Karut-marut Dana Politik

Selasa, 27 Juli 2010 | 03:07 WIB

 

Saldi Isra Dalam kunjungan ke harian Kompas (21/7), Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan, pemilihan umum kepala daerah berdampak pada biaya politik yang tinggi. Dikaitkan dengan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, Mendagri menambahkan, biaya besar tersebut seperti menjadi paradoks karena untuk menjadi kepala daerah dibutuhkan uang miliaran rupiah dan setelah menjadi kepala daerah dituntut untuk menciptakan pemerintahan yang bersih.

Curah pendapat Mendagri itu mendapat respons dari banyak kalangan yang concern atas pemilihan umum kepala daerah (pilkada) dan karut-marut dana politik yang mengitarinya. Buktinya, selama tenggat tiga hari berturut-turut (22-25 Juli 2010) harian Kompas mewartakan panjang lebar reaksi atas dana politik dan dampak yang mungkin timbul bagi kepala daerah. Bahkan, begitu seriusnya masalah dana politik, peneliti senior LIPI, R Siti Zuhro, menilai pilkada yang telah berlangsung sebagai sebuah kegagalan alias rapor merah.

 

 

 

Pertanyaannya, mengapa praktik dana politik amat mencemaskan perjalanan demokrasi di negeri ini? Adakah ini muncul hanya ekses sesaat dari perjalanan demokrasi yang baja keluar dari sentralisasi kekuasaan? Atau, barangkali, desain hukum begitu mudah bagi pelaku politik memanfaatkan dana politik sehingga tidak mungkin dikontrol sama sekali.

Dana penyelenggaraan

Dari kutipan berita yang ada, keprihatinan Mendagri bertumpu pada dua isu pokok, yaitu dana yang diperlukan untuk penyelenggaraan pilkada dan besarnya jumlah dana yang digunakan pasangan-pasangan calon kepala daerah dalam meraih dukungan pemilih. Untuk masalah besarnya dana yang diperlukan dalam penyelenggaraan pilkada, keprihatinan Mendagri bisa dijawab dengan keberanian melakukan sejumlah terobosan.

Salah satunya, gagasan untuk menata ulang jadwal pilkada harusnya segera dicoba. Banyak kalangan percaya, menata ulang jadwal pilkada akan mampu mengurangi pengeluaran dana secara signifikan. Misalnya, sebagaimana asumsi anggota KPU, I Gusti Putu Artha, dengan pengelompokan pemilu menjadi pemilu legislatif dan pemilu eksekutif bisa dilakukan penghematan sekitar Rp 5 triliun (Kompas, 24/7).

Jika memang serius untuk mengurangi dana penyelenggaraan pemilu, hampir dipastikan akan bermunculan berbagai alternatif dan tawaran solusi. Khusus untuk pilkada, langkah penataan ulang jadwal pemilihan tidak akan menjadi pelanggaran atas UUD 1945. Alasannya, masa jabatan kepala daerah tidak disebut secara eksplisit dalam UUD 1945. Karena itu, penataan ulang jadwal pilkada bukan merupakan masalah konstitusional yang serius.

Rasanya, segala macam langkah dapat dilakukan untuk terjadinya efisiensi pelaksanaan pilkada. Yang tidak boleh dilakukan, karena alasan efisiensi, pilkada dikembalikan ke model pemilihan tidak langsung, baik anggota dipilih oleh DPRD maupun ditunjuk langsung oleh Presiden. Selain dapat dinilai sebagai sebuah langkah mundur, meninggalkan pilkada akan semakin mengaburkan praktik sistem presidensial di negeri ini.

Politik uang

Dibandingkan dengan besarnya dana penyelenggaraan pilkada, masalah dana politik yang kedua jauh lebih serius. Dikatakan serius, bentuk dana politik yang kedua lebih merupakan kejahatan yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada. Dana politik itu lebih kepada praktik politik uang (money politics) untuk meraih dukungan pemilih. Sama seperti dana penyelenggaraan, praktik politik uang juga sudah terjadi sejak pilkada pertama kali dilaksanakan.

Dalam pilkada, praktik politik uang yang paling tradisional adalah upaya jual-beli dukungan partai politik dalam proses awal pencalonan. Dalam proses seleksi pasangan calon kepala daerah, (sebagian) partai politik berubah menjadi mesin uang. Seperti pernah ditulis dalam ”Perahu Pukat Harimau” (Kompas, 25/6/2007), begitu proses pencalonan dibuka, partai politik pun meraup uang bagi mereka yang berminat. Mirip dengan pukat harimau, jumlah uang yang diraup juga bervariasi, mulai dari ratusan juta rupiah sampai dengan miliaran rupiah.

Ketika praktik jual-beli perahu begitu masif, banyak kalangan percaya bahwa memberi ruang bagi calon perseorangan akan mengurangi praktik politik uang dalam proses pencalonan. Nyatanya, setelah calon perseorangan diakomodasi, praktik jual-beli perahu tidak serta-merta berhenti. Apalagi, dengan ketentuan batas dukungan yang tidak ringan, menjadi calon kepala daerah melalui jalur perseorangan bukan pilihan mudah dan murah. Karena syarat itu, meski belum tentu gratis, ”meraih dukungan” partai politik tetap menjadi pilihan menarik.

Dalam perkembangannya, praktik penggunaan dana politik berupa politik uang menjadi sesuatu yang sulit dihindari karena banyak faktor, di antaranya terdapatnya banyak celah yang mempermudah terjadinya praktik politik uang. Sadar atau tidak, pengaturan dana kampanye merupakan salah satu substansi undang-undang yang tidak digarap dengan serius. Sebagaimana diketahui, hampir dalam setiap pembahasan rancangan undang-undang pemilu (baik legislatif, presiden, maupun kepala daerah) pembentuk undang-undang tidak pernah serius dan enggan mendalami masalah krusial yang berujung meruyaknya politik uang.

Jamak diketahui, praktik jual-beli perahu tidak mungkin dijangkau oleh norma yang ada. Sepak terjang partai politik meraup uang dalam proses penentuan pasangan kepala daerah sulit dihentikan. Apalagi, perbuatan tersebut tidak mudah dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu. Padahal, semua orang paham bahwa menggunakan uang untuk mendapatkan dukungan politik dapat dikatakan sebagai bentuk kejahatan serius bagi sebuah pemilu yang demokratis. Oleh karena itu, selama belum dikategorikan sebagai kejahatan, jangan pernah berharap praktik jual-beli perahu akan hilang.

Yang tidak kalah krusialnya, perilaku koruptif sebagian petahana (incumbent) menggunakan fasilitas publik mendorong calon lain (bukan petahana) untuk menggunakan segala macam upaya. Cara yang paling sederhana, mendapatkan dana sebanyak mungkin untuk mengimbangi fasilitas yang dimiliki incumbent. Pengalaman sejumlah pilkada, incumbent begitu leluasa menggunakan fasilitas publik untuk memenangi pemilihan.

Sejak pelaksanaan pilkada hampir tidak ada iklan pemerintah yang tidak disertai foto petahana. Bahkan, iklan pemerintah lebih merupakan alat peraga petahana. Diyakini, selama penggunaan fasilitas publik guna kepentingan kampanye petahana tidak dilarang, tidak mudah menghentikan calon lain menggunakan dana dalam jumlah besar. Apalagi, undang-undang tidak membatasi dana maksimal yang dapat digunakan untuk pilkada. Oleh karena itu, praktik politik uang bukan ekses sesaat setelah keluar dari sentralisasi kekuasaan.

Dalam hal biaya besar seperti menjadi paradoks untuk membangun pemerintahan yang baik. Harusnya biaya penyelenggaraan besar, semakin membenarkan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Biaya besar yang dikeluarkan akan memberi manfaat besar sekiranya mampu melahirkan pemerintahan yang baik. Yang tidak mungkin diterima, mengabaikan niat untuk membangun pemerintahan yang baik karena alasan banyaknya dana yang dikeluarkan pasangan calon kepala daerah.

Yang perlu dicatat, praktik politik uang tidak boleh menghentikan upaya membangun pemerintahan yang baik. Kalau itu yang terjadi, negeri ini benar-benar telah tertakluk pada perilaku koruptif.

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2010/07/27/03070936/karut-marut.dana.politik