Senin, 2 Mei 2011

JAKARTA (Suara Karya): Kombinasi sistem presidensial dengan keberadaan sistem banyak partai seperti yang sekarang terjadi di Indonesia dinilai memunculkan kerentanan terganggunya efektivitas pemerintahan. Ke depan diusulkan, parlemen hanya diisi oleh dua kekuatan politik yang dibedakan antara parpol yang berada di dalam dan di luar pemerintah.

 

"Jadi bukan dibagi atas dua partai, tetapi dua kekuatan politik di parlemen. Tujuannya agar presiden dalam keseharian hanya berhadapan dengan satu kekuatan politik, yaitu satu kekuatan di luar pemerintahan," kata peneliti The Indonesia Institute Hanta Yudha dalam acara bedah buku karangannya yang berjudul "Presidensialisme Setengah Hati" di Jakarta, Jumat (29/4).

 

Dia menegaskan, semangat yang diusung dengan usulan tersebut adalah untuk melakukan penyederhaan sistem kepartaian ataupun penyederhanaan parlemen. Dengan demikian, pemilu bisa diikuti banyak partai.

 

Akan tetapi, yang harus terus didorong adalah bagaimana revisi paket UU Bidang Politik mampu mendorong sistem kepartaian menjadi lebih sederhana.

 

Sistem "dwipartai", menurut dia, tidak dalam artian parlemen hanya diisi oleh dua partai politik. Akan tetapi, parpol-parpol di DPR akan dibedakan menjadi dua kubu atau dua fraksi, yakni fraksi yang berada di pemerintahan dengan yang di luar pemerintahan. Fraksi tersebut, hanya memiliki satu suara tunggal terhadap setiap pengambilan keputusan.

 

"Ini mungkin saja diterapkan dalam UU MPR, DPR, DPD dan DPRD. Memang harus ada rekayasa konstitusional untuk memperbaiki keadaan ini," kata dia.

 

Tujuan dari penerapan gagasan tersebut, menurut dia, untuk mengefektifkan pemerintahan, menjamin kemampuan presiden dalam memerintah dan ada kompatibilitas antara sistem pemerintahan dengan sistem kepartaian.

 

Fraksional Threshold
Apabila model pengaturan tersebut belum dapat diterima sebenarnya terdapat alternatif lain untuk mendorong penyederhanaan kepartaian. Pada Pemilu 2014, partai yang lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold), semisal ditetapkan sebesar lima persen tidak secara otomatis menjadi satu fraksi di DPR.

 

Hanta Yudha menjelaskan, nantinya juga dapat diperkenalkan fraksional threshold. Parpol yang lolos di DPR, baru dapat membentuk sebuah fraksi apabila memenuhi jumlah kursi tertentu.

 

Apabila satu fraksi ditetapkan minimal 100 kursi, tambahnya, maka hal tersebut juga akan membawa dampak pada berkurangnya kompleksitas politik di parlemen dan bakal berkontribusi pada berkurangnya hiruk pikuk disana.

 

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Saldi Isra mengatakan, logika adanya pembelahan fraksi di DPR seharusnya sudah dapat diterapkan pada pemerintahan sekarang, tidak perlu menunggu revisi undang-undang. Setidaknya, kata dia, penggabungan fraksi itu dapat diterapkan oleh koalisi pendukung pemerintahan Presiden SBY saat ini. (Feber S)

source: suarakaryaonline