Saldi Isra
Kompas, 30 September 2016
Meski disadari praktik korupsi menjadi ancaman laten keberlangsungan masa depan negeri ini, upaya memberantasnya dengan mudah terjebak dalam labirin tak berujung. Bahkan, sejumlah fakta menunjukkan agenda pemberantasan korupsi sangat mungkin berubah menjadi monumen kegagalan untuk kesekian kalinya.
Betapa tidak, sejak genderang perang terhadap korupsi ditabuh, semua institusi negara tidak ada yang mampu sepenuhnya menghindar dari isapan rayap penyalahgunaan kuasa bernama korupsi. Dalam batas pengetahuan dan penglihatan yang wajar, tidak ada lagi institusi negara yang benar-benar bersih dari rayap korupsi. Boleh jadi, sekalipun dari luar masih kelihatan utuh, bukan tidak mungkin tiang- tiang penyangga negeri ini telah keropos dilalap rayap koruptif.
Karena itu, judul tulisan ini sengaja dipilih untuk menggambarkan betapa tidak mudah memilih diksi yang dapat mewakili kemarahan terhadap kian ganasnya praktik korupsi. Apabila diksi marah tidak mampu mengubah keadaan, siapa tahu, pilihan kata yang bermakna perintah dan sekaligus tekad ini mampu membangunkan kesadaran kolektif kita betapa praktik korupsi tengah menggerogoti tiang-tiang bangunan besar bernama Indonesia.
Penegak hukum
Secara hukum, langkah melawan korupsi hampir sama usianya dengan umur Republik ini. Namun, upaya tersebut gagal menurunkan dan menghentikan laju praktik korupsi. Karena itu, saat genderang perang ditabuh pada awal reformasi, tindak pidana korupsi diberi predikat sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Pemberian status luar biasa tersebut dimaksudkan memberikan pesan bahwa melakukan korupsi sangat mungkin dijatuhkan hukuman lebih berat dibandingkan dengan pidana biasa (ordinary crime).
Guna mendukung pesan itu, penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi juga dilakukan dengan cara-cara luar biasa (extraordinary action). Jamak diketahui, misalnya, bagi mereka yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dapat diancam dan dijatuhkan pidana mati. Bahkan, ihwal institusi, untuk mendukung politik hukum yang menempatkan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar bisa, dibentuk suatu lembaga khusus (yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan wewenang terbilang luar biasa dibandingkan dengan kepolisian dan kejaksaan.
Segala status luar biasa yang ditempatkan pada tindak pidana korupsi menjadi belum mampu mengurangi dan apalagi menghentikan laju penyalahgunaan wewenang, terutama kalangan yang diberikan amanah menyelenggarakan kepentingan publik. Bahkan, berkaca dari sejumlah kejadian, langkah menghentikan laju praktik korupsi terbentur dinding tembok. Di antara penyebabnya, memudarnya komitmen sejumlah pihak yang diberi otoritas untuk menegakkan hukum, termasuk dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Dalam batas penalaran yang wajar, mengurai secara tuntas masalah penegakan hukum, termasuk dalam memberantas tindak pidana korupsi, jelas tidak dipengaruhi satu faktor yang bersifat tunggal. Mengikuti tiga faktor yang berpengaruh signifikan dalam penegakan hukum (substansi hukum, penegak hukum, dan perilaku hukum masyarakat), semuanya memberikan kontribusi luasnya tindak pidana korupsi. Namun, jika ditelusuri lebih komprehensif, faktor penegak hukum memberikan kontribusi signifikan sulitnya maknaextraordinary menurunkan perilaku koruptif. Meluruhnya komitmen penegak hukum itu berlangsung dari hulu hingga ke hilir, yaitu mulai dari proses penyelidikan/ penyidikan hingga di lembaga pemasyarakatan.
Contoh mutakhir bisa dilacak dari penyalahgunaan wewenang Jaksa Farizal di Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. Diwartakan, Farizal mengakui menerima sejumlah uang dari Xaveriandy Sutanto, tersangka kasus distribusi impor gula tanpa SNI di PN Padang. Tak tanggung-tanggung, Farizal ditengarai mengatur perkara dan bertindak seolah-olah sebagai penasihat hukum Xaveriandy. Berkaca dari kejadian memalukan dan mencoreng institusi kejaksaan, amat mungkin pengalaman ini merupakan puncak gunung es penyalahgunaan kuasa dalam proses penyidikan. Dengan berkembangnya perilaku menggadaikan kuasa itu, rasa takut melakukan korupsi pasti berkurang.
Sebagaimana dinukilkan dalam ”Korupsi (Tidak) Ada Matinya” (Kompas,11/8/2010), tak hanya pengalaman yang terjadi pada proses awal, dalam tahap persidangan, di antara hakim pun tak segan-segan menggadaikan kemuliaannya untuk kepentingan nonhukum. Padahal, dengan predikat ”wakil Tuhan”, hakim harus menjaga integritas dan kepribadian. Mengikuti logika dan alur penyelesaian kasus, meski penegak hukum pada proses awal bermain-main dengan pihak beperkara, penegakan hukum masih mungkin diselamatkan apabila hakim mampu bertahan dari segala macam godaan yang merendahkan integritas kepribadian hakim.
Merujuk pengungkapan perilaku menyimpang di lingkungan pengadilan selama tahun 2015, hakim tidak lagi menjadi pemain tunggal. Berkaca dari kasus korupsi yang menimpa mantan panitera PN Jakarta Pusat, Edy Nasution, sangat mungkin pelaku dari nonhakim merupakan jejaring yang menentukan dan sekaligus mengendalikan ”arah” putusan hakim. Bahkan, bukan tak mungkin jejaring dari kalangan nonhakim bekerja dengan sangat terstruktur, sistematis, dan masif. Sejauh ini, jejaring yang bekerja dari jalur nonhakim nyaris tidak tersentuh bidikan reformasi peradilan.
Kian melemah
Di luar kekhawatiran terhadap perilaku sebagian penegak hukum, dalam konteks yang lebih luas, beberapa waktu belakangan terjadi pelemahan komitmen terhadap agenda pemberantasan korupsi. Terkait dengan proses peradilan, misalnya, salah satu fokus perhatian terkait dengan makin rendahnya rata-rata vonis bagi koruptor. Merujuk catatan yang ada, pada semester I tahun 2011, rata-rata hukuman bagi pelaku korupsi adalah 2 tahun 11 bulan. Angka itu menurun tajam, di mana semester I tahun 2016, rata-ratanya menjadi 2 tahun 1 bulan (Mahfud MD, 2016).
Bilamana dilihat dari aspek penjatuhan hukuman sebagai bagian dari strategi penjeraan (deterent effect), rata-rata lama vonis yang dijatuhkan pasti sangat jauh dari keinginan menimbulkan rasa takut (efek jera) melakukan korupsi. Bagaimanapun bagi koruptor, hukuman dua tahunan tak akan berarti banyak. Tambah lagi, dengan segala ”kemampuan dan kekuatan” yang dimiliki sebagian koruptor, lembaga pemasyarakatan sangat mungkin mereka kendalikan. Sejumlah bentangan empirik yang tersaji sejauh ini, banyak koruptor yang berleha-leha di luar lembaga pemasyarakatan.
Bahkan, bagi pelaku politik, status pernah menjalankan pidana, termasuk kasus korupsi, tidak lagi menjadi halangan untuk kembali aktif di dunia politik. Sejak putusan Mahkamah Konstitusi membuka ruang kepada bekas terpidana mengikuti kontestasi politik tanpa adanya tenggang waktu, status pernah terpidana kian kehilangan makna sebagai bentuk penjeraan. Celakanya, partai politik sebagai sumber utama pengajuan calon dalam pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah tidak pernah menjadikan status bekas terpidana (termasuk korupsi) sebagai alasan untuk menolak seseorang dijadikan calon. Saat ini, begitu bebas, bekas terpidana kasus korupsi segera masuk kontestasi politik. Ujungnya, sejumlah daerah terpaksa menerima kepala daerah bekas terpidana korupsi.
Tentu saja, vonis yang rendah tidak melulu menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari hakim. Sebagai sebuah rangkaian proses, vonis juga dipengaruhi oleh optimalisasi kerja penyidik. Bilamana sejak proses awal penyidik main mata dengan tersangka korupsi, arah putusan sangat mungkin dikendalikan. Begitu pula di tahap penuntutan, penuntut amat mungkin membuat desain lamanya putusan dengan memilih pasal-pasal tertentu yang putusannya berada dalam rentang rata-rata tersebut. Biasanya, rekayasa begitu tidak mungkin dilakukan secara gratis.
Bukti lain melemahnya komitmen untuk memberantas korupsi bisa dilacak dari adanya keinginan melonggarkan ketatnya persyaratan memperoleh remisi bagi koruptor sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Dengan segala pertimbangan, melihat fakta, mulai dari kemungkinan adanya rekayasa vonis sampai pada perlakuan istimewa yang diterima sebagian terpidana korupsi di lembaga pemasyarakatan, keinginan merevisi PP No 99/2012 melonggarkan syarat remisi jelas bertolak belakang dengan penetapan korupsi sebagai salah satu pengecualian dari kejahatan biasa.
Sikap presiden
Sebetulnya, di tengah kekhawatiran sebagian kalangan terhadap melemahnya upaya pemberantasan korupsi, publik masih bisa bersyukur karena Presiden Joko Widodo mulai menunjukkan sikap yang lebih jelas dan tegas. Misalnya, ketika mengundang 22 kalangan hukum dari sejumlah profesi bertandang ke Istana Negara (22/9), Presiden membuka pertemuan dengan pernyataan yang amat jelas, yaitu menolak setiap rencana yang dapat berujung pada meringankan syarat remisi terpidana korupsi.
Tidak hanya soal syarat remisi bagi terpidana korupsi, Presiden secara eksplisit menegaskan bahwa tidak akan melanjutkan rencana revisi UU No 30/2002 tentang KPK. Penegasan ini menjadi jawaban melegakan di tengah kekhawatiran banyak kalangan bahwa revisi akan terus dilanjutkan. Padahal, di dalam suasana dan kecenderungan resistensi yang begitu besar terhadap KPK, revisi UU No 30/2002 mungkin pembonsaian sistematis dan bahkan persiapan peti mati bagi KPK.
Selain menegaskan kedua soal itu, Presiden Jokowi juga tengah mempersiapkan peta jalan reformasi hukum. Dalam rencana peta jalan itu, Presiden mendengar keinginan dari mereka yang diundang. Sebagai salah seorang yang diundang dan hadir, saya termasuk yang mengingatkan Presiden untuk memenuhi janji penegakan hukum dan pembangunan hukum dalam Nawacita.
Artinya, apabila untaian janji dalam Nawacita dilakukan, fokus perhatian atas agenda hukum tidak akan tertinggal lagi dibandingkan dengan pembangunan lain, terutama ekonomi.
Banyak kalangan percaya, Presiden Jokowi akan mengambil momen dua tahun pemerintahannya menjadi titik memulai memberikan fokus terhadap agenda hukum. Untuk itu, Jokowi mesti membuat langkah dan peta jalan lebih detail terhadap institusi penegak hukum yang berada langsung di bawah kekuasaan presiden. Jika perhatian tersebut bisa dilakukan, kita tidak akan mendengar kepolisian dan kejaksaan menjadi pihak yang memberikan kontribusi besar terhadap potret buram penegakan hukum.
Sementara itu, bagi KPK, Jokowi hanya perlu menjaga agar kuasa yang dimiliki Presiden tidak dijadikan instrumen yang berujung membonsai dan melumpuhkan KPK. Bagaimanapun, ketika Presiden Jokowi memberi respons terhadap kejadian yang menimpa Ketua DPD Irman Gusman dan dengan bergetar menyatakan: ”Stop korupsi. Korupsi, sudahlah”, sulit dibantah bahwa KPK tetap menjadi lembaga yang paling mungkin bekerja optimal menghentikan laju praktik korupsi.
Bagi saya, memaknai kalimat ”korupsi, sudahlah”, Presiden membangun sistem yang memperkuat pencegahan korupsi di jajaran eksekutif dan menghentikan segala keinginan yang berpotensi dapat melemahkan agenda memberantas korupsi. Kemudian, sesuai dengan janji Nawacita, Presiden Jokowi harus membentengi KPK dengan cara mempertahankan dan memperkuat lembaga anti rasuah ini. Jika peta jalan reformasi hukum bisa mempertahankan pola sederhana itu, kalimat ”korupsi, sudahlah”, akan menjadi energi baru penegakan hukum ke depan.
Saldi Isra, Profesor Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang