PENATAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT:
Sistem Trikameral di Tengah Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat
Oleh Saldi Isra
Dimuat dalam Jurnal Konstitusi
Vol. 1 Nomor 1, Juli 2004
Menuju Sistem Bikameral
Secara umum, struktur organisasi lembaga perwakilan rakyat terdiri dari dua bentuk yaitu lembaga perwakilan rakyat satu kamar (unicameral) dan lembaga perwakilan rakyat dua kamar (bicameral).[1] Praktik unikameral dan bikameral tidak terkait dengan landasan bernegara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, atau sistem pemerintahan tertentu.[2] Kedua bentuk itu merupakan hasil proses panjang praktik ketatanegaraan di berbagai belahan dunia.[3] Penerapan sistem bikameral, misalnya, dalam praktiknya sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan, dan sejarah ketatanegaraan negara yang bersangkutan.[4] Perbedaan latar belakang sejarah atau tujuan yang hendak dicapai menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi sistem perwakilan rakyat pada suatu negara.
Di Inggris, misalnya, sistem bikameral terdiri dari Majelis Tinggi (The House of Lord) dan Majelis Rendah (The House of Commons). Menurut Irving Stevens, pada awalnya Majelis Tinggi merupakan anggota dewan raja (the king’s council) yang berasal dari petinggi militer dan penasehat lainnya yang dipercayai raja. Kemudian, demokratisasi dan tumbuhnya kelas sosial baru (kelas menengah) memunculkan gagasan untuk menyeimbangkan lembaga perwakilan rakyat yang dapat merepresentasikan rakyat secara lebih luas. Gagasan itu mendorong munculnya “kamar kedua” yang disebut dengan Majelis Rendah. [5]
Berbeda dengan Inggris, sistem bikameral di Amerika Serikat (AS) terdiri dari Senate (senat) sebagai Majelis Tinggi dan House of Representatives (DPR) sebagai Majelis Rendah. Berdasarkan sejarah ketatanegaraan AS, pilihan pada sistem bikameral adalah merupakan hasil kompromi antara negara bagian yang berpenduduk banyak dengan negara bagian yang berpenduduk sedikit.[6] Senat mewakili negara bagian (state) dengan jumlah yang sama, yaitu dua orang untuk setiap negara bagian. Sementara itu, anggota DPR ditentukan berdasarkan jumlah penduduk.
Di Indonesia, sistem bikameral bukan hanya perdebatan yang muncul selama era Reformasi. Jauh hari sebelumnya, ketika berlaku Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949, sistem bikameral sudah “disepakati” menjadi model sistem perwakilan Indonesia. Dalam Bab III Ketentuan Umum KRIS 1949 disebutkan bahwa Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah alat perlengkapan federal Republik Indonesia Serikat. Sebagai Majelis Tinggi, berdasarkan Pasal 80 KRIS, Senat mewakili daerah-daerah bagian dengan jumlah yang sama, yaitu dua orang untuk setiap negara bagian. Sementara itu, sebagai Majelis Rendah, DPR mewakili seluruh rakyat Indonesia yang terdiri dari 150 anggota.
Meskipun negara RIS hanya berumur sekitar delapan bulan, pada tanggal 17 Agustus 1950 negara serikat dibubarkan dan KRIS 1949 diganti dengan UUD Sementara 1950, dukungan terhadap sistem bikameral belum punah. Buktinya, dalam upaya membuat konstitusi baru yang dilakukan oleh Konstituante (1956-1959), sistem bikameral tetap menjadi salah satu opsi bentuk lembaga perwakilan rakyat.[7] Sayangnya, usaha Konstituante tidak dapat diselesaikan secara tuntas karena Constitutional Assembly yang dibentuk berdasarkan hasil Pemilihan Umum Tahun 1955 dibubarkan Presiden Soekarno sebelum masa tugasnya berakhir. [8]
Gagasan sistem bikameral yang mengalami “mati suri” sekitar empat dasawarsa kembali menemukan momentum seiring dengan kuatnya desakan untuk melakukan “reformasi total” terhadap UUD 1945 pada awal era Reformasi. Buktinya, Sidang Tahunan MPR 2001 berhasil mencapai kesepakatan mendasar untuk membentuk “kamar kedua” setelah DPR di lembaga perwakilan rakyat dengan sebutan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Menurut Ramlan Surbakti, ada beberapa pertimbangan Indonesia mengadopsi sistem bikameral yang masing-masing mewadahi keterwakilan yang bebeda, yaitu distribusi penduduk Indonesia menurut wilayah sangat timpang dan terlampau besar terkonsentrasi di Pulau Jawa, serta sejarah Indonesia menunjukkan aspirasi kedaerahan sangat nyata dan mempunyai basis materil yang sangat kuat yaitu dengan adanya pluralisme daerah otonom seperti daerah istimewa dan otonomi khusus.[9]
Sejalah dengan Ramlan Surbakti, Bagir Manan memandang ada beberapa pertimbangan bagi Indonesia menuju sistem dua kamar.
a. Seperti diutarakan Montesquieu, sistem dua kamar merupakan suatu mekanisme checks and balances antara kamar-kamar dalam satu badan perwakilan.
b. Penyederhanaan sistem badan perwakilan. Hanya ada satu badan perwakilan tingkat pusat yang terdiri dari dua unsur yaitu unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat dan unsur yang mewakili daerah. Tidak diperlukan utusan golongan. Kepentingan golongan diwakili dan disalurkan melalui unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat.
c. Wakil daerah menjadi bagian yang melaksanakan fungsi parlemen (membentuk undang-undang, mengawasi pemerintah, menetapkan APBN, dan lain-lain). Dengan demikian segala kepentingan daerah terintegrasi dan dapat dilaksanakan sehari-hari dalam kegiatan parlemen. Hal ini merupakan salah satu faktor untuk menguatkan persatuan, menghindari disintegrasi.
d. Sistem dua kamar akan lebih produktif. Segala tugas dan wewenang dapat dilakukan setiap unsur. Tidak perlu menunggu atau bergantung pada satu badan seperti DPR sekarang.[10]
Meskipun tidak menyebut secara eksplisit, kedua pendapat di atas menghendaki sistem bikameral dengan kewenangan yang relatif berimbang antara kedua kamar/majelis di lembaga perwakilan rakyat (strong bicameralism), bukan soft bicameralism yang menjadikan satu kamar atau majelis mempunyai kekuatan lebih ketimbang yang lainnya. Biasanya, dengan strong bicameralism, mekanisme chekcs and balances di antara kedua kamar/majelis dapat berjalan lebih seimbang. Terkait dengan hali ini, Jimly Asshiddiqie menambahkan, dengan adanya dua majelis di suatu negara dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check). Keunggulan sistem double check ini semakin terasa apabila Majelis Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan itu memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dari Majelis Rendah.[11] Bahkan menurut Soewoto Mulyosudarmo, sistem bikameral bukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu negara, tetapi dilihat pula dari proses pembuatan undang-undang yang melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui Majelis Tinggi dan Majelis Rendah.[12]
Bagaimana semua gagasan di atas diletakkan dalam hasil perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, terutama dalam penataan lembaga perwakilan rakyat? Pertanyaan ini menjadi sangat penting karena amandemen UUD 1945 membawa implikasi yang sangat luas terhadap semua lembaga negara. Pada salah satu sisi, ada lembaga negara yang mendapat tambahan ‘darah baru’ yaitu dengan bertambahnya kewenangan secara signifikan di dalam konstitusi. Sementara di sisi lain, ada pula lembaga negara yang mengalami pengurangan kewenangan dibandingkan dengan sebelum dilakukan perubahan. Tidak hanya itu, ada pula lembaga negara yang dihilangkah karena dinilai tidak relevan lagi bagi kebutuhan penyelenggaraan negara ke depan. Di antara semua itu, lembaga perwakilan rakyat termasuk yang paling banyak mengalami perubahan dan penataan.
Khusus bagi lembaga perwakilan rakyat, perubahan sudah dimulai sejak Amandemen Pertama pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1999. Amandemen Pertama “berhasil” mengurangi secara mendasar kekuasaan presiden dan menambah kekuasaan DPR secara berarti dalam praktik ketatanegaraan.[13] Kemudian, Amanademen Kedua semakin mengukuhkan penguatan peran DPR.[14] Selanjutnya, Amandemen Ketiga melakukan penataan lembaga perwakilan rakyat dari sistem unikameral (dengan supremasi MPR) menuju sistem bikameral.[15] Terakhir, Amandemen Keempat dilakukan untuk melengkapi bagian-bagian yang masih “menggantung” dalam tiga perubahan sebelumnya, termasuk penataan komposisi MPR[16]
Perubahan-perubahan mendasar itu memunculkan pertanyaan, benarkah semua itu mengganti sistem unikameral (dengan supremasi MPR) menjadi sistem bikameral? Pertanyaan ini sangat terkait dengan berbagai kritik terhadap lembaga perwakilan rakyat pasca-amandemen UUD 1945. Misalnya, penataan lembaga perwakilan rakyat belum akan mampu mewujudkan mekanisme checks and balances karena perubahan yang dilakukan hanya menggeser pendulum dari supremasi MPR menjadi supremasi DPR.[17] Lebih dari itu, rumusan UUD 1945 yang baru sama sekali tidak mencerminkan konsep sistem perwakilan dua kamar.[18] Bahkan, dengan adanya keanggotaan dan kewenangan tersendiri MPR dalam UUD 1945, MPR menjadi kamar ketiga dalam lembaga perwakilan rakyat Indonesia.[19]
Semua kritik yang muncul terhadap lembaga perwakilan rakyat pacsa-amandemen UUD 1945 sangat mendasar dan masuk akal. Alasannya, salah satu tujuan utama perubahan UUD 1945 adalah untuk menata keseimbangan (checks and balances) antarlembaga negara. Hubungan itu ditata sedemikian rupa agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada salah satu institusi negara saja. Apalagi, the central goal of a constitution is to create the precondition for well-functioning democratic order.[20] Dengan terjadinya penumpukan kekuasaan pada satu institusi negara, kehidupan ketatanegaraan yang lebih demokratis tidak mungkin diwujudkan.
Tulisan ini berusaha membahas lembaga perwakilan rakyat pasca-amandemen UUD 1945. Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan masih banyak perdebatan tentang sistem lembaga perwakilan rakyat, apakah menganut sistem bikameral atau sistem trikameral. Pembahasan didasarkan pada aturan yang terdapat dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPR Daerah (UU Susduk).
Lembaga Perwakilan Rakyat Pasca-Amandemen UUD 1945
Sebelum perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengenal MPR sebagai lembaga negara tertinggi. Di bawahnya terdapat lima lembaga negara yang berkedudukan sebagai lembaga tinggi termasuk DPR. Dalam kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, MPR pemegang kekuasaan negara tertinggi (die gezamte staatgewald liegi allein bei der Majelis) karena lembaga ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (vertretungsorgaan des willens des staatsvolkes). Sementara itu, DPR yang merupakan lembaga perwakilan rakyat, dinyatakan bahwa kedudukan DPR adalah kuat dan senantiasa dapat mengawasi tindakan-tindakan presiden. Bahkan, jika DPR menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD 1945 atau oleh MPR, maka DPR dapat mengundang MPR untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa guna meminta pertanggungan jawab presiden.[21] Meskipun disebutkan bahwa kedudukan DPR adalah kuat, dalam perjalannya, keberadaan DPR lebih merupakan alat legitimasi presiden. Fungsi-fungsi konstitusional (legislasi, pengawasan, dan anggaran) DPR dapat dikatakan lumpuh total.
Setelah amandemen, DPR mengalami perubahahan, fungsi legislasi yang sebelumnya berada di tangan presiden, maka setelah amandemen UUD 1945 fungsi legislasi berpindah ke DPR. Pergeseran pendulum itu dapat dibaca dengan adanya perubahan radikal Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 dari presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, menjadi presiden berhak mengajukan rancangan kepada DPR. Akibat dari pergeseran itu, hilangnya dominasi presiden dalam proses pembentukan undang-undang. Perubahan ini penting artinya karena undang-undang adalah produk hukum yang paling dominan untuk menerjemahkan rumusan-rumusan normatif yang terdapat dalam UUD 1945.
Kemudian, perubahan Pasal 5 Ayat (1) diikuti dengan mengamandemen Pasal 20 UUD 1945 menjadi: (1) DPR mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang; (2) setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama; (3) jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu; (4) presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang; dan (5) dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari sejak rancangan undang-undang itu disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi uandang-undang dan wajib diundangkan.[22]
Selanjutnya, Amanademen Kedua UUD 1945 juga memunculkan ketentuan baru yang semakin memperkokoh posisi DPR. Ketentuan itu dirumuskan dalam Pasal 20A UUD 1945, yaitu (1) DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan; (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat; (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas; dan (4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak DPR dan hak anggota DPR diatur dalam undang-undang.
Tidak hanya dalam proses legislasi, hasil amandemen menempatkan DPR sebagai lembaga penentu kata-putus dalam bentuk memberi “persetujuan” terhadap beberapa agenda kenegaraan yang meliputi: (1) menyatakan perang, membuat perdamaian, perjanjian dengan negara lain;[23] (2) membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara;[24] (3) menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang;[25] (4) pengangkatan Hakim Agung;[26] (5) pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial.[27] Di samping itu, beberapa agenda kenegaraan juga “pertimbangan” DPR, seperti: (1) pengangkatan Duta;[28] (2) menerima penempatan duta negara lain;[29] dan (3) pemberian amnesti dan abolisi.[30] Kekuasaan DPR bertambah komplit dengan adanya kewenangan untuk mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan, seperti (1) memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan[31], menentukan tiga dari sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi[32], dan (3) menjadi institusi yang paling menentukan dalam proses pengisian lembaga non-state lainnya (auxiliary bodies) seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum. Catatan ini akan bertambah dengan adanya keharusan untuk meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri).
Posisi DPR dalam UUD 1945 memunculkan pertanyaan lain yang tidak kalah pentingnya, bagaimana dengan kewenangan DPD sebagai kamar kedua di lembaga perwakilan rakyat?
Secara jujur harus diakui, keberhasilan membentuk kamar kedua di lembaga perwakilan rakyat dengan sebutan DPD dalam Sidang Tahun MPR 2001 tidak terjadi seperti membalik telapak tangan. Selama pembahasan berkembang kontroversi yang mengemuka yaitu adanya kekhawatiran bahwa eksistensi DPD akan memporakporandakan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Disinyalir, keberadaan DPD akan mengurangi efektifitas kebijakan pusat terhadap daerah. Ujung-ujungnya, DPD dituding mengusung semagat federasi yang sangat bertentangan dengan negara kesatuan.[33] Padahal, seperti disebutkan pada bagian terdahulu, tidak ada hubungan antara sistem bikameral dengan bentuk federalisme.
Meskipun mengundang kontroversi, kehadiran DPD sudah tidak terhindari lagi. Bahkan, lembaga baru ini diatur dalam ketentuan yang sama sekali baru, yaitu Bab VIIA tentang DPD. Eksistensi DPD dinyatakan dalam Pasal 22C UUD 1945, yaitu (1) anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, (2) anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, (3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun; dan (4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.
Berkenaan dengan kewenangan, DPD (1) dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;[34] (2) ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama;[35] dan (3) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.[36]
Kalau kewenangan DPR dan DPD diletakkan dalam gagasan menciptakan bikameral dengan kewenangan yang relatif seimbang, maka dapat dikatakan bahwa sistem bikameral Indonesia dibangun dalam model soft bicameralism. Padahal, dari perkembangan pemikiran selama berlangsungnya Amandemen UUD 1945 bahwa penataan lembaga perwakilan rakyat diletakan dalam model strong bicameralism yaitu dengan memberikan kewenangan yang relatif berimbang antara DPR dan DPD. Semua ini bertujuan agar mekanisme chekcs and balances dapat berjalan relatif seimbang antara DPR dan DPD. Beberapa penjelasan berikut dapat membuktikan superioritas DPR atas DPD.
Pertama, dalam fungsi legislasi. Perubahan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 dari tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR menjadi DPR mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang dan penambahan Pasal 20A Ayat (1) bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan pengawasan tidak saja berakibat pada melemahkan fungsi legislasi presiden[37] tetapi memunculkan superioritas fungsi legislasi DPR terhadap DPD. Oleh karena itu, ruang untuk dapat mengajukan dan ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam Pasal 22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945 tidak cukup untuk mengatakan bahwa DPD mempuyai fungsi legislasi. Bagaimanapun, fungsi legislasi harus dilihat secara utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai menyetujui sebuah rancangan undang-undang menjadi undang-undang.
Banyak pendapat mengatakan, perubahan Pasal 20 Ayat (1) dan kehadiran Pasal 20A Ayat (1) memberi garis demarkasi yang sangat tegas bahwa kekuasaan membuat undang-undang hanya menjadi monopoli DPR.[38] Padahal, dalam lembaga perwakilan rakyat bikameral, kalau tidak berhak mengajukan rancangan undang-undang, Majelis Tinggi berhak untuk mengubah, mempertimbangkan, atau menolak (veto) rancangan undang-undang dari Majelis rendah. Sekiranya hak itu juga tidak ada, Majelis Tinggi diberi hak menunda pengesahan (rancangan, penulis) undang-undang yang disetujui Majelis Rendah. Hak menunda pengesahan sering menjadi satu-satunya kekuatan jika Majelis Tinggi jika tidak mempunyai hak mengubah dan menolak rancangan undang-undang.[39]
Di banyak negara yang memakai sistem bikameral, lembaga semacam DPD (senate atau upper house) diberikan kewenangan yang besar untuk mengimbangi posisi DPR (house of representative). Misalnya di Austarlia, paling tidak, senat mempunyai dua fungsi utama. Pertama, meneliti ulang setiap rancangan undang-undang yang diajukan oleh Majelis Rendah, yaitu House of Representatives (DPR). Dan, kedua, melalui three-fold committee system[40] mempunyai kekuasaan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam fungsi legislasi, senat mempunyai kekuasaan yang sama dengan DPR untuk mengajukan rancangan undang-undang. Bahkan, setiap anggota senat berhak mengajukan suatu rancangan undang-undang.[41]
Kedua, dalam fungsi anggaran. Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, …memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara. Sama dengan fungsi legislasi, dalam fungsi anggaran DPD juga mempunyai fungsi anggaran yang sangat terbatas yaitu terbatas pada memberikan pertimbangan kepada DPR dalam proses pembahasan rancangan undang-undang APBN. Padahal, pertimbangan hanyalah sebagian kecil saja penggunaan hak dalam fungsi anggaran. Semestinya, DPD diberi kewenangan untuk mengusulkan, mempertimbangkan, mengubah, dan menetapkan anggaran seperti DPR. Menurut Kevin Evans, kalau kesempatan itu tidak ada, Majelis Tinggi seharusnya diberi hak menunda persetujuan rancangan APBN.[42]
Ketiga, fungsi pengawasan. Tidak berbeda dengan fungsi legislasi dan fungsi anggaran, dalam fungsi pengawasan pun DPD mempunyai kewenangan yang sangat terbatas.[43] Pasal 22D Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: (a) otonomi daerah, (b) hubungan pusat dan daerah, (c) pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, (d) pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, (e) pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, (f) pajak, (g) pendidikan, dan (h) agama. Kemudian, hasil itu disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Dengan terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD, sulit dibantah bahwa keberadaan lembaga negara ini lebih merupakan sub-ordinasi dari DPR. Keterbatasan itu memberi makna, gagasan menciptakan dua kamar dengan kekuatan berimbang untuk mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan gagal karena perubahan UUD 1945 yang bias kepentingan DPR. Kegagalan ini akan berdampak pada melemahnya artikulasi politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional. Dengan demikian sulit membantah sinyalemen bahwa keberadaan DPD hanya sebagai pelengkap dalam lembaga perwakilan rakyat.
Di samping itu, munculnya rumusan “reaktif” Pasal 7C yang menyatakan bahwa Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR. Sulit dibantah, Pasal 7C muncul sebagai reaksi terhadap sikap mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang pernah berupaya untuk membubarkan DPR. Dalam konteks kebutuhan praktik ketatanegaraan ke depan, rumusan ini menjadi tidak masuk akal dengan adanya pilihan untuk tetap mempertahankan sistem presidensiil. Di samping itu, rumusan Pasal 7C dapat menimbulkan pertanyaan mendasar lainnya yaitu mengapa yang dilarang untuk dibekukan dan/atau dibubarkan hanya DPR? Lalu, apakah DPD boleh dibekukan dan/atau dibubarkan oleh Presiden?
Ketidakseimbangan antara DPD dan DPR juga dapat dicermati dalam proses pemberhantian presiden dan/atau wakil presiden di tengah masa jabatannya (impeachment).[44] Berdasarakan Pasal 7B Ayat (1) sampai Ayat (6) UUD 1945, usul pemberhentian dapat diajukan kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR apabila presiden dan wakil presiden tidak lagi memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7A UUD 1945. Kalau Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR, maka MPR akan menyelenggarakan sidang untuk memutus usul DPR. Untuk itu, Pasal 7B Ayat (7) UUD 1945 menentukan, keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Kalau ditelaah ketentuan kuorum yang dalam proses impeachment di MPR, peran DPD dapat diabaikan. Saat ini jumlah anggota DPR 550 orang[45] dan anggota DPD 128 orang[46]. Berarti anggota MPR berjumlah 678 orang. Menurut Refly Harun, impeachment dapat dilakukan tanpa melibatkan DPD karena jumlah anggota DPR yang 550 orang sudah lebih dari ¾ jumlah anggota MPR hanya berjumlah 508 orang. Hal yang sama juga berlaku dalam proses perubahan UUD 1945.[47] Celakanya, menurut Refly Harun lagi, konstitusi menyatakan bahwa bahwa MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD. Artinya, kehadiran DPD dalam MPR tidak bersifat kelembagaan, melainkan perseorangan. Seandainya interpretasi konstitusi dipaksakan bahwa MPR ada apabila ada anggota DPR dan DPD yang hadir sekaligus, tanpa kehadiran anggota DPD maka forum MPR tidak absah, cukup bagi DPR untuk seorang saja anggota DPD agar forum MPR menjadi sah.[48]
Lalu bagaimana dengan MPR?
Seperti dinyatakan terdahulu, para pendiri negara (the founding fathers) menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang membawahi beberapa lembaga tinggi negara. Meski demikian, menurut H.M. Laica Marzuki, keliru MPR diberi kekuasaan tidak terbatas. Hal dimaksud mengakibatkan anarkhi, lagi pula –secara contrario in adjecto (‘tegenstrijdigheid door de toevoeging’)-- berhadapan dengan sistem konstitusional (hukum dasar) yang justru tidak menghendaki bangunan pemerintahan yang absolut, dengan kekuasaan yang tidak terbatas.[49]
Setelah amandemen, MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan rakyat tertinggi. Penghapusan sistem lembaga tertinggi negara adalah upaya logis untuk keluar dari perangkap disain ketatanegaraan yang rancu dalam menciptakan mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga negara. Perubahan ini dapat dilihat dari adanya keberanian untuk ‘memulihkan’ kedaulatan rakyat dengan mengamandemen Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dari kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
Hilangnya prediket MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat, diikuti langkah besar lainnya yaitu dengan mengamandemen ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongan-golongan menjadi MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum. Perubahan terhadap Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (1) berimplikasi pada reposisi peran MPR dari lembaga tertinggi negara (supreme body) menjadi gabungan antara DPR dan DPD.[50]
Sementara itu, amandemen UUD 1945 juga berimplikasi kepada kewenangan MPR. Sebelumnya, MPR mempunyai kewenangan politik yang sangat strategis dalam praktik ketatanegaraan karena berwenang menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara[51] serta memilih presiden dan wakil presiden.[52] Kini, berdasarkan hasil amandemen UUD 1945 mempunyai wewenang yaitu (1) berwenang mengubah dan menetapkan UUD;[53] (2) melantik presiden dan/atau wakil presiden;[54] (3) memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD;[55] dan (4) jika presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, MPR memilih presiden dan wakil presiden dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.[56]
Mencermati penataan lembaga perwakilan rakyat di atas, ada beberapa poin penting yang dapat dikemukakan.
Pertama, perubahan UUD 1945, baik langsung mapun tidak langsung, mendorong DPR menjadi lembaga supreme di antara lembaga-lembaga negara yang ada. Dengan kondisi seperti itu, kalau pada awalnya ada anggapan bahwa perubahan UUD 1945 menggeser paradigma executive heavy menjadi legislative heavy, melihat pergeseran yang terjadi, anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Yang terjadi sesungguhnya adalah DPR heavy karena kehadiran DPD hanya sebagai pelengkap penderita dalam lembaga perwakilan rakyat. Besar kemungkinan, dalam praktik ketatanegaraan ke depan akan muncul concentration of power and responsibility upon the DPR, seperti kekuasaan Presiden di bawah UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen.
Kedua, melihat kewenangan dan tata cara pengisian anggota DPD, hasil perubahan mempunyai sikap mendua. Pada salah satu sisi, dengan kewenangan DPD yang begitu lemah terhadap DPR, perubahan UUD 1945 telah melahirkan soft bicameralism. Sementara di sisi lain, dengan cara pengisian keanggotaan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum, tersirat ada keinginan untuk menghadirkan strong bicameralism. Bahkan, karena setiap provinsi hanya diwakili oleh empat orang, pengisian keanggotaan DPD hampir dapat dipastikan lebh berat dibandingkan dengan pengisian keanggotaan DPR.
Ketiga, melihat rumusan yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen, sulit untuk mengatakan bahwa MPR merupakan sidang gabungan (joint session) antara DPR dengan DPD. Dalam pandangan Bagir Manan, MPR menjadi wadah badan perwakilan tersendiri karena susunan yang menyebutkan terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD. Dalam susunan dua kamar, bukan anggota yang menjadi unsur tetapi badan yaitu DPR dan DPD. Kalau anggota yang menjadi unsur, maka MPR adalah badan yang berdiri sendiri.[57] Dengan demikian, MPR menjadi kamar ketiga dalam lembaga perwakilan rakyat. Artinya, hasil perubahan UUD 1945 meletakkan lembaga perwakilan rakyat ke dalam sistem trikameral.
UU Susduk: Mengukuhkan Hegemoni DPR dan Sistem Trikameral
Ketika Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPR Daerah (UU Susduk) masih dalam tahap pembahasan (baca: rancangan), banyak kalangan berharap agar DPR memperjelas beberapa persoalan mendua yang terdapat dalam UUD 1945 terutama memaknai kembali semangat strong bicameralism. Hasilnya, “jauh panggang dari api”, UU Susduk semakin memperkuat hegemoni DPR dan mengukuhkan sistem trikameral.
Khusus terhadap DPD, hegemoni DPR dapat dilihat perbedaan tugas dan wewenang antara DPR dan DPD yang terdapat dalam Pasal 26 Ayat (1) UU Susduk dan Pasal UU Susduk. Pasal 26 Ayat (1) UU Susduk secara detail menyebutkan tugas dan wewenang DPR yang meliputi:
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama;
b. membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang;
c. menerima dan membahas usulan rancangan undang-undang yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan;
d. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e. menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
f. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, anggaran pendapatan dan belanja negara, serta kebijakan pemerintah;
g. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
h. memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
i. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;
j. memberikan persetujuan kepada presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
k. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden;
l. memilih tiga orang calon anggota hakim konstitusi dan mengajukannya kepada presiden untuk ditetapkan;
m. memberikan pertimbangan kepada presiden untuk mengangkat duta, menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi;
n. memberikan persetujuan kepada presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau pembentukan undang-undang;
o. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; dan
p. melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalam undang-undang.
Sementara itu, tugas dan wewenang DPD yang terdapat dalam Pasal 42 UU Susduk sangat terbatas, yaitu:
(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) DPD mengusulkan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada DPR dan DPR mengundang DPD untuk membahas sesuai tata tertib DPR.
(3) Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sebelum DPR membahas rancangan undang-undang dimaksud pada ayat (1) dengan pemerintah.
Pada salah satu sisi, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPR mempunyai: (1) hak interpelasi, (2) hak angket, dan (3) hak menyatakan pendapat.[58] Di luar hak institusi, anggota DPR juga diberi hak, di antaranya: (1) mengajukan rancangan undang-undang, (2) mengajukan pertanyaan, (3) menyampaikan usul dan pendapat, dan (4) imunitas.[59] Sementara di sisi lain, DPD hanya berhak mengajukan dan ikut membahas rancangan undang-undang sebagai mana dimaksukan dalam Pasl 22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945. Bahkan, khusus untuk penggunaan hak angket, DPR dapat melakukan pemanggilan paksa.[60] Kalau penggilan paksa itu tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, DPR dapat melakukan penyenderaan.[61] Melihat rumusan itu, bukan tidak mungkin, suatu ketika ada di antara anggota DPD yang menjadi sandera DPR.
UU Susduk tidak hanya mengukuhkan hegemoni DPR tetapi juga memperjelas dan mengukuhkan lembaga perwakilan rakyat dengan sistem trikameral. Kalau di tingkat konsitusi trikameral dapat dipahami karena adanya frase dalam Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “susunan MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD”, dalam UU Susduk yang penegasan sebagai lembaga perwakilan rakyat trikameral diuraikan secara rinci. Misalnya, keharusan anggota MPR mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebelum memangku jabatannya.[62] Padahal, sebelum memangku jabatan sebagai anggota DPR dan DPD meraka juga diambil sumpahnya.
Peneguhan trikameral semakin kelihatan dengan adanya ketentuan pergantian antarwaktu anggota DPR, DPD, dan MPR. Pasal 84 UU Susduk menyatakan: (1) pergantian antarwaktu anggota MPR terjadi apabila terjadi pergantian antarwaktu anggota DPR atau DPD, dan (2) peberhentian dan pengangkatan penggantian antarwaktu anggota MPR dresmikan dengan Keputusan Presiden. Sebenarnya, khusus bagi anggota MPR, tidak diperlukan lagi pergantian antarwaktu karena pergantian antarwaktu anggota MPR dengan sendirinya terkait dengan pergantian antarwaktu angota DPR dan DPD.[63]
Penutup
Dalam pidato penutupan Sidang Tahunan 2002, Ketua MPR Amien Rais mengatakan bahwa reformasi konstitusi yang telah dilakukan merupakan suatu langkah besar demokrasi dalam upaya menyempurnakan UUD 1945 menjadi konstitusi yang demokratis, konstitusi yang sesuai dengan semangat zaman, konstitusi yang mampu mewadahi dinamika bangsa dan perubahan zaman pada masa yang akan datang. Dengan UUD yang telah diamendir, di hadapan kita telah terbentang suatu era Indonesia baru yang lebih demokratis dan lebih maju (Kompas, 12/08-2002). Melihat penataan lembaga perwakilan rakyat hasil amandemen UUD 1945, era baru yang lebih demokratis, seperti dikatakan Amien Rais, harus diletakkan dalam tanda petik karena ketidakseimbangan antara DPR dan DPD mekanisme checks and balances sulit untuk diwujudkan.
Dari telaah di tingkat konstitusi, lembaga legislatif pasca-amandemen UUD 1945 masih belum akan mampu mewujudkan mekanisme checks and balances dalam makna yang hakiki. ‘Langkah besar’ menyempurnakan UUD 1945 hanya menggeser supremasi MPR ke supremasi DPR. Kalau pun kemudian ada yang berharap, UU Susduk mampu mengembalikan susunan lembaga perwakilan rakyat ke sistem bikameral, harapan itu tidak mungkin dilaksanakan karena design UUD 1945 tidak menghendaki sistem bikameral, apalagi strong bicameralism.
Oleh karena itu, perbaikan kelemahan-kelemahan elementer dalam struktur lembaga perwakilan rakyat, hanya mungkin dilakukan dengan mendorong lembaga legislatif dan pemerintah hasil pemilihan umum 2004 melanjutkan kembli reformasi konstitusi. Itu pun hanya mungkin dilakukan oleh sebuah Komisi Konstitusi yang independen.
DAFTAR BACAAN
Adnan Buyung Nasution, (1992), The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Socio-Legal Study of Indonesian Konstituante 1956-1959, Rijksuniversiteit, Utrecht.
Agus Haryadi, (2002), Bikameral Setengah Hati, dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra dan Marwan Mas (Edit.), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka Sinar Harapan dan Koalisi untuk Konstitusi Baru, Jakarta.
Azumlia Rifai, 1994, Pengantar Konstitusi Australia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Bagir Manan, (2003a), DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Press, Yogyakarta.
-----------------, (2003b), Teori dan Politik Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Press, Yogyakarta.
Bambang Widjojanto, Saldi Isra, dan Marwan Mas (edit.), (2002), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Koalisi Konstitusi Baru dan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Bima Arya Sugiarto, (2002), Sidang Tahunan MPR 2002: Menuju Institusionalisasi, Menyelemtkan Transisi, dalam Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI, No. 2, Jakarta.
Bivitri Susanti (et.al), (2000), Semua Harus Terwakili, Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta.
Bivitri Susanti, (2003), Lembaga Perwakilan Rakyat Trikameral, Supremasi DPR dan Sempitnya Ruang Demokrasi Perwakilan, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 20, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MAPI) Jakarta.
Cass R. Sunstein, (2001), Designing Democracy, What Constitution Do, Oxford University Press, New York.
HM. Laica Marzuki, (2004), Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Sumbangan Tulisan dalam Soewoto Mulyosudarmo, Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, Surabaya.
Denny Indrayana (2002), Ancaman Tirani DPR, dalam Kompas, 2 September, Jakarta.
Inter-Parliamentary Union, (1986), Parliament of the World, A Comparative Reference Compendium, Second Edition, Vol. I, Gower Publishing Company Limited, England.
Irving Stevens, (1996), Constitutional and Administrative Law , Edisi Ketiga, Pitman Publishing, London.
Jimly Asshiddiqie, (1996), Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
-----------------------, (2002), Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
-----------------------, (2004), Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Press, Yogyakarta. Baca juga,
John A. Jacobson, (1998), An Introduction to Political Science, West/Wadsworth, Belmont CA, Washington.
Kevin Evans, (2002), Seputar Sistem Bikameral, dalam Bambang Subianto et.al (edit.), Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, CPPS Paramadina dan Partnership for Governance reform in Indonesia, Jakarta.
Maruto MD dan Anwari WMK (edit.), (2002), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta.
Mohammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan undang-undang Dasar 1945, Yayasan Prapandja, Jakarta.
M. Fajrul Falaakh, (2002), Metamorfosis MPR (Teka-teki Parlemen Berkmar Tiga), dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra, dan Marwan Mas (edit.), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Koalisi Konstitusi Baru dan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
National Democratic Institute for International Affair (NDI), (1996), Satu atau Dua Kamar? Pilihan antara Pola Badan Legislatif Unikameral dan Bikameral, (Seri Penelitian).
Ramlan Surbakti, (2002), Menuju Demokrasi Konstitusional: Reformasi Hubungan dan Distribusi Kekuasaan, dalam Maruto MD dan Anwari WMK (edit.), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta.
Refly Harun, (2004), Memperkuat Dewan Perwakilan Daerah, dalam http://www.korantempo.com/news/2004/5/18/Opini/48.html
Saldi Isra, (2002), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi: Memastikan Arah Reformasi Konstitusi, dalam Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, Nomor 2, Jakarta.
-------------, (2003), (Makin) Kebablasan, DPR dlam UU Susduk, dalam Media Indonesia, 15 Juli, Jakarta.
-------------, (2003), Amandemen Lembaga Legislatif dan Eksekutif: Prospek dan Tantangan, dalam Jurnal UNISIA, No. 49/XXVI/III, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
-------------, (2004), Lembaga Legislatif Pasca-Amandemen UUD 1945, dalam Soewoto Mulyosudarmo, Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, Surabaya.
Soewoto Mulyosudarmo, (2004), Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, Surabaya.
[1] Lihat, John A. Jacobson, (1998), An Introduction to Political Science, West/Wadsworth, Belmont CA, Washington.
[2] Bagir Manan, (2003b), Teori dan Politik Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Press, Yogyakarta.
[3] Bivitri Susanti (et.al), (2000), Semua Harus Terwakili, Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta.
[4] Jimly Asshiddiqie, (1996), Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
[5] Inter-Parliamentary Union, (1986), Parliament of the World, A Comparative Reference Compendium, Second Edition, Vol. I, Gower Publishing Company Limited, England, dan Irving Stevens, (1996), Constitutional and Administrative Law , Edisi Ketiga, Pitman Publishing, London.
[6] Pada awal pembentukan Negara Federasi AS, negara bagian yang berpenduduk besar menghendaki penentuan jumlah perwakilan rakyat berdasarkan jumlah penduduk. Sementara negara bagian yang kecil menghendaki jumlah perwakilan yang merata karena khawatir akan terjadi “marjinalisasi”. Perbedaan kedua kubu ini menghasilkan “Kompromi Conecticut” pada tahun 1787 dengan menyepakati, dibentuknya lembaga perwakilan bikameral dalam majelis-majelis yang sama kekuasaan legislatifnya tetapi yang berbeda konstituen dan periode masa jabatannya.
Lebih jauh baca, National Democratic Institute for International Affair (NDI), (1996), Satu atau Dua Kamar? Pilihan antara Pola Badan Legislatif Unikameral dan Bikameral, (Seri Penelitian); Bivitri Susanti (et.al), op.cit.
[7] Bandingkan dengan Kevin Evans, (2002), Seputar Sistem Bikameral, dalam Bambang Subianto et.al (edit.), Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, CPPS Paramadina dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta.
[8] Lebih jauh tentang hal ini, baca Adnan Buyung Nasution, (1992), The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Socio-Legal Study of Indonesian Konstituante 1956-1959, Rijksuniversiteit, Utrecht.
[9] Ramlan Surbakti, (2002), Menuju Demokrasi Konstitusional: Reformasi Hubungan dan Distribusi Kekuasaan, dalam Maruto MD dan Anwari WMK (edit.), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta.
[10] Bagir Manan, (2003b), Loc.cit.
[11] Jimly Asshiddiqie, (1996), Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
[12] Soewoto Mulyosudarmo, (2004), Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, Surabaya.
[13] Pasal-pasal yang diubah pada Amandemen Pertama meliputi Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 Ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 21. Hasilnya, hampir semua mekanisme ketatanegaraan bertumpu ke DPR. Misalnya dalam pengangkatan Duta Besar, Presiden mempunyai keharusan untuk memperhatikan pertimbangan DPR, atau dalam memberikan Amnesti dan Abolisi Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR. Bahkan, perubahan terhadap Pasal 5 Ayat (1) berakibat pada melemahnya dominasi Presiden dalam proses pembentukan undang-undang.
[14] Pasal-pasal yang diubah dan/atau ditambah pada Amandemen Kedua meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X, Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C.
[15] Pasal-pasal yang diubah dan/atau ditambah pada Amandemen Ketiga meliputi Pasal 1 ayat (2) dan (3); Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4); Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5); Pasal 7A; Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7); Pasal 7C; Pasal 8 ayat (1) dan (2); Pasal 11 ayat (2) dan (3); Pasal 17 ayat (4); Bab VIIA; Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab VIIB; Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6); Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23A; Pasal 23C; Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23F ayat (1) dan (2); Pasal 23G ayat (1) dan (2); Pasal 24 ayat (1) dan (2); Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 24B ayat (1), (2), (3), dan (4); dan Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6).
[16] Pasal-pasal yang diubah dan/atau ditambah pada Amandemen Keempat meliputi Pasal 2, Pasal 6A ayat (4), Pasal 8 ayat (3), Pasal 23B, Pasal 24 ayat (3), Pasal 31 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 32 ayat (1) dan (2), Pasal 33 ayat (4) dan (5), Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5). Perubahan terhadap Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan serta pencabutan terhadap Penjelasan UUD 1945.
[17] Saldi Isra, (2003), Amandemen Lembaga Legislatif dan Eksekutif: Prospek dan Tantangan, dalam Jurnal UNISIA, No. 49/XXVI/III, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
[18] Bagir Manan, (2003a), DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Press, Yogyakarta.
[19] Jimly Asshiddiqie, (2004), Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Press, Yogyakarta. Baca juga, Bivitri Susanti, (2003), Lembaga Perwakilan Rakyat Trikameral, Supremasi DPR dan Sempitnya Ruang Demokrasi Perwakilan, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 20, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MAPI) Jakarta, dan M. Fajrul Falaakh, (2002), Metamorfosis MPR (Teka-teki Parlemen Berkamar Tiga), dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra, dan Marwan Mas (edit.), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Koalisi Konstitusi Baru dan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
[20] Cass R. Sunstein, (2001), Designing Democracy, What Constitution Do, Oxford University Press, New York.
[21] Baca kembali Penjelasan UUD 1945 terutama bagian Sistem Pemerintahan Negara.
[22] Sebelum diamandemen Pasal 20 UUD 1945 menyatakan: (1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR, dan (2) jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mndapat persetujuan DPR, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
[23] Pasal 11 Ayat (1) UUD 1945
[24] Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945.
[25] Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945.
[26] Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945.
[27] Pasal 24B Ayat (3) UUD 1945.
[28] Pasal 13 Ayat (2) UUD 1945.
[29] Pasal 13 Ayat (3) UUD 1945.
[30] Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945.
[31] Pasal 23F Ayat (1) UUD 1945.
[32] Pasal 24C Ayat (3) UUD 1945.
[33] Bima Arya Sugiarto, (2002), Sidang Tahunan MPR 2002: Menuju Institusionalisasi, Menyelamatkan Transisi, dalam Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI, No. 2, Jakarta.
Menurut Bima Arya Sugiarto, penolakan terhadap DPD sekaligus membuka polemik mengenai hasil Amandemen Kedua atas Pasal 18 UUD 1945 mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Pasal tersebut dipandang memiliki nuansa federalisme yang sangat kental dengan pernyataan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali untuk urusan-urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai urusan pemerintah pusat.
[34] Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945.
[35] Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945.
[36] Pasal 22D Ayat (3) UUD 1945.
[37] Dalam sistem presidensiil Amareika Serikat, misalnya, Presiden dapat menolak seluruh bill yang diajukan oleh House of Representative and the Senate. Penolakan ini secara tegas ditentukan dalam Pasal 1 ayat (7) poin 2 Konstitusi AS, all bill which shall have passed the House of Representative and the Senate shall, before it becomes a law, be presented to the President of the US ; if he approve, he shall sign it, but if not, he shall return it, with his objections. Penolakan Presiden dapat dimentahkan kalau ternyata 2/3 dari anggota Konggres tetap mendukung rancangan undang-undang itu. Dukungan minimal 2/3 anggota Konggres menjadikan veto Presiden tidak mempunyai kekuatan.
[38] Saldi Isra, (2004), Lembaga Legislatif Pasca-Amandemen UUD 1945, Sumbangan Tulisan dalam Soewoto Mulyosudarmo, (2004), Loc.cit; Agus Heryadi, Bikameral Setengah Hati, dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra dan Marwan Mas (Edit.), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka Sinar Harapan dan Koalisi untuk Konstitusi Baru, Jakarta; dan Denny Indrayana (2002), Ancaman Tirani DPR, dalam Kompas, 2 September, Jakarta.
[39] Kevin Evans, (2002), Seputar Sistem Bikameral, dalam Bambang Subianto et.al (edit.), Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, CPPS Paramadina dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta.
[40] Pada tahun 1970, dibentuk tiga komite di Senat yang mempunyai kekuasaan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Ketiga komite itu dikenal dengan three-fold committee system. Ketiga komite dimaksud adalah:
1. Standing Committees atau Permanent Committees. Komite ini bertanggung jawab mengawasi jalannya administrasi seluruh departemen pemerintah.
2. Select Committees atau Special Inquiry Adhoc Committees. Komite ini membidangi urusan rumah sakit, kesehatan, peredaran obat, dan segala yang menyangkut penyalahgunaan obat-obatan, keamanan, hak-hak migran, serta pasar modal.
3. Estimates Committees. Komite ini bertanggung jawab mengawasi penggunaan dana yang dialokasikan ke berbagai departemen pemerintah.
Lebih jauh tentang hal ini baca, Amzulia Rifai, (1994). Pengantar Konstitusi Australia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
[41] Amzulia Rifai, ibid.
[42] Kevis Evans, (2002), Loc.cit.
[43] Jimly Asshiddiqie, (2002), Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta.
[44] Pasal 7A UUD 1945 menyatakan, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
[45] Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota (UU Susduk) menyatakan, anggota DPR berjumlah 550 orang.
[46] Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Kemudian, Pasal 33 Ayat (1) UU Susduk menyatakan, anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak empat orang. Karena jumlah provinsi 32, maka jumlah anggota DPD 32x4 orang yaitu 128 orang.
[47] Refly Harun, (2004), Memperkuat Dewan Perwakilan Daerah, dalam Koran Tempo, 18 Apil, Jakarta. Lihat juga, http://www.korantempo.com/news/2004/5/18/Opini/48.html
[48] Ibid
[49] HM. Laica Marzuki, (2004), Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Sumbangan Tulisan dalam Soewoto Mulyosudarmo, loc.cit.
[50] Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan, Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang
[51] Baca Pasal 3 UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan.
[52] Baca Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan.
[53] Pasal 3 Ayat (1) UUD 1945.
[54] Pasal 3 Ayat (2) UUD 1945.
[55] Pasal 3 Ayat (3) UUD 1945.
[56] Pasal 8 Ayat (3) UUD 1945.
[57] Bagir Manan, (2003a), Loc.cit.
[58] Pasal 27 UU Susduk.
[59] Pasal 28 UU Susduk.
[60] Pasal 30 Ayat (2) UU Susduk.
[61] Pasal 30 Ayat (4) UU Susduk.
[62] Pasal 5 Ayat (1) UU Susduk.
[63] Saldi Isra, (2003), (Makin) Kebablasan, DPR dlam UU Susduk, dalam Media Indonesia, 15 Juli, Jakarta. Bandingkan dengan Bivitri Susanti, (2003), Loc.cit.