tap MPR No. XI/ MPR/ 1999. Jika ini tidak dilaksanakan, Megawati dapat saja dinilai sebagai “patut diduga” telah melakukan pelanggaran terhadap haluan negara.

Kehilangan momen

Di luar perpecahan yang terjadi pada beberapa partai politik, DPR sebagai institusi dituntut untuk konsisten menyelesaikan kasus-kasus megakorupsi. Karena ini sudah menjadi kaharusan institusional bagi DPR untuk melaksanakan rekomendasi Sidang Tahunan (ST) MPR 2001, terutama untuk dua hal pokok yaitu (1) menindaklanjuti pendapat umum sesuai dengan fungsi pengawasan DPR, dan (2) DPR perlu aktif dan pro-aktif mendorong penyelesaian kasus-kasus KKN, baik yang baru maupun yang lama, dengan memperhatikan prioritas.

Kini, dengan kegagalan pembentukan Pansus Buloggate, DPR (dan juga Megawati Soekarnoputri) kehilangan momen penting untuk memulihkan kepercayaan publik. Sebuah kesempatan sejarah terlewatkan, demi kepentingan politik sesaat.