TITIK SINGGUNG WEWENANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN MAHKAMAH KONSTITUSI 

[1]

(Authority Connectivity of Supreme Court and Constitutional Court)

Saldi Isra

Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo)

Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Abstrak

Percampuran kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung telah menimbulkan berbagai persoalan. Pada gilirannya, muncullah persinggungan kewenangan dua lembaga tersebut yang dapat berujung pada terjadinya ketidakpastian hukum. Berkaitan dengan kewenangan pengujian peraturan Perundang-undangan misalnya, meski Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sama-sama memiliki wewenang pengujian peraturan Perundang-undangan, namun dengan berbedanya jenis dan hierarki peraturan Perundang-undangan yang diuji, maka penafsiran peraturan Perundang-undangan yang dilakukan dua lembaga tersebut mesti tunduk pada sistem hierarki peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Sebab, validitas norma adalah bersumber dari peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu, apapun putusan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, putusan tersebut bersifat erga omnes, termasuk bagi hakim agung di Mahkamah Agung dan hakim-hakim pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

Kata kunci : Wewenang, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung

 

Abstract

The mixing of authority between the Constitutional Court and the Supreme Court has raised a range of issues. In turn, there is the contact authority of the two institutions which could lead to the occurrence of legal uncertainty. In connection with the authority testing regulations, for example, although the Supreme Court and the Constitutional Court have the same right to test the legislation, but with different types and hierarchy of legislation being tested, then the interpretation of the rules of the legislation for which they were these institutions must be subject to a hierarchical system of laws and regulations that apply. Therefore, the validity of the norm is derived from the legislation is higher. Moreover, any decision of the judicial review of the UUD, this decision is erga omnes, including for judges of the Supreme Court and judges of the court under the Supreme Court.

Keywords : Authority, Constitutional Court, Supreme Court

 

Pendahuluan

Pascaperubahan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), kekuasaan kehakiman tidak lagi dilaksanakan oleh satu lembaga negara, melainkan oleh dua mahkamah, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Hal itu secara tegas dinyatakan dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pilihan ini sebetulnya mirip dengan apa yang dilakukan oleh 78 negara lainnya di dunia. Dimana, selain Mahkamah Agung (Supreme Court) dibentuk mahkamah yang berdiri sendiri[2] yang secara umum diberi nama Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Dengan demikian, kekuasaan kehakiman akan dilaksanakan oleh dua mahkamah secara bersamaan.

Diselenggarakannya satu cabang kekuasaan oleh dua institusi yang berbeda setidaknya akan menimbulkan dua dampak. Di satu sisi, kekuasaan tersebut akan dapat dilaksanakan secara efektif, di mana antara dua institusi pelaku kekuasaan sama-sama dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik tanpa mengalami persinggungan kewenangan yang dapat menimbulkan persoalan. Di lain sisi, pelaksanaan satu kekuasaan oleh dua atau beberapa institusi potensial terjadinya tumpang tindih kewenangan, atau setidak-tidaknya akan muncul pesinggungan kewenangan yang dapat berujung pada tidak efektifnya pelaksanaan kekuasaan dimaksud.

Idealnya, pembagian kewenangan dalam rangka melakukan satu kekuasaan kepada dua institusi berbeda mesti diikuti dengan pemberian batas demarkasi kewenangan yang jelas. Dimana, kewenangan institusi yang satu dibedakan secara pasti dengan kewenangan lembaga yang lainnya. Sehubungan dengan itu, pembagian kewenangan dalam melaksanakan kekuasaan yudikatif secara konseptual dapat dibelah menjadi dua bagian, yaitu mahkamah sistem hukum (court of law) dan mahkamah keadilan

(court of justice). Di mana, dengan pembelahan seperti itu diyakini akan mampu menghindari terjadinya benturan antar kedua lembaga pelaku kekuasaan kehakiman. Dengan pembelahan semacam itu, institusi pelaku kekuasaan kehakiman diidealkan akan fokus pada bidang kewenananganya masing-masing. Secara bersamaan, benturan dalam pelaksanaan kewenangan tidak akan terjadi atau setidak-tidaknya dapat dihindari sedemikian rupa.

Hanya saja, membaca desain yang ada, UUD 1945 ternyata tidak menganut pembelahan kewenangan seperti itu pada saat munculnya ketentuan Pasal 24 Ayat (2), Pasal 24A Ayat (1) dan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Dalam hal ini, UUD 1945 tidak menempatkan dua fungsi kekuasaan kehakiman kepada dua lembaga (MA dan MK) secara terpisah. Padahal, dari sudut pandang teoretik, kehadiran Mahkamah Konstitusi diidealkan sebagai mahkamah sistem hukum (court of law).[3] Sedangkan

Mahkamah Agung tetap dengan kedudukannya sebagai mahkamah keadilan

(court of justice).[4]

Hanya saja, dengan kewenangan yang dimiliki sesuai Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945, MK tidak hanya bertindak sebagai court of law, melainkan juga court of justice, seperti memutus sengketa/perselisihan hasil pemilihan umum. Sementara di lain pihak, Mahkamah Agung juga tidak sepenuhnya diletakkan pada posisi sebagai court of justice. Sebab, MA juga melakukan judicial review yang merupakan ranah court of law terhadap peraturan Perundang-undangan meski dibatasi untuk peraturan perundangundangan di bawah UndangUndang. Di mana berdasarkan Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Agung diberikan kewenangan menguji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.

Jika hendak menempatkan MA dan MK sebagai dua lembaga pelaku kekuasaan kehakiman dengan persinggungan kewenangan yang sangat tipis, tentunya kewenangan pengujian peraturan Perundang-undangan sepenuhnya mesti diberikan kepada MK, sedangkan penyelesaian sengketa seperti sengketa hasil pemilihan umum sebagai bagian dari kerja court of justice sepenuhnya juga diserahkan kepada MA. Dengan pembagian kewenangan demikian tentunya persinggungan kewenangan yang potensial memunculkan masalah dalam pelaksanaannya tidak akan terjadi.

Pada kenyataannya, “percampuran” kewenangan antara MK dan MA telah menimbulkan berbagai persoalan. Pada gilirannya, muncullah persinggungan kewenangan dua lembaga tersebut yang dapat berujung pada terjadinya ketidakpastian hukum. Atas dasar itu pula muncul berbagai pertanyaan terkait persinggungan kewenangan dan jalan penyelesaiannya, terutama kewenangan pengujian peraturan Perundang-undangan (judicial review). Pertanyaan dimaksud adalah:

Pertama, apakah ratio legis ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 yang mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya pengujian Undang-Undang dalam jangka waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi?

Kedua, dalam hal Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang menyangkut tentang pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa suatu Undang-Undang tidak sah karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, apakah putusan tersebut secara juridis mengikat terhadap Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya?

Ketiga, dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi terhadap rumusan dalam suatu Undang-Undang, maka penafsiran manakah yang secara juridis harus dipedomani oleh pencari keadilan?

Semua pertanyaan di atas akan dijawab menggunakan pendekatan peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian peraturan Perundang-undangan terhadap peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

 

Kewenangan MA dan MK dalam Judicial Review

Sebagaimana disinggung sebelumnya, MA dan MK mempunyai kewenangan yang berbeda, namun kewenangan tersebut saling bersinggungan. Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, MA berwenang: (1) mengadili pada tingkat kasasi, (2) menguji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan (3) mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh UndangUndang.

Sementara itu, Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, bahwa MK berwenang: (1) mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD, (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (3) memutus pembubaran partai politik, dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain kewenangan, Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa MK memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.

Sesuai ketentuan Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945, MA berwenang untuk menguji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Sementara berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang untuk menguji Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar. Merujuk ketentuan tersebut, penggunaan wewenang pengujian peraturan Perundang-undangan (judicial review) menjadi salah satu titik singgung yang mempertemukan kewenangan MA dengan kewenangan MK. Hal itu sangat mungkin terjadi pada ketika seseorang mengajukan permohonan pengujian peraturan Perundang-undangan terhadap Undang-Undang pada Mahkamah Agung. Dimana, pada saat bersamaan, Undang-Undang yang dijadikan batu uji dalam pengujian di Mahkamah Agung juga diajukan pengujian terhadap Undang-Undang Dasar di Mahkamah Konstitusi.

Pengalaman yang pernah terjadi misalnya, pada Tahun 2009, Zainal Maarif dan kawan-kawan mengajukan permohonan pengujian Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum, Tata Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Propinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2009 kepada Mahkamah Agung melalui Perkara Nomor 15 P/HUM/2009.

Dalam perkara tersebut Pemohon mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 22 huruf c dan pasal 23 Ayat (1) dan Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009. Ketentuan tersebut dinilai Pemohon bertentangan dengan Pasal 205 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.[5] Pada tanggal 18 Juni 2009, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan terhadap perkara uji materil (judicial review) tersebut, di mana, MA menyatakan permohon dimaksud beralasan hukum dan dikabulkan.[6] Sebab, Pasal 22 huruf c dan pasal 23 Ayat (1) dan Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 dinilai bertentangan dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota Legislatif. Akibat putusan tersebut, Partai politik yang perolehan suaranya tidak mencapai angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) tidak akan dihitung sebagai suara sisa dan tidak akan mendapatkan perolehan kursi.

Akibat putusan pengujian Peraturan KPU tersebut, sejumlah partai politik dan caleg[7] mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 205 dan Pasal 212 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD kepada Mahkamah Konstitusi. Sebab, kedua ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tersebut dianggap multitafsir, terutama dalam kaitannya untuk mengimplementasikan sistem proporsional yang dianut Undang-Undang Pemilu, sehingga menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.[8] Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 dan Pasal 212 Undang-Undang No 10 Tahun 2008 konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)[9] sepanjang dimaknai bahwa suara partai partai politik yang tidak memenuhi angka BPP tetap dihitung sebagai suara sisa dan diikutkan dalam pembagian perolehan kursi DPR dan DPRD.

Pengalaman di atas menunjukkan bahwa hubungan kewenangan MA dan MK dalam pengujian peraturan Perundang-undangan sangat rapat. Di mana, pelaksanaan kewenangan pengujian peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang tidak dapat dilepaskan dari kewenangan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Hal itu merupakan konsekuensi dari sistem hierarkis peraturan Perundang-undangan Indonesia. Di mana, norma yang lebih rendah bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi sesuai konsep stufentheorie yang dibangun oleh Hans Kelsen dan muridnya Hans Nawiasky. Kewenangan pengujian peraturan Perundang-undangan, baik yang dimiliki MA maupun MK adalah dalam rangka mempertahankan dan menegakkan prinsip norma yang hierarkis tersebut.[10]

Dalam konsep hierarkis dimaksud, Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 mengatur bahwa jenis dan hierarki peraturan Perundangundangan terdiri atas :

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Kekuatan hukum dari tujuh jenis peraturan Perundang-undangan di atas adalah sesuai dengan hierarkinya masing-masing.[11] Dalam Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dinyatakan, yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Dapat dipahami bahwa kekuatan hukum sebuah Undang-Undang adalah kesesuaiannya atau ketidakbertentangannya dengan Undang-Undang Dasar. Demikian juga dengan peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang, kekuatan hukum berlakunya tergantung pada kesesuaiannya dengan Undang-Undang.

Sepanjang peraturan Perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (yang puncaknya adalah UUD 1945 sebagai hukum dasar atau hukum tertinggi), maka peraturan tersebut sah dan mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Sebaliknya, apabila bertentangan, maka dapat dibatalkan atau menjadi batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Hal itu juga dikuatkan dengan apa yang pernah dikemukan Alexander Hamilton, bahwa: a constitution is, in fact, and must be regarded by the judges as, a fundamental law. It therefore belongs to them to ascertain meaning as well as the meaning of any particular act proceeding from the legislative body. If there should happen to be an irreconcilable variance between the two, that which has seperior obligation and validity ought, of course, to be preferred; or in other words, the Constitution ought to be preferred to the statute, the intention of the people to the intentions of their agents.[12]

Dalam kerangka hubungan hierakis antara peraturan Perundangundangan yang satu dengan yang lain inilah hubungan MA dan MK dibangun. Di mana, MK berwenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan MA berwenang menguji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.

Dalam konteks ini, MK memiliki wewenang konstitusional untuk menafsirkan UUD 1945 dalam rangka menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan MA berwenang melakukan penafsiran terhadap Undang-Undang dalam rangka menguji peraturan perundangundangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Dalam hal ini, proses pengujian yang dilakukan MA akan sangat bergantung pada bagaimana panafsiran MK terhadap Undang-Undang Dasar dalam menguji Undang-Undang yang dijadikan batu uji dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.

Dengan hubungan kewenangan yang seperti itu, ruang perbedaan pandangan antara MA dan MK terbuka lebar. Sebab, sangat mungkin terjadi kondisi di mana hakim agung dalam melakukan pengujian peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang tidak sejalan dengan penafsiran konstitusi oleh MK dalam menguji UndangUndang yang dijadikan MA sebagai batu uji.

Secara normatif, persoalan tersebut sebetulnya terjawab dengan keberadaan Pasal 55 Undang-Undang No 24 Tahun 2003 yang menyatakan, pengujian peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila UndangUndang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan ketentuan tersebut, hasil pengujian peraturan Perundangundangan oleh MA akan sangat bergantung pada hasil pengujian peraturan perundangundangan yang lebih tinggi oleh MK. Selain itu, sesuai ketentuan tersebut, kemungkinan terjadinya permasalahan antara putusan MA dengan putusan MK dalam pengujian peraturan Perundang-undangan dapat diatasi dengan merujuk pada pembagian kewenangan judicial review yang dimiliki dua mahkamah tersebut.

 

Lingkup Keberlakuan Putusan Pengujian UU Oleh MK

Dengan persinggungan kewenangan pengujian peraturan perundangundangan antara MA dan MK sebagaimana telah diulas sebelumnya, berikut akan diuraikan tentang daya berlaku dan daya jangkau putusan pengujian Undang-Undang yang dilakukan MK. Secara lebih khusus, apakah putusan MK tersebut secara yuridis juga mengikat terhadap Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya?

Jawaban atas pertanyaan tersebut berhubungan erat dengan sifat putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dinyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sesuai ketentuan tersebut, putusan pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi adalah final. Dalam penjelasan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dijelaskan, Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).

Dengan demikian, apabila MK melalui putusan pengujian undangundang terhadap Undang-Undang menyatakan : materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari suatu Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sejak saat itu, putusan tersebut bersifat final. Sehingga norma yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tidak lagi dapat dijadikan dasar hukum untuk mengambil tindakan atau putusan. Pertanyaan selanjutnya, apakah putusan bersifat final tersebut hanya mengikat pembentuk Undang-Undang atau mengikat semua pihak, termasuk Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung?

Terkait siapa saja addresat putusan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, Thomas Gawron dan Ralf Ragowski pernah mengemukan, in our view, it is important... to distinguish between effect of the court according to addresees and to look for specific arena of implementation... five main addressees, respectively arenas of implementation, can be distinguished : legislative arena, the judicial arena, the administrative arena, the arena involving associations and political parties, and the private arena involving establishments and citizens.[13]

Mengikuti pendapat Thomas Gawron di atas, addresat putusan pengujian peraturan Perundang-undangan adalah semua pihak (umum), di mana lembaga peradilan termasuk salah satunya. Sejalan dengan itu, Marurar Siahaan juga penah mengemukakan, putusan pengujian UndangUndang oleh hakim konstitusi sebagai negative legislator mengikat secara umum baik terhadap warga negara maupun lembaga-lembaga negara sebagai penyelenggara kekuasaan pemerintahan negara. Akibatnya, semua organ penegak hukum, terutama pengadilan terikat untuk tidak lagi menerapkan hukum yang telah dibatalkan.[14] Dengan demikian, sifat erga omnes putusan MK mengikat semua orang, termasuk pejabat dan otoritas publik atau lembaga negara, oleh karenanya putusan tersebut mesti dijadikan acuan atau rujukan dalam memperlakukan hak dan kewenangannya.[15] Sejalan dengan itu, Hans Kelsen juga mengemukakan, Undang-Undang yang “tidak konstitusional” tidak dapat diterapkan oleh setiap organ lainnya.[16]

Dalam konteks ini, Mahkamah Agung merupakan salah institusi atau organ negara yang juga terikat pada hasil pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi. Sebab, dalam mengadili suatu perkara, Mahkamah Agung tentu akan mendasarkan proses pemeriksaan dan putusannya pada Undang-Undang tertentu. Dalam konteks itu, jika Undang-Undang yang dijadikan pedoman memeriksa perkara telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Agung berkewajiban untuk memedomaninya.

Daya keberlakuan putusan MK untuk umum seperti dijelaskan di atas juga dapat dikonfirmasi dengan daya jangkau keberlakuan sebuah Undang-Undang. Di mana, akibat hukum dari pengundangan satu undangundang berlaku sama dalam hal Undang-Undang atau bagian UndangUndang tersebut dibatalkan. Dalam arti, daya berlaku Undang-Undang berbanding lurus dengan daya jangkau ketidakberlakuannya.

Dalam konteks itu, sebagai sebuah produk legislasi, Undang-Undang merupakan salah satu jenis peraturan Perundang-undangan yang berlaku secara umum.[17] Sebuah Undang-Undang berlaku untuk siapapun, baik warga negara maupun penyelenggara negara. Setiap Undang-Undang mesti dipatuhi oleh semua orang dan semua lembaga negara. Keberlakukan Undang-Undang tidak dipilah-pilah melainkan berlaku untuk semua. Dengan demikian, setiap peraturan Perundang-undangan dianggap mempunyai daya laku serta daya ikat bagi setiap orang 18 atau semua pihak.

Seiring dengan sifat keberlakuan Undang-Undang, maka pada saat Undang-Undang atau bagian dari Undang-Undang tersebut dibatalkan melalui proses pengujian Undang-Undang, maka ketidakberlakukan norma tersebut juga berlaku umum. Ketidakberlakuan Undang-Undang bukan hanya bagi Pemohon yang mengajukan pengujian Undang-Undang, juga bukan hanya bagi pembentuk Undang-Undang semata, melainkan berlaku untuk semua pihak. Karena itu, tidak ada alasan untuk menolak putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menghilangkan keberlakuan sebuah norma di dalam Undang-Undang.

Beda Penafsiran Terhadap Undang-Undang, Mana yang Diikuti?

Sebagaimana disinggung di atas, disebabkan sama-sama memiliki kewenangan dalam menguji peraturan Perundang-undangan dan hanya berbeda dalam hal jenis peraturan yang diuji, perbedaan penafsiran antara MA dan MK akan sangat mungkin terjadi. Bila memang betul-betul terjadi, penafsiran manakah yang secara juridis harus dipedomani oleh pencari keadilan?

Pertanyaan tersebut pada dasarnya dapat dijawab dengan sistem hierarki peraturan Perundang-undangan yang dianut dalam Undang-Undang No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di mana, MK diberi kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, sementara MA diberi kewenangan untuk menguji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap undangundang.

Perbedaan penafsiran antara dua lembaga ini sangat mungkin terjadi ketika hendak menafsirkan Undang-Undang. Sebab, bagi MK undangundang merupakan objek yang diuji terhadap UUD 1945, sedangkan bagi MA Undang-Undang adalah batu uji untuk menguji peraturan perundangundangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Apabila perbedaan penafsiran terhadap Undang-Undang tersebut benar-benar terjadi, maka yang semestinya diikuti adalah penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebab, penafsiran Mahkamah Konstitusi didasarkan pada norma konstitusi. Dalam hal ini, sumber validitas penafsiran MK adalah konstitusi. Sementara sumber valitasi penafsiran MA adalah UndangUndang itu sendiri. MA sesuai kewenangan tidak dapat memasuki ranah penafsiran konstitusi. Sebab, itu merupakan ranah kewenangan MK. Oleh karena itu, MA pun mesti tunduk pada penafsiran yang dilakukan MK terhadap UUD 1945 dalam menilai dan menafsirkan sebuah atau bagian Undang-Undang tertentu.

Secara konseptual, MK merupakan lembaga yang diberikan otoritas oleh konstitusi bertindak sebagai organ yang menjalankan pengawasan terhadap Undang-Undang, di mana lembaga ini dapat saja menghapus sepenuhnya Undang-Undang yang tidak konstitusional.[18] Dalam kapasitas seperti itu, Bishop Hoadly sebagaimana dikutip Kelsen pernah mengatakan:

Whoever hath an absolute authority to interpret any written or spoken laws, it is he who is truly the law-giver to all intents and puposes, and not the person who first wrote or spoken them: a fortiori, whoever hath an absolute authority not only to interpret the Law, but to say what the Law is, is truly the Law-giver. (barangsiapa mempunyai wewenang absolut untuk menafsirkan hukum tertulis atau tidak tertulis, maka dialah orang yang sesungguhnya pemberi makna hukum kepada semua maksud dan tujuan hukum tersebut, dan bukan orang yang pertama kali menuliskannya atau mengucapkannya; lebih tegas lagi barangsiapa mempunyai wewenang absolut bukan hanya untuk menafsirkan hukum, tetapi juga untuk mendefenisikan hukum, maka dialah sesungguhnya pemberi makna hukum)[19]

Apabila pendapat tersebut disandingkan dengan norma Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, dapat dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan otoritas yang memiliki kewenangan konstitusional untuk bertindak sebagai penafsir konstitusi. Dalam konteks itu, MK merupakan lembaga yang sesungguhnya berwenang memberi makna terhadap UndangUndang sebagai hukum. Posisi MK sebagai penafsir konstitusi sekaligus sebagai lembaga yang berwenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, --di mana penafsiran MK-lah yang mesti dipedomani ketika terjadi perbedaan penafsiran terhadap Undang-Undang)-, juga dikuatkan dengan keberadaan beberapa norma yang terdapat dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang No 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan dimaksud adalah sebagai berikut:

Pasal 53

Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian Undang-Undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Pasal 55

Pengujian peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.

Pemberitahuan kepada MA tentang adanya permohonan pengujian Undang-Undang serta adanya kewajiban MA untuk menghentikan proses pengujian terhadap peraturan Perundang-undangan di bawah undangundang ketika Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang diuji oleh MK menyiratkan dua hal pokok, yaitu: pertama, kewenangan pengujian peraturan Perundangundangan di bawah undangundang oleh MA tunduk pada sistem hierarki peraturan Perundang-undangan. Di mana, apabila Undang-Undang sebagai peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi sedang diuji di MK, maka pengujian peraturan Perundang-undangan di bawahnya mesti dihentikan. Kedua, penafsiran Undang-Undang dalam rangka menguji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang dilakukan MA mesti mengikuti penafsiran Undang-Undang sebagai peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana dilakukan oleh MK.

 

Penutup

Sebagai catatan penutup, meski MA dan MK sama-sama memiliki wewenang pengujian peraturan Perundang-undangan, namun dengan berbedanya jenis dan hierarki peraturan Perundang-undangan yang diuji, maka penafsiran peraturan peraturan Perundang-undangan yang dilakukan dua lembaga tersebut mesti tunduk pada sistem hierarki peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Sebab, validitas norma adalah bersumber dari peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu, apapun putusan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang

Dasar, putusan tersebut bersifat erga omnes, termasuk bagi hakim agung di Mahkamah Agung dan hakimhakim pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

 


[1] Makalah disampaikan dalam Seminar “Titik Singgung Wewenang antara Mahkamah

Agung dan Mahkamah Konstitusi”, diadakah oleh Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, Jakarta, 13 November 2014.

[2] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 201

[3] Yuliandri, Pembagian Wewenang dan Pertanggungjawaban Kekuasaan Kehakiman

Pascaamandemen UUD 1945, dalam Mohammad Fajrul Falaakh (Penyunting), Gagasan

Amandemen UUD 1945 Suatu Rekomendasi, Komisi Hukum Nasional, Jakarta, 2008, hlm. 62

[4] Ibid.

[5] Putusan Mahkamah Agung Nomor 15.P/HUM/2009 terkait Pengujian Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemiihan

Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, hlm. 9

[6] Ibid., hlm. 18

[7] Partai Politik dan caleg dimaksud adalah : Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA),

Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Ahmad Yani, Zainut Tauhid Sa’adi, Romahurmuziy, Machmud Yunus dan Muhammad Arwani Thomafi, semuanya caleg dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009, hlm. 1-2

[8] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009, hlm. 99

[9] Ibid., hlm. 110

[10] Maruarar Siahaan, Implementasi Putusan MK dalam Judicial Review, makalah, 21 Oktober 2014

[11] Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

[12] James Madison, Alexander Hamilton, John Jay, dalam The Federalist Papers, Mentor Book, The New American Library, 1961, hlm. 467

[13] Thomas Gawron dan Ralf Ragowski, Constitutional Courts in Comparation, The US

Supreme Courts and The German Federal Constitutional Court, Berghahn Books, New

York Oxford, 2002, hlm. 242, dalam Maruarar Siahaan, Implementasi, hlm. 7

[14] Maruarar Siahaan, Op.cit., hlm. 8

[15] Ibid., hlm. 15

[16] Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih Bahasa: Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 195

[17] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mendefinisikan: Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. 18 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta hlm. 158

[18] Hans Kelsen, Op,cit., hlm. 195

[19] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Anders Wedberg, Harvard

University Press, Cambridge, Massachusets, 1949, hlm. 153-154