Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh[1]

Oleh Saldi Isra

Pendahuluan

Dalam sidang paripurna, Selasa (11/07-2006), secara bulat, seluruh fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh menjadi undang-undang. Dengan persetujuan tersebut , ”berakhir” pula segala macam tarik-menarik perumusan substansi undang-undang yang mengatur Aceh sebagai salah satu satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemudian, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20 Ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pada 1 Agustus 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemerintah Aceh menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU No 11/2006).

Banyak kalangan berpendapat, secara umum, kehadiran UU No 11/2006 akan menjadi babak baru praktik otonomi daerah di Indonesia (Isra, 2006b). Pendapat seperti itu tentu akan ada benarnya kalau kehadiran UU No 11/2006 mampu membangun kehidupan politik dan ekonomi yang lebih baik guna menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun, di tengah harapan yang demikian juga muncul pendapat yang meragukan keberlangsungan UU No 11/2006. Keraguan itu muncul, di antaranya, karena pengalaman dan praktik otonomi khusus di bawah Undang-Undang No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (UU No 18/2001).

Di samping pengalaman tersebut, keraguan bahwa Aceh sebagai daerah yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan akan dapat terlaksana dengan baik karena ada penilaian bahwa kewenangan Aceh tidak ditentukan dengan tegas dalam UU No 11/2006. Apalagi, dalam ketidaktegasan itu, Pasal 11 Ayat (1) UU No 11/2006 menyatakan: “pemerintah (pusat) menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, kabupaten, dan kota”.

Sebetulnya ada banyak isu yang dapat dibahas dan didiskusikan lebih dalam dan lebih serius dalam UU No 11/2006. Namun, tulisan hanya akan membahas salah satu isu penting saja yaitu pembagian kewenangan pusat-daerah berdasarkan UU No 11/2006. Untuk kebutuhan pertemuan ini, empat poin penting yang akan dielaborasi, yaitu (1) tinjauan ringkas pembagian kewenangan pusat-daerah, (2) daerah bersifat istimewa dan bersifat khusus dalam UUD 1945, (3) pembagian kewenangan pusat-daerah dalam beberapa undang-undang yang mengatur hubungan pusat-daerah, dan (4) pembagian kewenangan pusat-daerah dalam UU No 11/2006.

Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah: Tinjauan Ringkas

Dalam teori ketatanegaraan, negara kesatuan (unitary state) merupakan negara yang sifatnya tunggal, kedaulatan hanya ada pada satu tangan yaitu pemerintahan pusat dan tidak terdiri dari kumpulan negara-negara. Salah pandangan yang paling umum dirujuk dalam mengemukakan negara kesatuan adalah pendapat CF. Strong (1966: 84) yang mengatakan:

…the essence of a unitary state is that the sovereignty is undivided, or, in order words, that the powers of the central government are unrestricted, for the constitution of unitary state does not admit of any other law-making body than the central one.

Berdasarkan pendapat tersebut, karakter yang melekat pada negara kesatuan yaitu supremasi dari parlemen pusat (the supremacy of the central parliament) dan tidak adanya badan-badan lain yang berdaulat (the absence of subsidiary sovereign bodies) (Strong, ibid). Dari pendapat tersebut, kekuasaan pusat menjadi begitu sentral dalam menentukan perkembangan politik di semua level pemerintahan.

Kalau ditelusuri perkembangan pemikiran teori kenegaraan (general theory of state), pendapat yang dikemukakan CF. Strong lebih sering digunakan untuk membedakan negara kesatuan dengan negera federal. Karena perkembangan yang terjadi semakin sulit menerima pengelolaan negara yang serba pusat (sentralistik). Misalnya, Daniel Bell dalam tulisannnya The World in 2013 mengemukakan bahwa negara nasional terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah yang sangat besar, tetapi terlalu besar untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah yang terlalu besar (dalam Prasojo, 2006: 3). Menurut Eko Prasojo, konsekwensi logis cara pandang ini adalah penyerahan sebagian kekuasaan kepada unit-unit sub-nasional dan lokal. Karena itu, pengaturan dan penyelenggaraan pemerintahan akan senantiasa berubah secara periodik, baik pada negara yang berstruktur federal maupun negara yang berstruktur unitaris atau kesatuan (Prasojo, ibid).

Pendapat yang sama juga dijelaskan oleh Ateng Syafrudin, yang menyatakan bahwa latar belakang negara kesatuan menganut sistem desentralisasi adalah luas wilayah, makin banyaknya tugas yang harus diurus oleh pemerintah pusat, adanya perbedaan daerah yang satu dengan yang lain yang sukar diatur dan diurus secara sama (uniform) oleh pemerintah pusat. Lebih lanjut Ateng Syafrudin menambahkan, dalam konstitusi tiap negara memberikan kewenangan pemerintah negara kepada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat, karena penyelenggaraan segala kepentingan hak baik dari pusat maupun dari daerah sebenarnya adalah kewajiban dari pemerintah pusat. Hanya berhubungan dengan luasnya daerah, makin banyak tugas yang harus diurus oleh pemerintah pusat, sejalan dengan kemajuan masyarakat dan negara, perbedaan antara yang satu dengan yang lain yang sukar diketahui dan sukar diatur secara memusat, maka jika keadaan daerah-daerah sudah memungkinkan, pusat menyerahkan kepada daerah untuk mengurus dan menyelenggarakan sendiri kebutuhan-kebutuhan khusus dari daerah-daerah itu. Penyerahan itu dapat diperluas tetapi dapat pula dipersempit oleh pemerintah pusat dengan memperhatikan kepentingan nasional disatu pihak dan memperhatikan kemampuan daerah berkepentingan di lain pihak (Syafrudin, 1993: 193-194).

Jauh hari sebelumnya, tentang Pemberlakuan otonomi daerah yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, Hans Kelsen mengemukakan pendapatnya bahwa desentralisasi merupakan salah satu bentuk organisasi negara atau tatanan hukum negara. Tatanan Hukum desentralisasi menunjukkan adanya berbagai kaidah hukum yang berlaku sah pada wilayah yang berbeda. Ada kaidah yang berlaku sah untuk seluruh wilayah negara (central norm) dan ada kaidah berlaku sah dalam wilayah yang berbeda disebut kaidah desentral atau kaidah lokal (decentral or local norm) (Kelsen, 1973: 66). Lebih jauh Hans Kelsen menjelaskan bahwa pemberlakuan beberapa peraturan perundang-undangan mengenai otonomi daerah sebagai tatanan hukum desentralistik yang dikaitkan dengan wilayah (territorial) sebagai tempat berlakunya kaidah hukum secara sah sebagai konsepsi statis dari desentralisasi (ibid), walaupun pengertian desentralisasi Kelsen ini belum menyentuh mengenai kewenangan daerah untuk membuat peraturan sendiri berupa peraturan daerah.

Demikian juga implementasi otonomi daerah berdasarkan UUD 1945 ada yang berlaku secara umum untuk seluruh wilayah di Indonesia dan ada yang berlaku secara khusus atau istimewa di DKI Jakarta dan Jogjakarta, Nangroe Aceh Darussalam dan Papua. Keistimewaan atau kekhususan daerah dalam menjalankan otonomi daerah merupakan kebhinekaan atau pluralisme kondisi daerah, namun tetap yang mencerminkan ciri-ciri dari suatu negara yang menganut bentuk negara kesatuan. Mengenai Propinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Papua yang diberikan begitu luas (besar) bahkan adanya pengaturan hukum secara khusus hanya berlaku di Propinsi tersebut, hal ini merupakan ciri khas dari pelaksanaan desentralisasi yang mengakui keragaman dan kekhususan keadaan daerah.

Dengan adanya pengaturan secara khusus, pelaksanaan pemerintahan tidak menghilangkan sistem hukum nasional. Bagaimanapun, derajat hubungan pusat dan daerah dapat dijadikan sebagai indikasi pada posisi mana struktur suatu negara berada. Meski demikian, tidak mungkin terdapat suatu negara yang sangat bersifat unitaris atau sebaliknya sangat bersifat federalis. Heinz Laufer dan Munch Ursula mengemukakan, elemen hubungan antara pusat dan daerah tidak bersifat monosentris, melainkan polisentris bergerak dari suatu kontinum ke kontinum lainnya, dari kontinum unitaris ke kontinum federalis atau sebaliknya (dalam Prasojo, 2006: 5).

Dalam pergerakan kontinum tersebut, Eko Prasojo mengemukakan tugas berat setiap negara bangsa yang harus diselesaikan oleh para pembuat keputusan politik adalah menjaga keseimbangan antara gerakan yang bersifat sentrifugal dengan gerakan ang bersifat sentripetal. Kekuatan sentrifugal yang terlalu besar akan mengakibatkan gerakan sepatisme yang mungkin berakibat pada disintegrasi bangsa. Sedangkan, kekuatan sentripetal yang berlebihan akan menciptakan pemerintahan yang berkharakter sentralistis, di mana diskresi dan partisipasi lokal dapat terabaikan (ibid: 7-8).

Pengaturan UUD 1945

Berdasarkan UUD 1945, bentuk negara yang digunakan di Indonesia adalah bentuk negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi. Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Penggunaan asas desentralisasi dalam NKRI ditunjukan dengan adanya pembagian daerah sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 Perubahan Kedua UUD 1945 yang menyatakan:

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah Propinsi dan daerah-daerah Propinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Propinsi, Kabupaten dan Kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-Undang;

(2) Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3)

(4)

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Selanjutnya Pasal 18A UUD 1945 menyatakan:

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Terakhir, Pasal 18B UUD 1945 menyatakan:

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Sebenarnya, baik sebelum maupun setelah perubahan, UUD 1945 memberi ruang hadirnya praktik hubungan pusat dan daerah yang didasarkan kepada karakter khas suatu daerah. Dalam UUD 1945 hasil perubahan, sebagaimana dikutipkan di atas, misalnya, eksplisit ditegaskan, negara mengakui dan menghormati satuan- satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Berdasar rumusan itu, UUD 1945 memungkinkan munculnya praktik otonomi daerah yang berbeda antara suatu daerah dengan daerah yang lain. Namun, untuk mengatur lebih jauh bagaimana perbedaan derajat (khusus maupun istimewa) tersebut, UUD 1945 menyerahkannya kepada undang-undang.

Dalam praktik, sejak awal kemerdekaan, semua daerah diatur seragam dan semua undang-undang tentang pemerintahan daerah punya tafsir berbeda mengenai makna khusus dan istimewa itu. Perkembangan ”berbeda” mulai terasa sejak tahun 1999. Bahkan, untuk Aceh dan Papua, beberapa ketetapan MPR mengamanatkan kedua daerah itu diberlakukan otonomi khusus. Untuk memenuhi amanat itu, tahun 2001 ditetapkan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Isra, 2006a).

Namun, pemberian status otonomi khusus bagi Aceh (dan juga Papua) tak diikuti dengan paradigma baru. Akibatnya, dalam mengelola otonomi khusus, campur tangan pemerintah kian dominan. Misalnya, campur tangan itu jelas terlihat dalam menyikapi aturan pemilihan kepala daerah di Aceh sebelum tragedi Tsunami. Ketika itu, pemerintah memaksakan pola dan persyaratan umum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 32/2004). Yang terjadi kemudian, muncul krisis kepercayaan (trust) kepada pemerintah dan otonomi khusus yang sudah disepakati. Padahal, otonomi khusus baru dapat dilaksanakan jika terbangun trust antara pemerintah dan daerah yang menerima otonomi khusus (bandingkan dengan ibid.).

Pengalaman Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah

Salah satu perubahan besar dalam hubungan pusat dan daerah sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 22/1999) adalah dianutnya prinsip residu power (pembagian kewenangan sisa) dalam penataan hubungan pusat-daerah. Misalnya, Pasal 7 Ayat (1) UU No 22/1999 menyatakan bahwa kewenangan daerah otonom mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.

Prinsip residu power juga ditemukan dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 32/2004) menyatakan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini (baca: UU No 32/2004) ditentukan menjadi urusan Pemerintah (pusat, pen.). Kemudian, dalam Pasal 10 Ayat (2) UU No 32/2004 ditegas, urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi: (a) politik luar negeri; (b) pertahanan; (c) keamanan; (d) yustisi; (e) moneter dan fiskal nasional;  dan (f) agama.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No 22/1999 dan UU No 32/2004 di atas, salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yang berakar dari konstruksi hubungan pusat dan daerah adalah ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan. Ketidakejelasan model pembagian kewenangan ini, dalam praktiknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektor-sektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang-tindih antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Kedua, untuk sektor-sektor yang bersifat pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan (Prasojo, 2006: 25).

Gambaran wajah praktik hubungan pusat dan daerah di atas berakar dari upaya mereduksi pasal-pasal yang mengatur prinsip residu power dengan aturan-aturan lain yang setingkat (baik internal maupun eksternal) atau dengan peraturan yang lebih rendah. Misalnya, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 Ayat (1) UU No 22/1999 sengaja direduksi dengan dengan frasa tambahan dalam pasal itu sendiri, yaitu frasa “serta kewenangan bidang lainnya”. Kemudian, upaya reduksi tersebut dilakukan secara felsibel (baca: pasal karet) dan multiinterpretasi dalam Pasal 7 Ayat (2) yang menyatakan:

kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendaya-gunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.

Tidak berhenti sampai dengan perumusan Pasal 7 Ayat (2), Pasal 12 UU No 22/1999 menegaskan lagi bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 UU No 22/1999 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Kemudian, sesuai dengan “amanat” Pasal 12 UU No 22/1999, pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (PP No 25/2000). Dalam PP No 25/2000 tersebut, “kewenangan bidang lainnya” dirumuskan ke dalam 25 bidang.[2] Dengan kehadiran PP No 25/2000 tersebut, banyak penilaian mengatakan bahwa pemerintah menarik kembali semangat desentralisasi (resentralisasi) yang terdapat dalam UU No 22/1999.

Sebetulnya, resentralisasi yang dilakukan pemerintah pusat tidak ane karena dari awal pengesahan UU No 22/1999 sudah banyak nada pesimis bahwa undang-undang mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama. Keraguan tersebut didasarkan pada argumentasi, pemerintah pusat tidak ikhlas menyerahkan sebagian besar “kewenangan” kepada daerah. Namun hal ini harus dilakukan karena kuatnya desakan untuk mengganti pola hubungan pusat dan daerah yang highly centralized menjadi hubungan yang lebih terdesentralisasi. Seandainya pemerintah pusat melakukan resistensi, maka keinginan beberapa daerah untuk memisahkan diri menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan. Oleh karena itu, merngubah paradigma hubungan pusat dan daerah adalah jalan terbaik yang harus dilakukan dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah dalam mengatur dan mengurus diri sendiri (Isra, 2005: 17).

Ketika ancaman disintegrasi mulai surut, pemerintah pusat kembali lagi pada kecenderungan sentralisasi. Artinya, secara sistematis sudah terlihat upaya untuk melakukan resentralisasi. Kecenderungan ini mulai terlihat dengan dibubarkannya Menteri Negara Otonomi Daerah pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Padahal, pembentukan Menteri Negara Otonomi Daerah pada era Presiden BJ. Habibie untuk melakukan percepatan pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999. Bahkan, ketika masa kekuasaan Abdurrahman Wahid sudah dilakukan langkah nyata pemerintah pusat untuk menarik kembali kewenangan yang telah diberikan kepada daerah. Paling tidak, hal ini dapat dibuktikan dengan keluarnya Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 yang menarik kembali kewenangan dalam bidang pertanahan. Padahal menurut ketentuan Pasal 11 Ayat (2) UU No 22/1999 masalah pertanahan adalah kewenangan wajib yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.[3]

Begitu juga dengan UU No 32/2004, sekalipun agak lebih rinci pembagian urusan antar pemerintahan di tingkat undang-undang, kekuasaan pemerintah pusat dalam menentukan pembagian urusan masih sangat dominan. Buktinya, Pasal 14 Ayat (3) UU No 32/2004 kembali menyatakan bahwa pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No 32/2004 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bahkan, Pasal 11 Ayat (4) UU No 32/2004 juga menyatakan, penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.

Persoalan lain yang muncul dari rumusan Pasal 11 Ayat (4) UU No 32/2004 yaitu tidak jelasnya bentuk produk hukum yang akan menentukan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal karena hanya disebutkan “ditetapkan oleh pemerintah”. Apakah penetapan pemerintah tersebut dalam bentuk produk hukum peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan menteri dalam negeri, atau peraturan lainnya? Kalau diletakkan dalam konstruksi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perungang-undangan (UU No 10/2004) semua bentuk tersebut memungkinkan. Tetapi, ketidakjelasan bentuk hukum tersebut semakin merugikan daerah.

Masalah pembagian kewenangan di atas tidak hanya terdapat dalam UU No 22/1999 dan UU No 32/2004 tetapi juga dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (UU No 44/1999) yang menyatakan:

(1) daerah diberi kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur keistimewaan yang dimiliki.

(2) kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur keistimewaan yang dimiliki, sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), di kabupaten dan kota diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.

Begitu juga dalam Pasal 3 UU No 18/2001 yang menyatakan:

(1) kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam undang-undang ini adalah kewenangan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus.

(2) kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selain yang diatur pada Ayat (1) tetap berlaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah dalam UU No 11/2006

Bila dibaca Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut, setidaknya terdapat lima alasan pemberlakuan undang-undangan ini, yaitu;

  1. sistem pemerintahan NKRI menurut UUD mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang;
  2. berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi;
  3. etahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan NKRI;
  4. penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan pelindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; dan
  5. bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka NKRI.

Sementara itu, pada bagian Ketentuan Umum UU No 11/2006 ditegaskan, Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Sementara Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah Aceh adalah dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Hal ini dapat dibaca pada bagian penjelasan umum UUPA yang menyatakan:

“…Hal demikian mendorong lahirnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Pemberian otonomi seluasluasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh dan mengelola pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good governance yaitu transparan, akuntabel, profesional, efisien, dan efektif dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di Aceh. Dalam menyelenggarakan otonomi yang seluas-luasnya itu, masyarakat Aceh memiliki peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan maupun dalam mengevaluasi kebijakan pemerintahan daerah.”

Prinsip otonomi yang seluas-luasnya tersebut dipertegas lagi sebagai kewajiban konstitusional, dengan tetap menekankan posisi Pemerintahan Aceh sebagai bagian tidak terpisahkan dari NKRI. Penegasan ini dapat dibaca dalam penjelasan UUPA sebagai berikut:

Undang-undang ini mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI dan tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan Undang-Undang ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional. Dengan demikian, otonomi seluas-luasnya pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh.

Tidak jauh berbeda dengan beberapa undang-undang yang diuaraikan pada bagian terdahulu, pembagian kewenangan dalam UU No 11/2006 juga dibangun dalam prinsip residu power. Pasal 7 UU No 11/2006 menyatakan:

(1) Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.

(2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.

Dalam hal pembagian kewenangan, UU No 11/2006 juga potensial terperangkap rebutan kewenangan dengan pemerintah pusat. Potensi itu muncil karena adanya frasa “urusan pemerintahan yang bersifat nasional”. Berkenaan dengan frasa itu, Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) UU No 11/2006 menyatakan:

Urusan pemerintahan yang bersifat nasional yang dimaksudkan dalam ketentuan ini termasuk kebijakan di bidang perencanaan nasional, kebijakan di bidang pengendalian pembangunan nasional, perimbangan keuangan, administrasi negara, lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional.

Penjelasan frasa “urusan pemerintahan yang bersifat nasional” sekali lagi membuktikan bahwa pembagian kewenangan antara pusat dan daerah sengaja dirumuskan sedemikian rupa sehingga sulit dirumuskan dan diimplementasikan. Apalagi, hampir tidak urusan daerah yang terkait dengan urusan pemerintahan yang bersifat nasional. Jadi, prinsip residu power dielemininasi sedemikian rupa sehingga pemerintah pusat dapat melakukan intervensi untuk semua urusan yang sudah diserahkan kepada daerah. Posisi pemerintah pusat akan semakin dominan karena menurut Pasal 249 UU No 11/2006 menentukan bahwa pembinaan dan pengawasan penyelenggaran Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota dilaksanakan oleh pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Selain pembagian kewenangan dengan pusat, UU No 11/2006 juga menentukan masalah pembagian urusan antara Pemerintahan Aceh dengan Pemeintahan Kabupaten/Kota. Kalau dibaca pembagian “urusan wajib” dan “urusan wajib lainnya” yang terdapat dalam Pasal 16 dan Pasal UU No 11/2006 potensi terjadinya perhimpitan urusan cukup besar. Dengan kondisi tersebut, maka akan terjadi tumpang-tindih antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Bukan tidak mungkin, urusan-urusan yang bersifat pembiayaan juga akan terjadi terjadi kevakuman.

Sebetulnya, titik rawan lain dalam pembagian urusan muncul karena adanya ketentuan Pasal 11 Ayat (1) UU No 11/2006 yang menyatakan, pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, kabupaten, dan kota. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) dinyatakan:

“Yang dimaksud dengan: Norma adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai tatanan untuk pelaksanaan otonomi daerah. Standar adalah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Prosedur adalah metode atau tata cara untuk elaksanakan otonomi daerah”

Sekalipun ditentukan bahwa “norma”, “standar”, dan “prosedur” tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota, kehadiran Pasal 11 Ayat (1) potensial mengurangi kemandirian dalam melaksanakan urusan. Tidak hanya itu, Pasal Ayat (1) dan pejelesannya tidak menentukan secara eksplisit bantuk hukum penetapan norma, standar, dan prosedur dimaksud. Bisa jadi, akan muncul penetapan norma, standar, dan prosedur dalam berbagai bentuk hukum mulai dari peraturan pemerintah samapi dengan peraturan gubernur.

Penutup

Lalu, menghadapi masalah-masalah pembagian kewenangan di atas, langkah apa yang harus dilakukan untuk dapat keluar dari masal tersebut? Pertanyaan itu menjadi penting karena keberhasilan pelaksanaan kewenangan antara pusat dan daerah akan amat menentukan keberhasilan UU No 11/2006. Saya menyarankan beberapa langkah berikut.

Pertama, berkaca pada pengalaman pelaksanaan hubungan pusat di daerah (yang bukan dengan pola otonomi khusus) lain, sebaiknya dibentuk badan ad-hoc yang dapat menjembatani penyelesaian pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pembentukan itu tidak saja menjadi salah satu bukti bahwa pemerintah serius mengelola otonomi khusus, tetapi juga mempercepat keluar dari kecenderungan penyeragaman pola otonomi daerah di Departemen Dalam Negeri.

Kedua, pemerintah pusat mesti membuat bentuk produk hukum yang seragam dalam menyusun “norma”, “standar”, dan “prosedur” sehingga benar-benar tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota sebagai daerah yang diberi status khusus atau istimewa. Akan lebih baik kalau produk hukum penyusunan “norma”, “standar”, dan “prosedur” dibuat dalam satu produk hukum saja.

Ketiga, membangun kominikasi yang intensif antara Pemerintahan Aceh dengan Pemerintahan Kabupaten/Kota dalam menyusun pembagian urusan antara provinsi dengan kabupaten/kota. Komunikasi ini menjadi penting agar potensi konflik pembagian urusan antara Pemerintahan Aceh dengan Pemerintahan Kabupaten/Kota tidak berubah menjadi ruang bagi pemerintah pusat untuk memperluas dan memperkuat intervensi.

KEPUSTAKAAN

Saldi Isra, 2005, The Law-Making Process in Reformasi Indonesia, Makalah Disampaikan dalam Seminar INDIRA Project di The Van Vollenhoven Institute, Faculty of Law of Leiden University, 21-22 Maret.

Saldi Isra, 2006a, Mengelola Otonomi Khusus, dalam Kompas, 22 Februari.

Saldi Isra, 2006b, Fajar Baru Otonomi Khusus, dalam Kompas, 13 Juli, Jakarta.

CF. Strong, 1966, Modern Political Constitutions, Sidgwick & Jackson Limited, London.

Eko Parsojo, 2006, Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia: Antara Sentripetalisme dan Sentrifugalisme, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap FISIP UI, Depok.

Ateng Syafrudin, 1993, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan Di Daerah, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hans Kelsen, 1973, General Theory of Law and State, New York Russell & Russell.



[1] Tulisan ini berasal dari makalah yang disampaikan dalam FGD dengan tema “Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah dalam Perspektif Undang-Undang Pemerintahan Aceh, diselenggarakan oleh Forum LSM Aceh bekerja sama dengan Forbes BRA, di Banda Aceh, 22 Novemver 2006.

[2] Bidang-bidang tersebut, yaitu: (1) bidang pertanian, (2) bidang kelautan, (3) bidang pertambangan dan energi, (4) bidang kehutanan dan perkebunan, (5) bidang perindustrian dan perdagangan, (6) bidang perkoperasian, (7) bidang penanaman modal, (8) bidang kepariwisataan, (9) bidang ketenagakerjaan, (10) bidang kesehatan, (11) bidang pendidikan dan kebudayaan, (12) bidang sosial, (13) bidang penataan ruang, (14) bidang pertanahan, (15) bidang permukiman, (16) bidang pekerjaan umum, (17) bidang perhubungan, (18) bidang lingkungan hidup, (19) bidang politik dalam negeri dan administrasi publik, (20) bidang pengembangan otonomi daerah, (21) bidang perimbangan keuangan, (22) bidang kependudukan, (23) bidang olahraga, (24) bidang hukum dan perundang-undangan, dan (25) bidang penerangan.

Di samping itu, kewenangan PemerintahPusat juga meliputi berbagai bidang, yaitu penetapan kebijakan untuk mendukung pembangunan secara makro; (a) penetapan pedoman untuk menentukan standar pelayanan minimal dalam bidang yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota; (b) penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan/lahan dalam rangka penyusunan tata ruang; (c) penyusunan rencana nasional secara makro; (d) penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan; (e) pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Otonomi Daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi; (f) penetapan pedoman pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam; (g) pengelolaan dan penyelenggaraan perlindungan sumber daya alam di wilayah laut di luar 12 (dua belas) mil; (h) pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan atas nama negara; (i) penetapan standar pemberian izin oleh Daerah; (j) pengaturan ekspor impor dan pelaksanaan perkarantinaan; (k) penanggulangan wabah dan bencana yang berskala nasional; (l) penetapan arah dan prioritas kegiatan riset dan teknologi termasuk penelitian dan pengembangan teknologi strategis dan beresiko tinggi; (m) penetapan kebijakan sistem informasi nasional; (n) penetapan persyaratan kualifikasi usaha jasa; (o) pengaturan sistem lembaga perekonomian negara.

[3] Ibid.