Judul: Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia
Penulis: Saldi Isra
Penerbit: PT Rajagrafindo Persada Jakarta
Edisi: Pertama, Februari 2010
Tebal: 401 halaman
Harga: Rp 72 ribu

Perjalanan reformasi sudah memasuki usia 12 tahun. Ada kekhawatiran reformasi sedang berjalan mundur seiring dengan menguatnya dominasi eksekutif (presiden) dalam fungsi legislasi atau pembuatan undang-undang.

Sebenarnya dominannya eksekutif dalam fungsi legislasi merupakan buah dari amendemen Undang-Undang Dasar 1945. Ini berseberangan dengan tujuan amendemen konstitusi yang dilakukan dalam era reformasi, yakni mengembalikan eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada peran semestinya di negara penganut sistem presidensial.

Akar persoalan ini, ada di Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat 2 UUD 1945 hasil amendemen. Kedua pasal ini memberi peran eksekutif terlibat dari tahap pengajuan (inisiatif), pembahasan, persetujuan, pengesahan, hingga pengundangan. Singkatnya, eksekutif terlibat di semua tahapan.

Sedangkan keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat terhenti pada tahap persetujuan. Padahal hakikat legislasi seharusnya menjadi kewenangan DPR. Begitu pula Dewan Perwakilan Daerah, kekuasaannya sebatas pada tahap mengajukan rancangan undang-undang di bidang tertentu dan terlibat hanya pada tahap pembahasan.

Persoalan ini dikupas dengan terperinci dalam buku yang ditulis pakar hukum tata negara Sadli Isra. Sejatinya buku yang bertajuk Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlemen dalam Sistem Presidensial Indonesia ini merupakan hasil disertasi doktor Sadli di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang kemudian ditulis ulang.

Secara runut dari bab I sampai bab VIII, Sadli memaparkan kenapa dan bagaimana dampak dari kedua pasal tersebut dalam proses pembuatan undang-undang. Ia juga melakukan studi perbandingan konstitusi terhadap lima negara penganut sistem presidensial berkaitan dengan pelaksanaan fungsi legislasi, yakni Amerika Serikat, Filipina, Korea Selatan, Venezuela, dan Argentina. Hasilnya: tidak ada satu pun negara yang memberikan wewenang kepada presiden atau eksekutif untuk membahas dan menyetujui bersama rancangan undang-undang (halaman 327).

Sadli juga mengupas soal ketimpangan mekanisme checks and balances dalam menjalankan fungsi legislasi. Pasalnya, UUD 1945 tidak mengenal hak veto oleh presiden dan veto override (mengajukan veto atas veto presiden) oleh legislatif.

Kelemahan-kelemahan yang terkandung dalam amendemen konstitusi semakin kompleks dengan Indonesia yang menganut sistem presidensial dengan multipartai. Sadli mengatakan, "Sistem multipartai dan sistem pemerintahan presidensial adalah kombinasi yang sulit untuk sebuah pemerintahan yang demokratis" (halaman 8).

Merujuk pada output dari pelaksanaan fungsi legislasi, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Eryanto Nugroho, dalam acara peluncuran buku tersebut pada 9 Juni lalu, menyatakan sependapat dengan isi buku Sadli bahwa akar masalah terletak pada dua pasal tersebut.

Alhasil, menurut PSHK, selama 2005-2009 tidak ada target program legislasi nasional yang tercapai. Bahkan, pada 2005, produk undang-undang yang dihasilkan hanya 14 dari target 55 undang-undang. Ini angka terendah yang pernah terjadi. Terakhir pada 2009, dari target 76 undang-undang, yang dihasilkan hanya 39 undang-undang.

Untuk mengembalikan bandul agar tidak lagi berat sebelah, Sadli mengusulkan pemurnian atau purifikasi dari pelaksanaan sistem presidensial. Menurut dia, amendemen UUD 1945 menjadi sebuah keniscayaan atau pilihan yang tak terelakkan. Meski begitu, ide ini tentu saja tidak mudah dalam realitasnya.

Menariknya, ide ini malah dikritik oleh pakar hukum tata negara Denny Indrayana sebagai co-promotor Saldi saat disertasi. Dalam pengantarnya di halaman awal buku ini, Denny berpendapat perpaduan sistem parlementer dan presidensial tidak jadi masalah selama membawa manfaat untuk tegaknya demokrasi.

Sebagai karya akademik, buku ini penting dibaca karena memberikan pemahaman lebih komprehensif tentang kompleksitas masalah ketatanegaraan Indonesia. Karena bahasa yang digunakan Sadli sederhana dan lugas tanpa kehilangan bobot akademisnya, buku ini menjadi enak dibaca. MARIA HASUGIAN