Harian Singgalang Tanggal 19 April 2012

Husni Kamil Manik bukanlah nama yang asing bagi kita di daerah ini. Sejak 2003, anak muda ini tercatat sebagai salah seorang anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatra Barat. Belum habis masa dinasnya pada periode kedua sebagai anggota KPU Provinsi, Husni mengikuti seleksi calon anggota KPU Periode 2012-2017. Sebagaimana diketahui, dari 600-an pendaftar, bersama 13 pendaftar yang lain, Husni berjaya melewati fase Panitia Seleksi.

Kemudian, saat mengikuti tahapan fit and proper test di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, bekas Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Unand ini terpilih menjadi salah seorang komisioner KPU. Terakhir, yang lebih spektakuler dan boleh jadi di luar perhitungan banyak pihak, Husni meraih kepercayaan anggota yang lain menjadi “orang nomor satu” KPU Periode 2012-2017.
Kepercayaan itu menjadi bentangan karpet merah bagi Husni untuk memimpin lembaga penyelenggara pemilu tersebut selama lima tahun ke depan.

Saya mendapat kabar Husni terpilih menjadi Ketua KPU hanya dalam hitungan detik sebelum boarding dari Padang menuju Jakarta. Sepanjang penerbangan, bersama Feri Amsari (rekan muda saya di Fakultas Hukum Unand), kami tidak banyak membahas soal terpilihnya Husni. Pembicaraan kami lebih fokus pada satu soal: apakah ini menjadi pertanda berikutnya bahwa akan segera hadir pemimpin bangsa dari kalangan generasi muda?

Dalam batas penalaran yang wajar, pertayaan tersebut muncul lebih banyak dipicu oleh keprihatinan atas dominasi politisi gaek menuju kursi RI-1 dan RI-2 pada Pemilu 2014. Bahkan, bagi sebagian partai politik, alih generasi bukan menjadi sesuatu yang alamiah dan niscaya dalam proses menghadirkan pemimpin bangsa. Gejala yang kita saksikan akhir-akhir ini, jabatan ketua partai politik adalah segala-galanya.

Berdasarkan penalaran tersebut, keterpilihan Husni dapat menjadi sedikit jawaban di tengah dahaga hadirnya pemimpin muda. Apalagi, sebelumnya, institusi extra-ordinary dalam memberantas korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi juga menghadirkan anak muda bernama Abraham Samad. Namun dari segi usia, Husni masih beberapa generasi lebih muda jika dibandingkan dengan Abraham Samad.

Ujian panjang
Sebetulnya, semua komisioner KPU Periode 2012-2017 merupakan generasi baru. Sekalipun Hadar Navis Gumay lebih senior dibandingkan dengan enam komisioner lainnya, dalam soal peran dan kehadiran dalam struktur formal kenegaraan, Direktur Center for Electoral Reform (Cetro) ini merupakan muka baru. Dalam posisi sebagai generasi baru dan orang baru, semua komisioner akan melalui masa ujian yang panjang dan melelahkan. Ujian demikian lebih pada bagaimana mempertahankan KPU sebagai lembaga yang mandiri.

Apabila diletakkan dalam konteks bernegara, ujian tersebut dilakukan untuk menjaga pesan Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945 yang mengamanatkan pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Bagi mereka yang concern terhadap masalah ini, soal kemandirian KPU menjadi sebuah harga mati.

Apalagi, dalam UU No 15/2011 pemerintah dan mayoritas kekuatan politik DPR sepakat mencederai Pasal 22E Ayat (5) tersebut dengan memberi ruang aktivis partai politik menjadi penyelenggara pemilu. Untungnya, melalui Putusan No 81/PUU-IX/2011, Mahkamah Konstiusi memulihkan kembali makna mandiri tersebut.

Terkait kemandirian, dalam artikel “Membunuh Kemadirian KPU” (Kompas, 22/11-2011), dikemukakan, kita dapat saja bertikam lidah membangun argumentasi bertahan pada logika masing-masing. Namun hampir dapat dipastikan, memberi ruang bagi calon dari orang partai politik (menjadi anggota KPU) sama saja dengan menyediakan meriam untuk menembak keadilan pemilu (electoral justice). Bagaimnapun, dengan masuknya orang partai, penyelenggaraan pemilu akan dengan mudah terperosok pada krisis legitimasi. Pengalaman Pemilu 1999, misalnya, keterlibatan orang partai politik di KPU hampir menimbulkan krisis ketatanegaraan serius.

Merujuk basis konstitusi dan pengalaman tersebut, menjaga kemandirian KPU adalah harga mati. Karena itu, dengan alasan dan kepentingan apapun, komisioner KPU tidak boleh menggadaikan kemandirian KPU. Penegasan ini sangat diperlukan karena sangat mungkin di antara anggota KPU Periode 2012-2017 melakukan “komunikasi” dengan sejumlah kekuatan politik di DPR.
Namun demikian, sebagai upaya untuk mendapatkan dukungan dalam proses fit and proper test, para komisioner tidak boleh tertakluk kepada partai politik.

Bagaimanapun, menyukseskan pemilu di tengah karut marut demokrasi jelas bukan merupakan pekerjaan mudah. Tambah lagi, beban KPU menjadi kian berat dengan kondisi faktual yang akan dihadapi dalam Pemilu 2014.
Misalnya, salah satu penyelenggaraan pemilu yang dianggap paling rawan adalah pemilihan presiden dan wakil presiden. Banyak kalangan berpendapat, Pemilu 2014 akan menjadi ladang pertarungan antara sejumlah calon dengan yang kekuatan yang relatif berimbang.

Bukan tidak mungkin, hasil penghitungan suara akan berada pada perbedaan sangat tipis. Merujuk pengalaman Pemilu 2009 dan pengalaman sejumlah pemilihan kepala daerah, perbedaan dengan marjin tipis akan mendorong adanya tekanan politik yang sangat dahsyat.

Biasanya, tekanan pertama akan diarahkan pada penyelenggara pemilu baik di pusat maupun di daerah. Hampir dapat dipastikan, jika komisioner tidak mandiri dan independen dari awal, kekuatan politik akan dengan mudah menerobos benteng pertahanan KPU.

Oleh karena itu, sejak dari awal, komisioner KPU harus berbenar-benar membangun pola hubungan dengan kekuatan politik peserta pemilu. Dalam pengertian itu, pola hubungan harus tegas dan terang batas-batas halal-haram sebagai penyelenggara pemilu.

Tanpa batas-batas yang jelas, komisioner KPU sedang bergerak pasti menuju penghancuran pelaksanaan pemilu yang demokratis. Sekiranya hal itu benar-benar nyata, kita harus bersiap menghadapi krisis ketatanegaraan yang luar biasa.

Soliditas
Dengan mayoritas diisi orang-orang muda, untuk menjaga kemandirian KPU, sebagai Ketua KPU, tugas terberat yang diemban Husni adalah membangun soliditas sejak awal. Sekiranya mampu membangun soliditas, KPU Periode 2012-2017 akan memiliki modal kuat dan besar untuk menghadapi segala kemungkinan yang berpotensi merusak kemandirian KPU. Untuk mencapai itu, Husni harus mampu mengoptimalkan posisi komisioner yang kolektif-kolegial. Dalam situasi apapun, jangan sampai terjebak dalam kebiasaan “mansur” (main surang) alias bermain sendiri.

Saya menyarankan, sekalipun secara formal rekan-rekan telah memberi kepercayaan menjadi ketua, agar bekerja dengan semangat kolektif, Husni harus selalu memikirkan, Ketua KPU adalah tujuh orang. Dengan berfikir demikian, Husni memiliki ruang menerapkan pola kepemimpinan Minangkabau, “ditinggikan sa rantiang, didulukan salangkah”. Sekiranya mampu membangun dan mempertahankan soliditas, solidaritas sesama komisioner tak akan pernah terbelah.

Selain itu, dalam posisi sebagai Ketua KPU, banyak godaan yang akan menghampiri hari-hari Husni ke depan. Harapan kita, Husni tidak terhipnotis oleh godaan yang ada.

Dalam pengertian itu, Husni harus memiliki benteng pertahanan yang tak hanya tebal tetapi juga tinggi. Karenanya, Husni tak hanya harus bisa melawan arus godaan secara personal, tetapi juga harus mampu menghentikan godaan menyusup ke tubuh KPU.

Begitu landing di Jakarta, saya mengirim pesan singkat (sms) kepada Husni. Isinya: ini kepercayaan yang di dalamnya ada tanggung jawab maha besar. Selama bertugas Bung…!

(Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum
Universitas Andalas)