Seratus Hari Tanpa Kejutan[1]

Oleh Saldi Isra[2]

Melalui Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 98/SK/KPU/2004, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla (selanjutnya ditulis Susilo-Kalla) ditetapkan sebagai pemenang grand final Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004. Berdasarkan hasil penghitungan suara secara manual, pasangan Susilo-Kalla memperoleh 69.266.350 suara, atau 60,62% dari total suara sah. Perolehan itu jauh meninggalkan pesaing mereka di grand final, pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi yang memperoleh 44.990.704 suara atau 39,38% dari total suara sah. Kalau hasil itu diletakkan di tingkat provinsi, Susilo-Kalla unggul di 28 provinsi atau 88% dan pasangan Mega-Hasyim hanya mampu menguasai 4 provinsi atau 12% dari jumlah provinsi yang ada. Jika dirinci lebih jauh ke tingkat kabupeten/kota, berdasarkan hasil rekapitulasi (yang diolah Litbang Kompas 07/10-2004) Susilo-Kalla menang di 339 atau 77% dan Mega-Hasyim menang di 101 atau 23% dari keseluruhan jumlah kabupaten/kota.

Apa makna angka-angka di atas? Lebih dari sekadar dukungan, angka itu menggambarkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia menaruh harap pada pasangan Susilo-Kalla untuk melakukan perubahan menuju kehidupan yang lebih baik. Harapan ini menjadi amat wajar karena pemerintah-pemerintah sebelumnya gagal membawa rakyat Indonesia kepada kehidupan yang lebih baik. Lalu, bagaimana Susilo-Kalla memenuhi harapan itu? Salah satu caranya, memenuhi janji-janji yang telah disampaikan selama masa kampanye.

Sebagaimana diketahui, dalam masa kampanye pasangan Susilo-Kalla menawarkan tiga visi, yaitu (1) terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun, dan damai; (2) terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia; dan (3) terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan. Visi itu didukung oleh tiga misi pokok, yaitu (1) mewujudkan Indonesia yang aman dan damai, (2) mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis, dan (3) mewujudkan Indonesia yang sejahtera.

Guna mewujudkan visi dan misi di atas, Susilo-Kalla menawarkan beberapa program yang merupakan agenda pembangunan dalam lima tahun ke depan termasuk program hukum. Sayang, berdasarkan program hukum yang dipersiapkan Susilo-Kalla masih ada program-program hukum lain yang belum ditawarkan. Kalaupun sudah ditawarkan, program tersebut masih memerlukan beberapa penajaman. Untuk melengkapi itu semua, tulisan ini coba menawarkan beberapa program (atau penajaman program) yang seharusnya dikerjakan pemerintahan Susilo-Kalla dalam periode 2004-2009.

Jumat lalu (28/01/05), genap seratus hari usia pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Banyak kalangan berpendapat, seratus hari pertama akan menjadi gambaran awal untuk melihat masa depan pemerintahan Presiden Yudhoyono. Kalau sekiranya, dalam seratus hari pertama pemerintahan Yudhoyono mampu bergerak ke arah pencapaian janji-janji yang pernah diucapkan sebelum berkuasa, ada harapan akan terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Tetapi, bila dalam tenggat waktu itu tidak ada pencapaian yang mengejutkan, besar kemungkinan pemerintahan Yudhoyono hanya akan mengulangi kegagalan-kegagalan yang dilakukan rezim sebelumnya.

Sebagaimana diketahui, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 17 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, satu hari setelah dinobatkan sebagai presiden, Yudhoyono melantik anggota Kabinet Indonesia Bersatu. Dalam sidang pertama kabinet, Presiden Yudhoyono menginstruksikan para menteri menyusun program seratus hari pertama untuk memberikan terapi kejut (shock therapy) di semua lingkungan pemerintahan. Wacana yang berkembang saat itu, terapi kejut diperlukan untuk menggerakan semua jajaran pemerintahan.

JANJI SEJUMLAH MENTERI

 

Jaksa Agung, Abdulrahman Saleh

- Terapi kejutnya antara lain dilakukan dengan mengungkapkan kasus korupsi pembobolan Bank BNI,

- Membuka lagi kasus-kasus korupsi besar.

Kapolri, Da’i Bachtiar

- Terapi kejutnya adalah dalam 100 hari mengungkapkan pelaku peledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia, Jakarta.

- Memburu tersangka teroris Dr. Azahari dab Noordin M. Top.

Menteri Dalam Negeri, Mohammad Ma’ruf

- Sosialisasi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

- Persiapan pemilihan kepala daerah secara langsung tahun 2005.

- Pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung.

- Mengambil tindakan tegas terhadap Pejabat daerah yang terbukti terlibat KKN, termasuk Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh.

Menteri Hukum da HAM, Hamid Awaluddin

- Memfungsikan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).

- Mengirim narapidana kasus korupsi ke Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

 

Sumber : Indra J. Piliang, 2005

Secara jujur harus diakui, pada saat itu, terapi kejut jajaran kabinet yang paling banyak ditunggu adalah dalam bidang hukum terutama shock therapy pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Perhatian terhadap agenda pemberantasan korupsi amat terkait dengan keseriusan mewujudkan semua janji yang pernah disampaikan Yudhoyono-Kalla sebelum terpilih menjadi presiden dan wakil presiden. Apalagi, selama masa kampanye pasangan Yudhoyono-Kalla menjadi pemberantasan korupsi sebagai agenda primadona. Bahkan, dalam banyak kesempatan, Yudhoyono selalu menegaskan akan memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi.

Kini setelah tenggat waktu seratus hari tiba, adakah kejutan yang dihasilkan jajaran Kabinet Indonesia Bersatu? Pertanyaan ini amat mendasar dikemukakan karena agenda seratus hari pertama akan menjadi starting-point untuk menilai masa depan pemerintahan Yudhoyono-Kalla.

Kalau dilihat secara cermat, semua jajaran kabinet terutama bidang hukum, Jaksa Agung termasuk yang paling cepat menerjemahkan agenda terapi kejut yang diamanatkan Presiden Yudhoyono. Buktinya, sebelum Presiden Yudhoyono menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi (Inpres No 5/2004), Jaksa Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor: SE-007/A/JA/11/2004 tentang Mempercepat Proses Penanganan Perkara Korupsi se-Indonesia. Intinya, semua penyidikan perkara-perkara korupsi yang masih ada di seluruh kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri agar dituntaskan dalam waktu tiga bulan (20/10-04 sampai 20/01-05).

Tidak hanya itu, Jaksa Agung juga memerintahkan agar perkara korupsi yang menarik perhatian masyarakat (menyangkut pejabat negara, legislatif, eksekutif atau tokoh masyarakat, bisnis) diprioritaskan penyelesaiannya. Di samping itu, Jaksa Agung juga meminta semua unsur kejaksaan benar-benar menjaga integritas moral dan berani menolak suap dalam segala bentuknya. Yang tak kalah penting, Jaksa Agung mengingatkan jajarannya untuk mengambil momentum perubahan guna mengangkat citra dan meraih kepercayaan serta dukungan masyarakat. Dengan momentum yang ada, jajaran kejaksaan siap melakukan perubahan perilaku dan bersungguh-sungguh dalam memberantas KKN di seluruh Indonesia.

Sayang, langkah yang dilakukan Jaksa Agung tak mampu secara progresif mengubah performance kejaksaan. Penanganan kasus korupsi masih lebih banyak dilakukan pada kasus-kasus kelas teri. Konsentrasi pengungkapan korupsi masih seputar kasus yang terjadi di daerah. Padahal, dari awal pergantian pemerintahan, kuat desakan untuk membongkar kasus korupsi yang terjadi di tingkat pusat misalnya indikasi korupsi yang dilakukan oleh anggota legislatif pusat. Selain itu secara kualitas masih banyak perkara korupsi besar yang belum tuntas penyelesaiannya, seperti kasus BLBI atau kasus besar lainnya.

Berdasarkan Laporan Akhir Tahun Indonesia Corruption Watch (2004), penanganan perkara korupsi BLBI yang dilakukan oleh kejaksaan tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan dari tahun ke tahun. Hingga akhir tahun 2004 ini, dari 60 orang yang diperiksa karena kasus korupsi dana BLBI, baru 16 orang yang diproses ke pengadilan, enam tersangka masih dalam proses penyidikan, 26 perkara masih dalam proses penyelidikan. Lebih memprihatinkan lagi, sudah 12 tersangka yang dihentikan penyidikannya oleh kejaksaan (SP3).

Daftar Tersangka Korupsi yang Menerima SP3

 

Tersangka

Perkara

Jumlah Kerugian

Ginandjar Kartasasmita

Dugaan korupsi Technical Assistance Contract (TAC).

US$ 24,8 juta

(almarhum) Faisal Abda

Dugaan korupsi Technical Assistance Contract (TAC).

US$ 24,8 juta

Praptono Honggopati Tjitrohupojo

Dugaan korupsi Technical Assistance Contract (TAC).

US$ 24,8 juta

Sjamsul Nursalim

Dugaan Korupsi Dana BLBI

Rp 10 Triliun

Djoko Ramiadji

Dugaan korupsi penerbitan Commercial Paper oleh PT. Hutama Karya untuk proyek JORR

US$105 juta dan Rp181,35 miliar

Siti Hardijanti Rukmana

Dugaan korupsi pipanisasi di Jawa

US$ 20,4 juta

Faisal Ab’daoe

Dugaan korupsi pipanisasi di Jawa

US$ 20,4 juta

Rosano Barack

Dugaan korupsi pipanisasi di Jawa

US$ 20,4 juta

Prajogo Pangestu

Dugaan korupsi proyek penanaman hutan oleh PT. MHP

Rp331 miliar

Abdul Latief (Mantan menaker)

Dugaan korupsi Jamsostek

Rp7,1 miliar

Abdillah Nussi (mantan Dirut Jamsostek)

Dugaan korupsi Jamsostek

Rp7,1 miliar

Yudo Swasono (mantan Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Depnaker).

Dugaan korupsi Jamsostek

Rp 7,1 miliar

Soewardi (Mantan Gubernur Jateng)

Dugaan Korupsi Asrama Haji Donohudan

Rp19 miliar

Johanes Kotjo

Dugaan Korupsi Bapindo- Kanindotex

Rp300 miliar

Robby Tjahjadi

Dugaan Korupsi Bapindo- Kanindotex

Rp300 miliar

Prijadi

Dugaan korupsi di BRI

Rp572,2 miliar

Djoko Santoso

Dugaan korupsi di BRI

Rp572,2 miliar

The Nin King

Dugaan korupsi di BRI

Rp 572,2 miliar

Joko S Tjandra

Dugaan korupsi di BRI

Rp572,2 miliar

Marimutu Sinivasan

Dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit ke PT. Texmaco

Rp1,8 triliun

Sukamdani Sahid Gitosarjono

Dugaan korupsi penyalahgunaan BLBI oleh PT. BDI

Rp418 miliar

Adriansyah

Dugaan korupsi penyalahgunaan BLBI oleh PT. BDI

Rp418 miliar

Bob Hasan
(mantan Ketua Dewan Pengurus Apkindo)

dugaan penyalahgunaan dana di Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo),

US$ 86 juta

Tjipto Wignjoprajitno (Ketua Badan
Eksekutif Apkindo)

dugaan penyalahgunaan dana di Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo),

US$ 86 juta

Raja DL Sitorus

Dugaan Kasus Korupsi Torganda di Riau

Rp213,5 miliar

 

Sumber : hukumonline.com 25/11/04

Yang lebih mengangetkan lagi, menjelang seratus hari pemerintahan Yudhoyono, Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat menunda pelimpahan perkara korupsi yang melibatkan Gubernur Sumatra Barat Zainal Bakar. Menurut keterangan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat Antasari Azhar, penundaan pelimpahan kasus itu dilakukan sesuai dengan instruksi Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Alasannya, Jaksa Agung meminta Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat mempelajari dulu putusan Pegadilan Tinggi Padang soal banding 43 orang anggota DPRD Sumatra Barat dalam kasus korupsi APBD Tahun 2002 (Padang Ekspres, 27/01).

Kalau benar penundaan itu berdasarkan instruksi Jaksa Agung, tindakan itu tidak saja memperlambat penganganan kasus korupsi tetapi juga mengangkangi Inpres No 5/2004 dan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-007/A/JA/11/2004. Dugaan kawan-kawan di Forum Peduli Sumatra Barat, ada kecenderungan, penundaan pelimpahan kasus Gubernur Sumatra Barat lebih banyak ditentukan faktor-faktor non-hukum. Lebih dari itu, penundaan yang dilakukan kejaksaan menguatkan kembali anggapa saya selama ini bahwa tidak mudah mengungkap kasus korupsi di ranah eksekutif. Artinya, diskriminasi pengungkapan kasus korupsi masih tetap berlangsung.

Tidak jauh berbeda dengan kejaksaan, perkembangan pengungkapan kasus korupsi di kepolisian juga tidak mengembirakan. Dari beberapa kasus yang mengemuka di kepolisian akhir-akhir ini, jangankan berupaya mengungkap kasus korupsi secara bersungguh-sunggu, beberapa aparat kepolisian justru terindikasi melakukan praktik suap (lihat tabel). Berdasarkan hal itu, perilaku menyimpang yang terjadi hanya memperkuat kecenderungan selama ini bahwa dalam banyak kasus, pengungkapan korupsi justru membuka peluang terjadinya praktik suap di lingkungan penegak hukum.

Evaluasi Bidang Kepolisian

 

No

Nama

Kasus

1

Ajun Komisaris Polisi Hamade

Suap Rp 500 juta dari calon siswa bintara magang Angkatan 2004 di Sulawesi Tenggara.

2

Ajun Komisaris Besar Polisi SA dan BA, serta Ajun Komisaris Polisi AK

Membantu membuat paspor terpidana korupsi Sudjiono Timan

3

Ismoko dan 24 penyidik

Dugaan suap Adrian Waworuntu, tersangka pembobol BNI Rp 1,7 triliun

4

Firman Gani

Pembangunan Gedung Detasemen 88 Antiteror Polda

 

Sumber: ICW (2004)

 

Target

Tercapai

Tidak Tercapai

Terorisme

Penangkapan Rois, Syaiful Bahri, Hasan dan Ansori

Penangkapan Nurdin M Top, Azahari, Abu Dujana, Dulmatin Dzulkarnain, Zulhori, Umar Patek alias Zacky.

Illegal Logging

Penyitaan 107 ribu meter kubik kayu dan 40 cukong di Polda Kaltim

11 cukong kayu utama di berbagai daerah

Korupsi

Berkas Nurdin Halid kasus penyeludupan

Berkas kasus belum lengkap Kasus Abdullah Puteh – kasus korupsi genset Aceh Rp. 30 M, kasus Karaha Bodas, Kasus Bank Swansarindo Rp. 60 M, kasus penyelewengan anggaran Bupati Nabire Rp. 2,5 M, Korupsi DPRD Kota Depok Rp 9,5 M

 

Sumber : Media Indonesia 29/01

Lalu bagaimana dengan Menkum dan HAM? Sejauh ini belum ada lompatan konkret yang dilakukan. Memang beberapa waktu belakangan Menkum dan HAM sedang menyelesaikan draf Perpu tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Melihat substansi yang ada, draf yang sedang dipersiapkan berupaya menerobos aturan-aturan hukum yang selama ini amat memihak kepada pelaku korupsi. Sayang, batasan korupsi minimal 50 (lima puluh) miliar rupiah dapat mempersulit pengungkapan kasus korupsi di lingkungan penyelenggara negara. Bagi saya, angka 50 miliar rupiah membuktikan sikap setengah hati pemerintah melakukan terobosan.

Mencermati penjelasan di atas, menarik menyimak pendapat Ketua Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi Prof Romli Atmasasmita, Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu di bawah Presiden Yudhoyono dinilai belum mampu memenuhi harapan rakyat dalam pemberantasan korupsi. Alasan Romli Atmasasmita, menjelang seratus hari Presiden Yudhoyono, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, serta Menkum dan HAM yang menjadi ujung tombak pemerintah dalam menegakkan hukum serta memberantas korupsi, belum menunjukkan kinerja memuaskan (Kompas, 27/01).

Akhirnya, selama seratus hari pemerintahan Presiden Yudhoyono, belum ada kejutan yang benar-benar mampu menimbulkan shock bagi pelaku korupsi. Lalu, mana janji pemberantasan korupsi yang Anda tawarkan dulu Mr President?



[1] Makalah disampaikan dalam Seminar 100 Hari Pemerintahan SBY-Kalla, di IAIN Imam Bonjol Padang, 5 Januari 2005.

[2] Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat dan Dosen Hukum Tata Negera Fakultas Hukum Universitas Andalas.