Saldi Isra

Media Indonesia

JIKA dibandingkan dengan yang pernah dilakukan sebelumnya, pertemuan Tim Pengawas Bank Century DPR dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kemarin, memaparkan `sedikit' perkembangan, yaitu dua tersangka baru dalam skandal Bank Century. Dengan merujuk pemaparan KPK, pejabat dan mantan pejabat Bank Indonesia (BI) Budi Mulya dan Siti Fadjrijah ditetapkan sebagai tersangka kasus bailout Century. Keduanya dinilai KPK melakukan penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian fasilitas pinjaman jangka pendek untuk Bank Century.

Sebagai sebuah skandal, bentangan hasil terbaru yang disampaikan KPK menjadi bukti bahwa tidak terjadi pergerakan signifikan dalam proses hukum bailout Bank Century. Melihat posisi dan kerumitan tingkat tinggi yang mengitari skandal ini, hasil yang dicapai KPK tetap harus diapresiasi.

Dengan menggunakan logika obat nyamuk bakar, harapannya, KPK akan bergerak terus menuju lingkaran paling dalam, dengan menemukan tokoh sentral di balik bailout Bank Century. Namun, boleh jadi, harapan gerak logika obat nyamuk bakar tersebut sulit terwujud. Setidaknya, gejala itu dapat dilacak berdasarkan pernyataan Ketua KPK Abraham Samad yang mengungkapkan bahwa KPK tidak bisa melakukan penyelidikan maupun penyidikan terhadap Boediono lantaran berstatus sebagai wakil presiden. Padahal, apabila ditelusuri, pertanyaan tim pengawas terkait dengan peran Boediono sebagai Gubernur BI menjadi salah satu isu sentral dalam proses di Panitia Khusus Bank Century DPR pada 2010.

Tidak Tepat

Sebagai sebuah institusi yang diberi wewenang khusus untuk menangani kasus korupsi, apa yang dikemukakan Ketua KPK menjadi sesuatu yang sulit diterima. Selain menggambarkan kegamangan KPK mengusut secara tuntas skandal Bank Century, pernyataan itu menegaskan bahwa terjadi diskriminasi dalam penegakan hukum. Padahal, dalam posisi Indonesia sebagai negara hukum, semua orang adalah bersamaan di hadapan hukum (equality before the law).

Dari berbagai perspektif, pernyataan Ketua KPK itu potensial menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi KPK. Apalagi, sejak skandal ini muncul ke permukaan, banyak pihak berpandangan bahwa kemampuan KPK menuntaskan skandal ini akan menjadi batu uji terpenting dalam menilai kemandirian KPK. Dalam pengertian itu, pendapat bahwa Boediono tidak dapat diperiksa akan menimbulkan banyak penafsiran.

Dalam kesempatan diskusi kilat dengan ahli hukum pidana UGM Prof Edy OS Hiariej terungkap apabila diletakkan konteks dalam sistem peradilan pidana, kekuasaan untuk melakukan tindakan proyustisia hanya boleh diberikan kepada institusi yang memiliki kewenangan yang sah untuk melakukan tindakan tersebut.

Artinya, dengan menjunjung tinggi prinsip equality before the law, siapa pun yang melakukan tindak pidana korupsi, tanpa memandang kedudukan dan jabatan, dapat disidik oleh lembaga yang berwenang baik oleh KPK, kejaksaan, maupun Polri.

Proses dugaan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden hanya dapat dilakukan melalui suatu tindakan proyustisia. Seperti dikemukakan peneliti ICW Febri Diansyah, tidak benar sebuah kebijakan tidak bisa dipersoalkan dengan UU Tindak Pidana Korupsi.

Dalam hal pembuat kebijakan melanggar sejumlah aturan hukum dan menyalahgunakan wewenang, merugikan keuangan negara, dan menguntungkan diri sendiri atau pihak lain, pembuat kebijakan bisa dijerat UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu, tambah Febri Diansyah, unsur kesengajaan pembuat kebijakan tidak mesti dibuktikan dengan adanya kick-back atau keuntungan yang diterima pejabat pembuat kebijakan.

Apalagi, dalam hal ini, KPK pernah menangani sejumlah kasus, termasuk kasus aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia senilai Rp100 miliar dengan salah satu terdakwa mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, bahkan hanya dengan ukuran ‘kepatutan’ pada unsur melawan hukum materiil.

Dengan dasar argumentasi tersebut, sangat tidak tepat mengatakan bahwa Boediono tidak bisa diusut. Oleh karena itu, akan jauh lebih tepat dan tidak mengundang kontroversi apabila dikatakan bahwa KPK masih memerlukan waktu untuk menyelidiki keterlibatan pihak lain termasuk peran Boediono atau siapa pun dalam bailout Bank Century.

Pandangan Ketua KPK semakin kehilangan dasar argumentasi karena skandal yang sedang diselidik oleh KPK terjadi ketika Boediono belum menjabat wakil presiden.

Jalur DPR

Di luar jalur hukum yang tengah dilakukan KPK, DPR dapat menggunakan jalur lain untuk menindaklanjuti skandal Bank Century, yaitu menggunakan proses politik.

Dalam hal ini, Pasal 7A UUD 1945 menyatakan, presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Merujuk rumusan Pasal 7A UUD 1945, DPR tidak harus memaksa KPK untuk cepat-cepat menentukan status hukum Boediono. Sekiranya hendak mengambil peran, DPR dapat membuka jalur politik untuk menuju upaya pemakzulan. Guna menuju upaya itu, DPR harus memulai dengan menggunakan hak menyatakan pendapat.

Dengan begitu, dengan menggunakan jalur itu, DPR tak perlu mengandalkan hasil proses hukum yang dilakukan KPK. Apalagi berdasarkan putusan MK, persyaratan pengambilan keputusan mengenai usul penggunaan hak menyatakan pendapat dapat dilakukan dengan syarat mayoritas sederhana.

Dalam hal ini, sekiranya memang yakin bahwa Boediono terlibat dalam skandal Bank Century, DPR dapat memulai jalur hak menyatakan pendapat. Apalagi hasil dari Pansus DPR menyatakan bahwa Boediono merupakan salah seorang yang ikut bertanggung jawab dalam bailout Bank Century.

Pertanyaannya, sekiranya memang yakin dengan hasil pansus tersebut, mengapa DPR gamang meneruskannya ke penggunaan hak menyatakan pendapat?

Jika melihat kondisi begitu, jangan-jangan yang terjadi dalam penuntasan skandal Century ialah terjebak dalam pilihan saling tunggu: DPR menunggu KPK dan begitu sebaliknya, KPK juga menunggu DPR. Jika begitu, upaya penuntasan skandal Century tak ubahnya seperti menjawab pertanyaan: mana yang lebih dulu, telur atau ayam.