MEDIA INDONESIA, 3 September 2015

SETELAH bekerja lebih dari tiga bulan secara maraton, Selasa (1/9), Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi menyampaikan delapan nama kepada Presiden Joko Widodo. Merujuk ketentuan yang ada, dalam tenggat waktu paling lama 15 hari, Presiden akan menyerahkan nama-nama tersebut kepada DPR. Sebagaimana dipahami, tahapan berikutnya adalah proses fit and proper test.

Sebagai sebuah lembaga yang diharapkan menjadi ujung tombak dalam agenda besar pemberantasan korupsi, proses seleksi capim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) empat tahun ke depan sangat mendapat perhatian luas dari berbagai pihak. Bahkan, dibandingkan dengan beberapa proses seleksi sebelumnya, pekerjaan yang diamanatkan kepada sembilan Srikandi ini dapat dikatakan yang paling banyak dan luas mendapatkan perhatian masyarakat.

Amat mudah dipahami, perhatian tersebut tak hanya disebabkan strategisnya peran KPK dalam menghela nasib masa depan agenda pemberantasan korupsi negeri ini, tetapi juga menghadapi kondisi lembaga ini sejak penetapan Bambang Widjojanto dan Abraham Samad sebagai tersangka. Bagaimanapun calon yang dihasilkan pansel akan sangat menentukan masa depan KPK dan sekaligus masa depan agenda pemberantasan korupsi.

 

Sejumlah catatan

Catatan pertama yang perlu dikemukakan, pansel mampu keluar dari kekhawatiran meloloskan nama-nama yang mencerminkan lembaga penegak hukum. Paling tidak, dengan absennya calon yang berlatar belakang jaksa, anggapan perwakilan lembaga terbantahkan. Dari hasil ini, pansel sejalan dengan pandangan bahwa komisioner KPK bukan merupakan perwakilan lembaga penegak hukum. Merujuk dengan hasil proses seleksi sebelumnya, Pansel KPK 2015 makin meneguhkan komposisi komisioner KPK tidak harus diisi figur yang berasal dari polisi dan/atau jaksa. Kini ada tidaknya calon yang berasal atau pernah berkarier sebagai polisi atau jaksa tidak relevan.

Bentangan empirik membuktikan bahwa pansel yang pernah dibentuk pemerintah mencari pengganti Antasari Azhar sama sekali tidak menghasilkan calon yang pernah berkarier sebagai jaksa. Begitu pula proses seleksi komisioner KPK 2011, meski pansel mengajukan nama yang pernah berkarier sebagai polisi, proses fit and proper test di DPR menyisihkan calon berlatar polisi. Artinya, pendirian Pansel 2015 menjadi amat penting guna menghadapi sisa-sisa perdebatan ihwal keterwakilan lembaga penegak hukum di KPK.

Catatan berikutnya, terkait dengan delapan calon yang dihasilkan pansel dan telah pula disampaikan kepada Presiden Joko Widodo. Menilik kebutuhan pemberantasan korupsi dan kebutuhan KPK pascakejadian tragis yang menimpa dua pemimpin KPK (Bambang Widjojanto dan Abraham Samad), ketepatan dalam memilih pimpinan menjadi kunci utama dalam menentukan arah masa depan lembaga ini. Meski pansel telah menentukan kriteria untuk mendapatkan calon yang andal, perjalanan proses pasti menghadapi kondisi dan pilihan yang menggerus pencapaian kondisi ideal.

Apabila diikuti secara cermat pemberitaan, terutama sejak pelaksanaan tahap wawancara, tidak terlalu keliru untuk mengatakan bahwa beberapa calon berpotensi menggeser KPK dari lembaga dengan status 'pemberantas korupsi' menjadi lembaga 'pencegah korupsi'. Padahal, dengan membaca dan melacak semangat pembentukan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, penindakan merupakan mahkota KPK. Banyak kalangan menilai, jika lebih mengutamakan upaya pencegahan, KPK akan kehilangan peran signifikannya di tengah desain besar agenda pemberantasan korupsi.

Pada batas penalaran yang wajar, UU No 30/2002 memang menjadikan upaya pencegahan sebagai salah satu upaya atau strategi dalam memberantas meluasnya korupsi. Namun demikian, menempatkan upaya pencegahan sebagai mahkota berarti mendorong KPK ke titik yang dapat memperlambat pemberantasan korupsi. Disadari atau tidak, mengedepankan upaya pencegahan sangat mungkin memerosotkan upaya penindakan. Harusnya, kalau akan memperkuat pencegahan, upaya tersebut menjadi strategi dan ditempatkan dalam meneguhkan upaya penindakan.

Setelah melihat kembali catatan-catatan penting di sekitar proses wawancara, harusnya pansel tak hanya sebatas menelisik soal integritas, independensi, kapasitas, dan moralitas calon, tetapi juga menelisik sikap atau pandangan calon ihwal strategi memberantas korupsi. Dalam hal sikap atau pandangan calon potensial tidak sejalan dengan gagasan dasar pembentukan KPK, pansel harusnya berhitung betul memberi jalan bagi mereka untuk meneruskan kepada proses fit and proper test di DPR. Bagi banyak pihak, mereka yang memberikan prioritas pada upaya pencegahan memiliki peluang melaju jika calon lain bermasalah dengan integritas.

Catatan terakhir, berkaitan dengan strategi pansel melakukan pengelompokan terhadap nama-nama yang lolos ke tahapan fit and proper test. Saya menduga, upaya pengelompokan dilakukan sebagai strategi untuk mencegah DPR melakukan langkah memilih calon dengan potensi kemampuan dan pengalaman yang tidak menyebar secara proporsional terhadap potensi semua calon. Sangat mungkin pengelompokan menjadi cara lain bagi pansel untuk mempersempit langkah anggota Komisi III DPR memilih calon yang secara kualitatif berada di peringkat-peringkat bawah.

Dalam batas-batas tertentu, boleh jadi, cara yang dilakukan pansel bermaksud sejalan dengan pengumuman peringkat/rangking yang disampaikan Pansel KPK 2011, yaitu mengurangi keliaran kalkulasi politik dalam menentukan pimpinan KPK. Meski demikian, pengelompokan mengundang sejumlah pertanyaan. Misalnya, apakah sikap melakukan pengelompokan dimaksudkan agar anggota Komisi III DPR memilih satu calon dari dua calon masuk dalam kelompok tertentu? Pertanyaan tersebut menjadi begitu relevan karena masih ada dua calon lain yang terlebih dulu telah dipilih pansel yang berbeda.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana menempatkan pengelompokan tersebut di dalam bingkai bahwa komisioner KPK bersifat kolektif kolegial? Pertanyaan ini begitu penting karena menilik pengalaman komisioner KPK sebelumnya tidak selalu mereka yang pernah berkarier di lembaga penegak hukum (jaksa atau polisi) diserahkan tugas di bidang penindakan. Bentangan fakta yang ada, komposisi selalu ditentukan mereka secara kolektif setelah dilantik sebagai komisioner KPK. Tambah lagi, pengelompokan bisa berbenturan dengan ketentuan bahwa Ketua KPK dipilih anggota DPR.

Babak final

Nama-nama yang disampaikan pansel kepada Presiden belum menjadi calon yang final. Sesuai dengan ketentuan UU No 30/2002, delapan nama (ditambah dua nama hasil pansel sebelumnya) akan diproses lebih lanjut Komisi III DPR. Karena yang dihasilkan pansel dua kali dari jumlah komisioner KPK, proses fit and proper test masih memerlukan perjuangan guna mendapatkan calon yang handal. Kini waktunya menggeser pembahasan dari proses dan calon yang dihasilkan pansel ke pembahasan di DPR. 

Untuk ini, bagi semua kalangan yang concern terhadap agenda pemberantasan korupsi segera bersiap menghadapi proses yang segera berlangsung di Komisi III DPR. Segala masukan, catatan, dan independensi calon harus diberikan masukan kepada mereka yang akan melakukan penentuan final. Saya percaya, di tengah kekhawatiran terhadap segala macam 'perhitungan' anggota DPR dengan komisioner KPK, teriakan masyarakat pasti efeknya. Dalam situasi seperti sekarang, memilih diam sama dengan membiarkan politisi DPR berjalan dengan logika mereka sendiri.

Catatan akhir yang harus dikemukakan, calon komisioner pilihan pansel benar telah disampaikan kepada Presiden. Namun bagaimanapun, perjuangan mendapatkan calon komisioner yang mampu menghela KPK ke arah semangat untuk memberantas korupsi sesuai amanat UU No 30/2002 masih terbuka. Karena itu, mari terus berupaya meyakinkan dan mendesak DPR untuk menghasilkan komisioner KPK yang berintegritas, independen, dan memiliki keberanian memberantas korupsi.