Kompas, 31 Mei 2004

Titik Rawan Pemilu Presiden dan Wapres

Oleh Saldi Isra

Pengajar Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang

Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan lima pasangan calon presiden dan wakil presiden (wapres), dalam beberapa waktu ke depan, penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wapres akan memasuki beberapa tahapan penting dan krusial, yaitu pelaksanaan kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara, dan penetapan hasil pemilu presiden. Semua tahapan itu mempunyai titik rawan yang berpotensi merusak kualitas hasil pemilihan.

Terhitung mulai tanggal 1 Juni sampai dengan 1 Juli 2004, pemilu presiden dan wapres akan memasuki masa kampanye. Banyak kalangan menilai, melihat model penggalangan yang dilakukan oleh “tim sukses” pasangan calon presiden dan capres, masa kampanye berpotensi menimbulkan kekerasan di tingkat grass-root. Berkaca pada penyelenggaraan kampanye pemilu legislatif, kecil kemungkinan terjadinya bentrokan antarmassa calon presiden dan wakil presiden. Bagi saya, titik rawan penyelenggaran kampanye pemilu presiden dan wakil presiden lebih pada praktik money politics.

Memang benar, Undang-Undang tentang Pemilu Presiden dan Wapres (UU No 23/2003) secara tegas melarang pasangan calon presiden dan wapres serta Tim Kampanye melakukan praktik politik uang untuk mempengaruhi pemilih. Bahkan, bagi pasangan dan/atau Tim Kampanye yang terbukti melakukan money politics diancam sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh komisi pemilihan umum (KPU). Masalahnya, mungkinkah ancaman itu mampu mencegah terjadinya praktik money politics?

Melihat modus praktik politik uang dalam masa kampanye pemilu legislatif, larangan dan ancaman yang terdapat dalam UU No 23/2003 tidak akan mampu mengurangi penggunaan uang selama masa kampanye. Karena yang dilarang adalah pasangan calon dan/atau tim kampanye, praktik politik uang bisa saja dilakukan oleh pihak yang masih berasal dari kalangan calon yang bersangkutan. Apalagi, untuk dinyatakan bersalah tergantung pada putusan pengadilan. Kalau untuk kasus calon anggota DPRD saja --ingat kasus Ny Arianne Fredirk Nangoy di Manado-- hakim tidak berani menyatakan bersalah, apalagi untuk calon presiden dan wapres.

Setelah masa kampanye selesai, proses pemilu presiden dan wapres memasuki titik rawan berikutnya, yaitu pemungutan suara. Yang menjadi titik rawan bukan pada pemungutan suara itu sendiri tetapi “posisi” surat suara cadangan sebanyak dua-setengah persen. Pasal 48 Ayat (1) UU No 23/2003 menentukan, jumlah surat suara dicetak sama dengan jumlah pemilih dan ditambah dua setengah persen dari jumlah pemilih. Kalau sekiranya jumlah pemilih seratus empat puluh juta, maka surat suara cadangan berjumlah tiga setengah juta. Angka tiga setengah juta bukanlah jumlah yang kecil dalam sebuah pemilihan langsung.

Oleh karena itu, selain harus diawasai secara ketat, surat suara tambahan harus jelas pertanggungjawabannya. Misalnya, sampai hari belum terdengar penjelasan posisi surat suara tambahan dalam pemilihan umum legislatif yang lalu. Apakah surat suara itu dipakai? Kalau ya, berapa jumlah surat suara tambahan yang dipakai? Kalau tidak, di mana dan bagaimana surat keberadaan surat suara tambahan itu sekarang. Kejelasan itu menjadi sangat penting agar tidak ada sak-wasangka akan terjadi penyalahgunaan surat suara tambahan dalam pemilu presiden dan wapres pada 5 Juli mendatang.

Dibandingkan dengan semua penjelasan di atas, rekapitulasi hasil suara dapat menjadi titik paling rawan dalam pemilu presiden dan wapres. Kerawanan ini bermula dari rekayasa yang terjadi di tempat pemungutan suara (TPS). Berkaca pada pemilu legislatif, salah satu modus rekayasa adalah berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara hanya diisi satu lembar sementara saksi didorong untuk menandatangani lembar berikutnya yang belum diisi. Banyak partai politik mempersoalkan terjadinya perbedaan jumlah suara yang dilaporkan ke panitia pemilihan kecamatan (PPK) dengan jumlah suara saksi partai politik di TPS.

Meskipun UU No 23/2003 menenetukan bahwa penghitungan suara dilakukan dengan cara yang memungkinkan saksi pasangan calon, pengawas pemilu, pemantau pemilu, warga masayarakat untuk menyaksikan secara jelas proses penghitungan suara, hal serupa masih sangat mungkin terjadi dalam pemilu presiden dan wapres. Bahkan, peluang untuk merekayasa rekapitulasi di TPS dan PPK bisa lebih luas jika dibandingkan dengan yang terjadi dalam pemilu legislatif.

Argumentasinya, melihat keterbatasan kemampuan menggalang saksi secara merata ke semua TPS, sulit mengharapkan adanya pengawasan pemilu presiden dan wapres seluas pengawasan pemilu legislatif. Artinya, pengawasan pemilu presiden dan wapres tidak mungkin dilakukan seketat pemilu legislatif. Kalau pengawasan secara ketat sudah tidak bisa dilakukan, maka kemungkinan terjadinya kecurangan akan lebih luas.

Yang mencemaskan, kalau sekiranya proses penghitungan dan rekapitulasi suara dibayangi dengan kecurangan yang luas, maka proses pemilu presiden dan wapres akan memasuki titik rawan barikutnya yaitu kemungkinan penolakan terhadap hasil pemilihan. Penolakan ini sangat mungkin dilakukan partai politik yang mengusulkan dan/atau oleh pasangan calon presiden dan wapres bersangkutan. Kalau ini terjadi, ketegangan yang terjadi pada masa penghitungan hasil pemilu legislatif akan terulang kembali.

Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi titik rawan diatas, terutama kemungkinan terjadinya kecurangan dalam rekapitulasi penghitungan suara? Bagi saya yang paling mungkin dilakukan adalah mendorong partisipasi masyarakat secara luas untuk mengawasi penghitungan dan rekapitulasi suara di TPS dan PPK. Harus disadari, kalau tidak ada pengawasan yang lebih ketat dari masyarakat, pemilu presiden dan wapres hanya akan menghasilkan pemimpin-pemimpin culas. Hasil itu akan sangat rawan untuk masa depan negeri ini.